Dalam
artikel opini saya berjudul “Perspektif
Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?” di ayosemarang.com, saya
mengatakan bahwa secara yuridis, penolakan terhadap vaksinasi Covid-19 yang
merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dikenai
sanksi pidana. Berdasarkan ratio legis
Pasal 9 jo Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memberikan konstruksi makna “Bahwa setiap orang yang tidak mematuhi
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (vaksinasi adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan) dipidana dengan
pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000 (Seratus juta rupiah).
Berdasarkan pemaparan tersebut, vaksinasi Covid-19 pada prinsipnya merupakan
kewajiban hukum dan bukan merupakan sebuah hak.
Logika Hukum
Pada
prinsipnya, setiap orang berhak untuk memilih pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka secara letterlijk vaksinasi
Covid-19 adalah sebuah hak individu sebagai bagian pemilihan pelayanan
kesehatannya sendiri.
Namun
jika digunakan konstruksi hukum secara sistematis (mengacu pada sistem
peraturan perundang-undangan secara komprehensif) dan kontekstual (kondisi
aktual), maka hak individu terkait vaksinasi Covid-19 akan bertransformasi
sebagai hak publik tatkala dihubungkan dengan kondisi darurat kesehatan dan
wabah penyakit menular yang memiliki implikasi pada pemenuhan hak atas
kesehatan bagi masyarakat luas yang mana konsekuensi tersebut menjadi
tanggungjawab konstitusional pemerintah. Dalam konteks ini, vaksinasi Covid-19
harus dilihat secara utuh sebagai upaya pemerintah (negara) untuk melakukan
pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat.
Oleh
karena itu, vaksinasi Covid-19 sebagai bagian dari penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan dan solusi dari wabah penyakit menular merupakan domain
hak publik dalam rangka pemenuhan jaminan dan pemenuhan kesehatan. Tanpa adanya
(kewajiban) vaksinasi, seseorang bisa menjadi causa bagi penularan wabah penyakit (Covid-19) dan membahayakan hak
publik (masyarakat) untuk memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.
Maka
dari itu, ancaman sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 secara in casu mengejawantah sebagai instrumen
perlindungan hak publik khususnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan dan
perlindungan dari wabah penyakit menular yang memiliki basis filosofis,
sosiologis, dan yuridis dalam kerangka sistem hukum maupun legitimasi
konstitusional.
Namun,
di sisi lain jangan dikesampingkan terkait konsepsi UU Kekarantinaan Kesehatan
maupun UU Wabah Penyakit Menular sebagai UU pidana administratif bukan UU
pidana khusus. Secara teoritik, UU pidana administratif adalah UU administratif
yang memiliki kelengkapan sanksi pidana. UU pidana administratif meletakkan
sanksi pidana sebagai ultimum remedium, artinya
sanksi pidana akan diterapkan jika
pendekatan sanksi administratif dirasakan tidak efektif. Sanksi pidana dalam UU
pidana administratif berfungsi sebagai sarana represif-alternatif (bukan utama)
untuk memperlancar penyelenggaraan birokrasi dan administrasi pemerintahan.
Oleh
karena itu, penerapan sanksi pidana terkait kewajiban vaksinasi Covid-19 dalam
UU Kekarantinaan Kesehatan harus diaplikasikan dan diletakkan dalam kerangka sebagai
“obat terakhir” setelah sanksi adminitratif maupun tindakan preventif
(sosialisasi) tidak efektif. (Dikutip dari artikel “Perspektif Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?”,
ayosemarang.com, 18 Januari 2020).
Viabilitas Sanksi Pidana
Viabilitas
dapat dimaknai sebagai daya hidup, efisiensi, dan efektivitas keberlakuan dan
eksistensi sesuatu. Dalam konteks pemberlakuan sanksi pidana terhadap penolak
vaksinasi Covid-19 hendaknya negara harus memperhatikan viabilitas dari sanksi
pidana itu sendiri. Jangan sampai, penerapan sanksi pidana justru malah menjadi
boomerang dan anomali yang malah membuat situasi menjadi chaos.
Pada
prinsipnya, penerapan sanksi pidana terhadap penolak vaksinasi Covid-19 harus
diletakkan sebagai ultimum remedium yang
mana merupakan karakteristik dari hukum pidana administratif dan prinsipil dari
hukum pidana moderen. Kalaupun harus dijatuhi sanksi pidana, negara melalui
alat kelengkapannya (peradilan) hendaknya mengutamakan penerapan sanksi denda
dari pada penjara. Ada beberapa alasan kondisonil terkait hal ini.
Pertama,
over capasity lembaga pemasyarakatan.
Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat
retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan kontraproduktif dengan tujuan
dari pemidanaan itu sendiri yakni resosialisasi. Resosialisasi sendiri tidak
akan efektif selama lembaga pemasyarakat masih over capasity. Dalam praktiknya, over capasity lembaga pemasyarakatan mengejawantah menjadi praktik
penindasan terhadap hak asasi manusia seperti pemerkosaan, perbudakan, dan
penganiayaan.
Kedua,
menambah kerumunan. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19
diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan
berimbas pada menaiknya penghuni lembaga pemasyarakatan yang sebenarnya sudah over capasity. Hal ini akan berimbas
pada meningkatnya kerumunan dan potensi penularan Covid-19 dalam lembaga
pemasyarakatan yang kontraproduktif dengan tujuan dari sanksi pidana dalam UU
Kekarantinaan Kesehatan.
Ketiga,
beban ekonomi negara. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19
diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan), makas akan
berimbas pada menaikknya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang secara
logis akan berimbas pada naiknya ongkos ekonomi negara untuk memenuhi kebutuhan
para narapidana baru tersebut selama dibina di lembaga pemasyarakatan.
Dalam
kondisi pandemi Covid-19, negara mengalami defisit anggaran, maka kalaupun penolak
vaksinasi Covid-19 “terpaksa” dijatuhi sanksi pidana, hendaknya lebih diutamakan
penerapan sanksi pidana denda (masuk kas negara) dari pada sanksi penjara
(menambah pengeluaran negara). Hal ini sesuai dengan penerapan prinsip ekonomi
mikro terhadap hukum pidana yang berlandaskan pada asas efisiensi, maksimisasi,
dan keseimbangan.
Pada
prinsipnya, ditinjau berdasarkan karakteristik hukum pidana administratif dan
prinsipil hukum pidana moderen (teoritik) maupun kondisi empirik sebagaimana
saya jelaskan di atas, maka keberlakuan sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular harus diletakkan sebagai sarana
pamungkas ketika upaya sanksi administratif maupun upaya preventif
(edukasi/sosialisasi) tidak efektif. Selain itu, jikalau sanksi pidana harus
“terpaksa” diterapkan, maka sanksi pidana denda hendaknya lebih diutamakan dari
pada sanksi pidana penjara. Dengan demikian, sanksi pidana bagi penolak
vaksinasi Covid-19 akan memiliki viabilitas sehingga tidak kontraproduktif
dengan realitas yang ada.