Jumat, 09 April 2021

URGENSI BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

 

Sistem peradilan pidana merupakan mekanisme hukum yang berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan perkara pidana. Menurut Marjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan mekanisme untuk memproses suatu perkara pidana dengan pendekatan sistematik dan integralistik. Dari kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), kejaksaan (penuntutan), pengadilan (peradilan), dan lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan narapidana)

Realitas tersebut membuat urgensi hadirnya bantuan hukum menjadi krusial. Secara harfiah, hukum pidana adalah hukum publik di mana entitas negara dalam wujud alat-alat kelengkapannya (aparatur penegak hukum) akan “berhadapan” dengan individu sehingga rawan terjadi arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan.

Ditinjau dalam Pasal 56 KUHAP, bantuan hukum (legal aids) merupakan kewajiban hukum (pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan) sekaligus sebagai hak hukum yang harus diberikan kepada tersangka/terdakwa dengan syarat limitatif diancam dengan pidana mati atau pidana penjara minimal 15 tahun atau lebih dan bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun atau lebih yang tidak memiliki penasehat hukum sendiri.

Berdasarkan konstruksi Pasal 56 KUHAP, maka bagi masyarakat miskin yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun, tidak ada kewajiban hukum bagi pejabat di setiap tingkat pemeriksaan untuk menunjuk penasehat hukum guna memberikan bantuan hukum. Oleh karena itu, hadirnya UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum secara praktis merupakan sebuah langkah brilian (looking forward) guna menjamin terpenuhinya hak-hak hukum bagi masyarakat yang diancam dengan pidana penjara diluar ketentuan Pasal 56 KUHAP.

Kemudian ditinjau dari segi urgensi, hadirnya bantuan hukum dapat dalam sistem peradilan pidana memiliki beberapa landasan kondisionil. Pertama, hukum pidana memiliki sanksi istimewa yakni sanksi pidana. Sanksi pidana adalah sanksi istimewa karena merupakan sanksi terberat (terdapat perampasan kemerdekaan) diantara sanksi lapangan hukum lain.

Maka dari itu, proses peradilan pidana dari penyidikan, penuntunan, vonis, hingga pemasyarakatan harus dilakukan secara adil dan proporsional dengan terpenuhinya hak-hak hukum bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana sebagaimana tercantum dalam hukum pidana formil. Karena sanksinya berat, alat bukti sebagai dasar penjatuhan sanksi dalam hukum pidana harus lebih terang dari cahaya (in criminalibus probantiones clariores bedent esse luce clariores). Di sinilah relevansi dan urgensi bantuan hukum diperlukan sebagai sarana terwujudnya proses peradilan yang fair dan menjaga terpenuhinya hak-hak hukum tersangka/terdakwa.

Kedua, kinerja aparat penegak hukum. Secara normatif, memang hak-hak hukum sebagai konsekuensi due process of law telah terjamin dalam KUHAP, namun dalam aplikasinya masih banyak dijumpai praktek-praktek penegakan hukum yang mengingkari prinsip due process of law khususnya dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Lebih spesifik lagi berbicara mengenai perampasan hak hukum bagi tersangka terkait hak untuk memberikan keterangan secara bebas pada penyidik, kesewenang-wenangan dalam penangkapan dan penahanan, hingga praktik kekerasan.

Dalam realitasnya, memang kerap terjadi tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan proses penyidikan. Menurut Putri Kanesia, Kepala Bidang Advokasi KontraS, kasus-kasus kekerasan di ruang interogasi kerap terjadi karena polisi masih menganggap penyiksaan dan intimidasi sebagai cara efektif untuk memperoleh keterangan dari tersangka. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan dan intimidasi dalam penyidikan juga minim. Kemudian dari sisi eksternal, minimnya pendampingan hukum turut menjadi faktor pelengkap mengapa kekerasan dan intimidasi pada tahap penyidikan kerap terjadi. Menurut catatan dari KontraS, sepanjang tahun 2011-2019 telah terjadi 445 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap tahanan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga memotret hal serupa. Dalam laporan hukum dan hak asasi manusia 2019 dan proyeksi 2020, YLBHI merilis 169 kasus pelanggaran terhadap prinsip fair trial sepanjang tahun 2019. Dari data tersebut, polisi merupakan aktor yang paling banyak melakukan pelanggaran, yakni sebanyak 58%. Pelanggaran terhadap prinsip fair trial oleh polisi terutama terjadi pada tahap penangkapan dan penahanan. Realitas demikian menunjukkan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum (polisi) dalam melakukan tugas penegakan hukum, maka dari itu urgensitas bantuan hukum menjadi penting sebagai sarana kontrol bagi aparat penegak hukum agar bekerja secara profesional dan akuntabel.

Ketiga, minimnya penghetahuan hukum. Minimnya penghetahuan hukum dari masyarakat awam tentunya merupakan sebuah kondisi kriminogen yang (potensial) memungkinkan terjadinya arogansi kekuasaan aparatur penegak hukum yang berimbas pada perampasan hak-hak hukum masyarakat awam/miskin yang berurusan dengan hukum pidana. Urgensitas bantuan hukum di sini hadir agar individu/masyarakat awam/miskin yang berurusan dengan hukum pidana mendapatkan perlindungan dan pencerahan hukum dari pemberi bantuan hukum (advokat).

Keempat, masifisitas kemiskinan. Berdasarkan data BPS, presentase kemiskinan periode September 2019 hingga Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau 26,42 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa telah terjadi masifisitas kemiskinan yang memiliki implikasi dan potensi perampasan keadilan khususnya ketika berhadapan dengan sistem peradilan pidana yang memiliki sistem kerja sistematik-integralistik dan sarat akan nilai-nilai otoritatif. Masyarakat miskin (sebagai tersangka/terdakwa) membutuhkan sarana compasion dan praksis nilai keadilan dalam kerangka sistem peradilan pidana. Dalam kerangka inilah bantuan hukum hadir sebagai sarana compasion dan praksis nilai keadilan (perlindungan hak asasi manusia) agar tercipta sistem peradilan pidana yang fair dalam setiap tingkat pemeriksaan.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar