Jumat, 09 April 2021

VIABILITAS SANKSI PIDANA BAGI PENOLAK VAKSINASI COVID-19

 

Dalam artikel opini saya berjudul “Perspektif Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?” di ayosemarang.com, saya mengatakan bahwa secara yuridis, penolakan terhadap vaksinasi Covid-19 yang merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan ratio legis Pasal 9 jo Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memberikan konstruksi makna “Bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (vaksinasi adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan) dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (Seratus juta rupiah). Berdasarkan pemaparan tersebut, vaksinasi Covid-19 pada prinsipnya merupakan kewajiban hukum dan bukan merupakan sebuah hak.

Logika Hukum

Pada prinsipnya, setiap orang berhak untuk memilih pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka secara letterlijk vaksinasi Covid-19 adalah sebuah hak individu sebagai bagian pemilihan pelayanan kesehatannya sendiri.

Namun jika digunakan konstruksi hukum secara sistematis (mengacu pada sistem peraturan perundang-undangan secara komprehensif) dan kontekstual (kondisi aktual), maka hak individu terkait vaksinasi Covid-19 akan bertransformasi sebagai hak publik tatkala dihubungkan dengan kondisi darurat kesehatan dan wabah penyakit menular yang memiliki implikasi pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat luas yang mana konsekuensi tersebut menjadi tanggungjawab konstitusional pemerintah. Dalam konteks ini, vaksinasi Covid-19 harus dilihat secara utuh sebagai upaya pemerintah (negara) untuk melakukan pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, vaksinasi Covid-19 sebagai bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan solusi dari wabah penyakit menular merupakan domain hak publik dalam rangka pemenuhan jaminan dan pemenuhan kesehatan. Tanpa adanya (kewajiban) vaksinasi, seseorang bisa menjadi causa bagi penularan wabah penyakit (Covid-19) dan membahayakan hak publik (masyarakat) untuk memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.

Maka dari itu, ancaman sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 secara in casu mengejawantah sebagai instrumen perlindungan hak publik khususnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan dan perlindungan dari wabah penyakit menular yang memiliki basis filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam kerangka sistem hukum maupun legitimasi konstitusional.

Namun, di sisi lain jangan dikesampingkan terkait konsepsi UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular sebagai UU pidana administratif bukan UU pidana khusus. Secara teoritik, UU pidana administratif adalah UU administratif yang memiliki kelengkapan sanksi pidana. UU pidana administratif meletakkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium, artinya sanksi pidana akan diterapkan jika pendekatan sanksi administratif dirasakan tidak efektif. Sanksi pidana dalam UU pidana administratif berfungsi sebagai sarana represif-alternatif (bukan utama) untuk memperlancar penyelenggaraan birokrasi dan administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana terkait kewajiban vaksinasi Covid-19 dalam UU Kekarantinaan Kesehatan harus diaplikasikan dan diletakkan dalam kerangka sebagai “obat terakhir” setelah sanksi adminitratif maupun tindakan preventif (sosialisasi) tidak efektif. (Dikutip dari artikel “Perspektif Hukum: Vaksinasi Covid-19 Hak Atau Kewajiban?”, ayosemarang.com, 18 Januari 2020).

Viabilitas Sanksi Pidana

Viabilitas dapat dimaknai sebagai daya hidup, efisiensi, dan efektivitas keberlakuan dan eksistensi sesuatu. Dalam konteks pemberlakuan sanksi pidana terhadap penolak vaksinasi Covid-19 hendaknya negara harus memperhatikan viabilitas dari sanksi pidana itu sendiri. Jangan sampai, penerapan sanksi pidana justru malah menjadi boomerang dan anomali yang malah membuat situasi menjadi chaos.

Pada prinsipnya, penerapan sanksi pidana terhadap penolak vaksinasi Covid-19 harus diletakkan sebagai ultimum remedium yang mana merupakan karakteristik dari hukum pidana administratif dan prinsipil dari hukum pidana moderen. Kalaupun harus dijatuhi sanksi pidana, negara melalui alat kelengkapannya (peradilan) hendaknya mengutamakan penerapan sanksi denda dari pada penjara. Ada beberapa alasan kondisonil terkait hal ini.

Pertama, over capasity lembaga pemasyarakatan. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan kontraproduktif dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri yakni resosialisasi. Resosialisasi sendiri tidak akan efektif selama lembaga pemasyarakat masih over capasity. Dalam praktiknya, over capasity lembaga pemasyarakatan mengejawantah menjadi praktik penindasan terhadap hak asasi manusia seperti pemerkosaan, perbudakan, dan penganiayaan.

Kedua, menambah kerumunan. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan) maka akan berimbas pada menaiknya penghuni lembaga pemasyarakatan yang sebenarnya sudah over capasity. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya kerumunan dan potensi penularan Covid-19 dalam lembaga pemasyarakatan yang kontraproduktif dengan tujuan dari sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Ketiga, beban ekonomi negara. Jika sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 diletakkan dalam hasrat retribusionis (orientasi pemenjaraan), makas akan berimbas pada menaikknya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang secara logis akan berimbas pada naiknya ongkos ekonomi negara untuk memenuhi kebutuhan para narapidana baru tersebut selama dibina di lembaga pemasyarakatan.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, negara mengalami defisit anggaran, maka kalaupun penolak vaksinasi Covid-19 “terpaksa” dijatuhi sanksi pidana, hendaknya lebih diutamakan penerapan sanksi pidana denda (masuk kas negara) dari pada sanksi penjara (menambah pengeluaran negara). Hal ini sesuai dengan penerapan prinsip ekonomi mikro terhadap hukum pidana yang berlandaskan pada asas efisiensi, maksimisasi, dan keseimbangan.

Pada prinsipnya, ditinjau berdasarkan karakteristik hukum pidana administratif dan prinsipil hukum pidana moderen (teoritik) maupun kondisi empirik sebagaimana saya jelaskan di atas, maka keberlakuan sanksi pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular harus diletakkan sebagai sarana pamungkas ketika upaya sanksi administratif maupun upaya preventif (edukasi/sosialisasi) tidak efektif. Selain itu, jikalau sanksi pidana harus “terpaksa” diterapkan, maka sanksi pidana denda hendaknya lebih diutamakan dari pada sanksi pidana penjara. Dengan demikian, sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19 akan memiliki viabilitas sehingga tidak kontraproduktif dengan realitas yang ada.

 

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar