Jumat, 09 April 2021

PENDEKATAN RESTORATIF DAN INDIVIDUALISASI PIDANA

Hukum adalah cerminan jiwa bangsa “volksgeist” yang bersumber dari adat istiadat serta nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu kelompok bangsa. Oleh karena itu, tiap-tiap bangsa akan memiliki jiwanya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda dengan bangsa yang lain, perbedaan “Volksgeist” inilah yang idealnya berimplikasi pada perbedaan cara berhukum suatu bangsa dengan cara berhukum bangsa yang lain, sebuah bangsa A yang memiliki jiwa bangsa B tidak mungkin cocok manakala harus mengikuti cara berhukum bangsa lain yang memiliki jiwa bangsa D, demikian ujar Friedrich Karl Von Savigny seorang ahli sejarah hukum asal Jerman.

Karl Von Savigny menambahkan bahwa hukum itu pada hakikatnya tidak diciptakan, namun ia lahir dan tumbuh bersama masyarakat, berkembang bersama masyarakat, dan binasa manakala masyarakat telah kehilangan kepribadiaannya. Menurut Savigny hukum bukanlah formalitas peraturan perundang-undangan melainkan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat dalam sebuah bangsa, itulah yang dinamakan jiwa bangsa “Volksgeist” yang memiliki ciri khasnya tersendiri dan menjadi serat pembeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Robert B. Seidman dalam penelitiannya pada tahun 1972 berhasil mengajukan sebuah dalil yang berbunyi: “the law of non-transferabillity of law”, yang pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa serta merta diambil begitu saja oleh bangsa lain, mengingat terdapat nilai-nilai sosio-kultural, struktur sosial dan historis-politis yang berbeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Menurut Bryan Z. Tamanaha, hukum dan masyarakat memiliki ikatan keterkaitan yang sangat erat, menurutnya, hukum dan masyarakat memiliki bingkai hubungan yang dinamakan the law-society framework dimana bingkai hubungan tersebut menghasilkan dua hubungan konkret. Pertama, the mirror theory, yang berarti hukum adalah cerminan masyarakat, disini hukum dipandang sebagai pengejawantahan ekspresi dari nilai-nilai, tradisi, dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kemudian yang kedua, instrumentalis function, bahwa hukum itu berfungsi untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai, kebudayaan, ketertiban, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sehingga dapat dipahami bahwa idealnya hukum itu tidak bisa dipisahkan dari basis sosial secara kontekstual yakni masyarakat, memisahkan hukum dengan basis sosialnya, akan menjadikan hukum tidak memiliki daya keberlakuan soziologische geltung (sosiologis) dan filosofische geltung (filosofis). Akibatnya, hukum yang demikian hanya akan memiliki daya keberlakuan yuridis atau jurisdische geltung saja, yang kemudian membuat keberlakuan hukum terasa kaku, represif dan cenderung tidak dapat memberikan keadilan substantif kepada masyarakat.

Mengapa Keadilan Susbtantif di Indonesia Sulit Mawujud?

Hukum hadir sebenarnya untuk siapa sih? Apakah untuk manusia? Atau hukum hadir untuk dirinya sendiri? Hukum itu untuk menciptakan keadilan atau kepastian hukum? Ontologis berpikir mengenai hukum tersebut akan memiliki derivasi paradigma berpikir yang kompleks dalam memahami dan memaknai hukum.

Bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk dirinya sendiri (otonom) dan menjamin kepastian hukum, maka hukum hanya dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic. Sebaliknya bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk manusia dan menciptakan keadilan, maka hukum tidak sekadar dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic, namun juga behaviour yang kuyup dengan ide, rasa, nilai-nilai, dan kearifan lokal basis sosialnya.

Daniel S. Lev seorang professor ilmu politik dan seorang Indonesianis pernah berujar bahwa proses hukum di Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum procedural yakni terpenuhinya ketentuan-ketentuan prosedural yang termaktub dalam peraturan formal, bukan untuk mengejar nilai hukum substantif yang berkaitan dengan asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber didalam masyarakat khususnya terkait apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat.

Padahal substansi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam setiap eranya, baik dari UU No 14 Tahun 1970, UU No 4 Tahun 2004 hingga yang terbaru UU No 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan bahwa penegak hukum dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa goals dari pada aktivitas berhukum kita adalah untuk mendapatkan nilai keadilan substantif bukan sekadar nilai keadilan formal-prosedural, namun dalam prakteknya, khususnya dalam hukum publik (pidana) hal demikian itu hanya nampak sekadar macan kertas.

Menurut Prof. Suteki, bangsa Indonesia adalah bangsa oriental yang memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme, yang berimplikasi pada cara berpikir, berperilaku dan memahami sesuatu dengan mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna yang kesemuanya itu tercakup dalam Pancasila sebagai jiwa bangsa.

Modal sosial inilah yang seharusnya ditransplantasi ke dalam cara berhukum di Indonesia, cara berhukum di Indonesia harus diletakkan guna mencari keadilan substantif bukan keadilan formal-prosedural. Keadilan substantif adalah keadilan yang tidak dihasilkan dari sekadar penerapan ketentuan formal-prosedural namun keadilan yang digali dari rasa dan hati nurani guna mewujudkan makna.

Namun dalam kenyataannya, sebagaimana saya singgung diatas, cara berhukum di Indonesia justru lebih mengutamakan nilai keadilan formal-prosedural dengan paradigma positivisme yang rules dan logic yang merupakan ciri khas bangsa barat, dalam perspektif positivisme, hukum hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan dirinya sendiri yang terpisah dengan basis sosialnya yakni masyarakat. Dalam perspektif positivisme hukum, cara untuk memperoleh keadilan adalah dengan cara menegakkan hukum formal secara rigid.

Inilah yang menjadi akar dari pada problematika hukum Indonesia khususnya hukum pidana. KUHP sebagai induk hukum pidana materil merupakan warisan kolonial yang erat dengan nilai individualisme dan liberalisme dengan pendekatan positivistik dan retributif yang kontradiktif dengan jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila. Kondisi ini membuat hukum pidana hingga saat ini belum mampu memberikan sumbangsih konstruktif bagi kehidupan berhukum yang lebih baik. Oleh karena itu, ke depan arah orientasi pembentukan dan penegakan hukum pidana harus diarahkan pada sistem nilai Pancasila yang secara praksis dapat diejawantahkan dengan pendekatan restoratif.

Pendekatan Restoratif adalah pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan pihak lain untuk mencari jalan keluar terbaik dengan menitikberatkan pada pemulihan dan menghindari pembalasan. Secara formal, pendekatan restoratif sebenarnya telah diadopsi dalam hukum pidana kita meskipun masih parsial sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.

Dan berikut alasan-alasan urgensitas pendekatan restoratif bagi hukum pidana. Pertama, secara filosofis. Pendekatan restoratif memiliki kompabilitas dengan semangat Pancasila yang mengutamakan nilai musyawarah mufakat untuk mencari jalan keluar terbaik atas suatu persoalan. Selain itu, pendekatan restoratif juga memiliki viabilitas bagi terwujudnya keadilan substantif. Kedua, secara viktimologi. Pendekatan restoratif lebih ramah dan akomodatif terhadap kepentingan korban.

Ketiga, bagi problem over capasity lapas. Pendekatan restoratif adalah jawaban bagi solusi over capasity lapas. Dengan adanya pendekatan restoratif, maka over capasity lapas akan dapat dibenahi secara efektif. Keempat, dalam sudut pandang ekonomi mikro. Pendekatan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana akan memberikan sumbangsih bagi menurunnya beban ongkos dan pembiayaan negara dalam rangka pembinaan narapidana di lapas.

Berdasarkan empat alasan di atas. Konkretnya, pendekatan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana harus menjadi arah orientasi penegakan hukum pidana ke depan. Selain itu, pendekatan restoratif kiranya juga harus diintegrasikan dengan penerapan prinsip individualisasi pidana demi optimalisasi dan fungsionalisasi hukum pidana bagi tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Menurut Prof Sudarto, individualisasi pidana artinya dalam memberikan sanksi pidana selalu memperhatikan sifat-sifat dan keadaan pelaku. Beberapa prinsip individualisasi pidana menurut Barda Nawawi Arief terbagi dalam 3 komponen. Pertama, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi (asas personal). Kedua, pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas). Ketiga, penjatuhan sanksi pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan keadaan si pelaku. Hal ini berarti harus ada fleksibilitas bagi hakim dalam memilih jenis pidana serta memungkinkan juga adanya modifikasi pidana dalam pelaksanaannya.

Prinsip individualisasi pidana sendiri bertolak pada pentingnya perlindungan individu (pelaku tindak pidana) dalam sistem hukum pidana. Prinsip individualisasi pidana ini merupakan salah satu karakteristik dari aliran modern hukum pidana sebagai kontradiksi terhadap aliran klasik yang menghendaki hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan penjeraan (daadstrafrecht).

Prinsip individualisasi pidana memiliki beberapa ide/variabel yang bisa ditransplantasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Diantaranya: modifikasi pemidanaan, elastisitas pemidanaan, pengampunan hakim (rechttelijk pardon), hingga penambahan alasan penghapus pidana, dimana keempatnya memiliki kapabilitas untuk merestorasi sistem hukum pidana ke arah yang lebih maju dan efektif (looking forward). Berdasarkan konstruksi tersebut, maka pendekatan restoratif dan prinsip individualisasi pidana secara konseptual maupun teoritik saya kira memiliki viabilitas untuk menjadi problem solving atas segala permasalahan laten hukum pidana kita selama ini.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar