Jumat, 09 April 2021

WIBAWA HUKUM DAN DEKONSTRUKSI HUKUM

 

Hukum memang dapat didefinisikan dalam beragam definisi dan beragam tinjauan perspektif, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis-normatif. Namun dari sudut fungsional, hukum dalam beragam definisi dan beragam telaah perspektif tersebut pada prinsipnya memiliki ghiroh tujuan yang sama, yakni mengatur tata kehidupan manusia dalam konteks relasi hubungan publik maupun privat agar tercipta ketertiban, keselarasan, integrasi sosial, dan kemaslahatan bersama.

Sayangnya, dalam realitas empirik, fungsionalisasi hukum seringkali jauh panggang dari api. Hukum sebagai rules seringkali dipecundangi dan tidak ditaati oleh masyarakat. Bahkan tercipta jokes-jokes ringan di kalangan masyarakat yang bernada sarkastik terkait hukum, seperti “Hukum diciptakan untuk dilanggar”, “UUD, ujung-ujungnya duit”, “KUHP, kasih uang habis perkara”, “penjara (lapas) adalah sekolah penjahat”, “hukum bisa dibeli”.

Jokes-jokes di atas tidak muncul dalam ruang hampa, namun secara empirik lahir dari praktikal hukum yang tidak sehat dan secara sadar menjadi fenomena atau pengalaman sosio-kolektif secara repetitif yang kemudian mengejawantah menjadi diksi naratif-sarkastik dalam relasi dan komunikasi sosial masyarakat.

Kondisi tersebut bisa dipahami sebagai sebuah sinyalemen terkait lemahnya wibawa hukum di mata masyarakat. Lemahnya wibawa hukum sendiri akan berimplikasi pada rendahnya implementasi budaya hukum positif dari masyarakat yang eksesnya akan berdampak pada minimnya ketaatan hukum, maraknya pelanggaran hukum, dan rendahnya fungsionalisasi hukum dalam tertib kehidupan bernegara.

Hal inilah yang harus berbesar hati kita akui terjadi dalam praktik hukum di negara kita tercinta, Indonesia. Setelah 75 tahun merdeka, wibawa dan fungsionalisasi hukum masih sangat rendah. Contoh sederhananya, terjadinya over capasity lapas yang menandakan, hukum pidana kita belum memberikan outcomes (dampak) yang signifikan dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana.

Menurut Romli Atmasasmita, dalam bukunya Teori Hukum Integratif (2012) secara implisit menerangkan bahwa rendahnya wibawa dan fungsionalisasi hukum di Indonesia adalah karena tidak terbentuknya integrasi hukum sebagai sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku.

Apa yang diterangkan Romli dapat dimaknai bahwa hukum Indonesia tidak bernafaskan pada nilai fundamental negara (Pancasila) karena masih kental dengan pengaruh paham liberal-individualistik hukum barat, hukum Indonesia sebagai norma seringkali diletakkan secara inferior di bawah kepentingan ekonomi dan politik sehingga norma hukum positif yang dibentuk seringkali tidak responsif dan justru resisten dengan aspirasi publik, hukum sebagai sistem perilaku (penegakan) dalam praktik-aplikatif seringkali diterapkan secara tidak adil dan fair oleh para aparatur penegak hukum. Tidak terbentuknya integrasi hukum sebagai sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku inilah yang menyebabkan lemahnya wibawa hukum yang kemudian berimbas pada minimnya fungsionalisasi hukum Indonesia.

Oleh karena itu, agar hukum dapat fungsional dalam mengatur tata kehidupan, hukum secara sine qua non harus memiliki wibawa (prestige). Pertanyaannya, bagaimana membangun wibawa hukum? Bagaimana cara agar hukum memiliki wibawa? Atau bagaimana menciptakan ketaatan hukum secara sadar (internalization)? Secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan membangun integrasi hukum sebagai sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku.

Namun secara praktis, tentunya harus ada pemenuhan-pemenuhan beberapa variabel yang secara integral-komprehensif harus dipenuhi oleh sistem hukum agar hukum memiliki wibawa sehingga dapat fungsional sebagai rules dalam mengatur tata kehidupan masyarakat. Pertama, substansi hukum. Substansi hukum harus mencerminkan nilai fundamental negara dan aspirasi aktual masyarakat. Kedua, proses pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum harus tersedia sarana partisipasi publik yang memadai untuk membangun interest dan awareness publik serta meminimalisir arogansi hukum penguasa.

Ketiga, penegakan hukum. Secara substantif, hukum harus dilengkapi dengan sanksi yang tegas dan proporsional sebagai sarana preventif. Secara implementatif, praksis penegakan hukum harus dilaksanakan secara fair, akuntabel, dan berkeadilan sebagai sarana represif. Keempat, keteladanan. Dalam masyarakat paternalistik seperti masyarakat Indonesia, dibutuhkan adanya keteladanan dari patron (penegak hukum, pejabat publik, pembuat hukum dll) untuk mematuhi hukum dan menjaga marwah hukum. Kelima, informasi dan sosialisasi hukum. Hukum akan memiliki wibawa dan pengaruh, jika masyarakat memiliki penghetahuan memadai mengenai hukum. Penghetahuan terhadap hukum akan memiliki implikasi pada praksis budaya hukum positif yang melahirkan kebijaksanaan, kehati-hatian, dan kepatuhan.

Dekonstruksi Hukum

Terkait fungsionalisasi hukum, selain penguatan wibawa hukum sebagaimana penulis jelaskan di atas juga diperlukan pendekatan-pendekatan teoritik, salah satunya pendekatan dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jaques Derrida. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger yang mengandung makna analisis/penelaahan.

Menurut Derrida, dekonstruksi adalah cara membaca teks secara interpretatif atau suatu cara memahami teks dengan hermeneutika radikal (deep hermeneutic). Dekonstruksi sebagai hermeneutika radikal ditandai dengan pergantian perspektif secara kontiniutas sehingga makna tidak dapat diputuskan secara mutlak.

Dekonstruksi menjelaskan bahwa setiap teks akan selalu hadir dengan anggapan-anggapan yang dianggap mutlak, padahal setiap anggapan selalu bersifat kontekstual atau hadir sebagai konstruksi sosial yang historikal, yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Menurut Derrida, manusia selalu tendensius untuk melepaskan teks dari konteksnya. Suatu terminologi seringkali dilepaskan dari konteks dan aktualisitasnya. Teks dapat diinterpretasikan sampai tak terhingga, oleh karena itu, menurut Derrida kebenaran tidak harus tunggal, mutlak, dan menyeluruh.

Sejalan dengan pendekatan dekonstruksi Derrida, hukum sebagai sebuah norma yang terdiri dari susunan teks memiliki peluang untuk ditelaah dengan pendekatan dekonstruksi. Dengan pendekatan dekonstruksi, teks-teks hukum tidak akan bersifat absolut melainkan dinamis dan kontekstual untuk diinterpretasikan. Terlebih, hukum sendiri dapat dipahami sebagai seni membangun interprestasi.

Dalam pendekatan dekonstruksi, hukum tidak akan bersifat statis dan positivistik melainkan bersifat dinamis dan progresif guna menemukan hakikat fungsional hukum atau makrifat hukum yakni keadilan dan utilitas. Keadilan dan utilitas tidak bisa dipasung dalam teks-teks hukum atau pasal yang statis, karena keadilan dan utilitas sendiri bersifat abstrak, relatif, dan dinamis.

Pada prinsipnya, dekonstruksi hukum merupakan pendekatan yang kompatibel bagi eksistensi hukum progresif dan terwujudnya keadilan substantif/utilitas hukum walaupun dalam perspektif positivisme, pendekatan dekonstruksi hukum akan sangat kontraproduktif untuk mewujudkan kepastian hukum.

Ke depan, dekonstruksi hukum, perlu menjadi bekal referensi dan dikuasai oleh aparatur penegak hukum khususnya oleh hakim sebagai wakil Tuhan yang memiliki tanggungjawab besar tidak sekadar tanggungjawab normatif tetapi juga tanggungjawab ilahiyah (moral, spiritualitas, filosofis). Hakim harus mampu menjadi problem solving tidak sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi).

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar