Prof.
B.M. Taverne seorang intelektual hukum asal Belanda mengemukakan pentingnya
hukum dijalankan sebagai sebuah sistem perilaku (positif), karena pada akhirnya
sebaik apapun norma dan nilai yang terkadung dalam suatu aturan hukum tidak ada
artinya jika tidak dilaksanakan secara baik dan fair. Taverne berujar “Berikan aku hakim, jaksa, dan polisi yang
baik, maka dengan hukum yang jelek sekalipun keadilan masih bisa diwujudkan”.
Apa
yang diucapkan oleh Taverne dielaborasi oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa
hukum tidak bisa hanya diletakkan sebagai sebuah sistem norma, melainkan juga
harus dipraksiskan sebagai sebuah sistem perilaku. Karena pada akhirnya, yang
menjalankan hukum (sistem norma) adalah manusia. Baik tidaknya penegakan hukum
akan sangat ditentukan oleh bagaimana perilaku dari orang-orang yang
berkecimpung di dalamnya (perilaku penegak hukum).
Hukum
dalam konteks kerangka sistem terdiri atas 3 komponen yang membangun framework secara integral yakni
substansi hukum (legal substance),
struktur hukum (kelembagaan dan sumberdaya hukum), dan budaya hukum baik budaya
hukum internal maupun budaya hukum eksternal (nilai-nilai dan perilaku yang
melembaga)
Di
Indonesia, permasalahan sistem hukum sendiri terjadi di semua komponen dengan
tingkat ekskalasi yang berbeda. Permasalahan substansi hukum misalnya terkait
sinkronisasi aturan. Permasalahan struktur hukum misalnya terkait
nir-profesionalitas aparat dalam proses penegakan hukum. Permasalahan kultur
hukum misalnya maraknya budaya-budaya di masyarakat yang kontradiksi dengan
hukum positif, misalnya penerimaan politik uang.
Dari
ketiga komponen sistem hukum di atas, prioritas restorasi idealnya adalah pada
budaya hukum. Karena disitulah pintu masuk terjadi tidaknya
pelanggaran-pelanggaran hukum. Namun, perbaikan budaya hukum sendiri memerlukan
pendekatan yang luas, multi-sektoral, dan kontiniutas waktu yang panjang, Tidak
bisa menjadi prioritas dalam waktu dekat.
Oleh
karena itu, prioritas restorasi sistem hukum untuk saat ini hendaknya diarahkan
pada restorasi struktur hukum. Karena inilah mesin dalam penegakan hukum yang
menentukan bagaimana output dan outcome dari pada aktivitas penegakan
hukum. Kalau menurut saya, diksinya tidak lagi restorasi tetapi revolusi.
Revolusi di sini artinya perubahan fundamental untuk memperbaiki problematika
yang besar dan laten. Konkretnya, harus ada perubahan fundamental terkait
struktur hukum kita agar kehidupan hukum khususnya aspek penegakan hukum bisa
memberikan sumbangsih nyata dalam proses integrasi sosial maupun perwujudan
keadilan sosial.
Menurut
saya, ada dua problematika besar terkait struktur hukum di Indonesia. Pertama,
soal profesionalitas. Profesionalitas di sini berkaitan bagaimana struktur
hukum (aparat penegak hukum) mengejawantahkan hukum sebagai sistem perilaku dalam
bingkai birokrasi hukum maupun dalam orde kultural. Kedua, sumberdaya atau
sarana. Aspek ini berkaitan dengan proporsionalitas dan keterjangkauan
aktivitas penegakan hukum baik secara preemtif, preventif, maupun represif.
Terkait
profesionalitas aparat penegak hukum titik masalahnya adalah pada proses
penegakan hukum yang seringkali bernuansa koruptif (suap, pemerasan,
gratifikasi, organisasi perkara dll), tidak ramah terhadap hak asasi manusia
(kekerasan dan intimidasi dalam proses penegakan hukum) dan perilaku sosial negatif
aparat penegak hukum (arogansi, menjadi back
up tindak kejahatan dll).
Secara
restorasi, problematika tersebut bisa diatasi dengan perbaikan sistem
rekruitmen dan penguatan sanksi internal yang realitasnya menurut saya selama
ini juga tidak dilakukan pembenahan secara serius. Akan tetapi, dari sudut
pandang revolusi, maka kedua hal tersebut tidak cukup, harus ada perubahan
fundamental terkait struktur hukum kita.
Di
sinilah pentingnya melakukan kajian perbandingan hukum. Pentingnya melakukan study banding mengenai pengorganisasian
struktur hukum kepada negara yang memiliki kualitas hukum yang baik. Salah satu
referensi terbaik bagaimana melihat kualitas struktur hukum maupun sistem hukum
secara utuh adalah Jepang.
Di
Jepang, alur untuk menjadi penegak hukum baik jaksa, hakim, dan pengacara
dilakukan secara integral dalam satu wadah komando. Pertama, setelah lulus dari
S-1 hukum, calon penegak hukum harus melanjutkan ke law school atau setingkat S-2 selama 2-3 tahun. Setelah lulus dari law school para calon aparat penegak
hukum akan mengikuti ujian hukum negara agar bisa masuk ke legal training and research institute (LTRI). LTRI merupakan
lembaga yang memiliki wewenang untuk merekrut dan melatih calon aparat penegak
hukum di Jepang.
LTRI
memiliki 2 tugas utama. Pertama, melaksanakan pelatihan dan riset berkala untuk
hakim yang dilakukan khusus oleh first
division of LTRI. Kedua, melaksanakan pelatihan bagi calon penegak hukum
yang dilakukan oleh second division of LTRI.
Calon penegak hukum di Jepang harus melaksanakan pelatihan selama 12 bulan.
LTRI diisi oleh dosen dan tenaga pengajar profesional yang berasal dari hakim
senior, jaksa senior, dan pengacara senior.
Setelah
lulus ujian hukum negara yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang melalui
Departemen Kehakiman, Mahasiswa (calon aparat penegak hukum) akan mengikuti
pendidikan dan latihan profesi hukum selama 12 bulan. Dengan rincian, 10 bulan
pelatihan lapangan (magang) dan 2 bulan pelatihan kolektif di LTRI. Setelah
selesai 12 bulan, kemudian akan diadakan ujian akhir dan evaluasi ketat untuk
menentukan pos posisi apa yang pas bagi mahasiswa law school, apakah hakim, jaksa, atau pengacara yang disesuaikan
dengan potensi, kompetensi, psikologi, dan kepribadiannya (Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman, 2018).
Poin
penting dari pola pengorganisasian struktur hukum di Jepang adalah perihal poin
restriktif-kompetitif (saringan ketat dan berjenjang) dan sinkronisasi
pendidikan. Dua poin ini berimplikasi kepada lahirnya aspek kompetensi,
kapasitas, integritas, dan sinergi antar aparat penegak hukum yang dapat
berjalan baik dalam satu paradigma.
Saya
percaya, tidak semua sistem hukum maupun pola sub-sistem hukum dari satu negara
dapat ditransplantasi ke negara lain. Namun, dalam konteks revolusi (perubahan
fundamental), agaknya melihat keberhasilan pola sub-sistem hukum (struktur
hukum) di Jepang dapat dijadikan bahan kajian dan referensi serius (bisa dengan
modifikasi) terkait bagaimana menata pengorganisasian kelembagaan hukum kita.
Tanpa ada revolusi struktur hukum, saya yakin tidak akan ada perubahan berarti
dalam konteks penegakan hukum kita.