Senin, 03 Mei 2021

HUKUM DAN RELASI KUASA

 

Berdasarkan teori bekerjanya hukum, Robert B. Seidman dan Wiliamm J Chambliss, menjelaskan bahwa proses bekerjanya hukum dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, para pemegang peran, dan pengaruh kekuatan personal maupun sosial. Selanjutnya keempat komponen tersebut membentuk sebuah relasi integral yang mengejawantah dalam preposisi-preposisi sebagai berikut:

Pertama, setiap aturan hukum itu menunjukkan bagaimana seharusnya pemegang peran untuk bertindak. Kedua, tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang peran pemegang peran akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks ekonomi, sosial, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya.

Ketiga, tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana (penegak hukum) sebagai respons terhadap peraturan hukum akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari aktivitas pelaksanaannya, sanksi-sanksinya, serta dari seluruh kompleks kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya serta dari umpan balik antara pemegang peran dan birokrasi.

Keempat, tindakan apa yang diambil oleh lembaga pembuat hukum sebagai respon terhadap peraturan hukum akan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan lainnya yang bekerja atas dirinya serta umpan balik antara pemegang peran dan birokrasi.

Oleh karena itu, bekerjanya hukum secara empiris (das sein) akan dihadapkan pada relasi-relasi dalam bingkai struktur sosial secara komprehensif. Berbagai dimensi non-hukum turut berpengaruh bahkan melakukan intervensi terhadap proses-proses bekerjanya hukum. Atau dapat dielaborasikan bahwa proses bekerjanya hukum berhubungan erat dengan relasi-relasi kuasa.

Relasi Kuasa

Menurut Michael Foucault, kekuasaan memiliki hubungan respirokal-integral dengan penghetahuan. Kekuasaan menghasilkan penghetahuan sebaliknya penghetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan berpengaruh terhadap kekuasaan. Foucault mendefinisikan penghetahuan sebagai episteme. Episteme adalah entitas kekuasaan yang otoritatif yang telah dikonsepsikan sebagai pemaknaan terhadap fenomena tertentu.

Terbentuknya epistime dalam ruang sosial secara logis tentu tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, dalam konteks ini kekuasaan memiliki ruang dan legitimasi untuk melakukan intervensi-intervensi tertentu yang meletakkan subyek dalam posisi inferior. Konkretnya, Foucoult ingin menjelaskan bahwa relasi selalu memiliki basis kekuasaan. Dimana ada relasi di situ ada kekuasaan. Kekuasaan teraktualisasi melalui penghetahuan dan penghetahuan selalu memiliki efek kuasa.

Bagi Foucoult, kekuasaan tidak dilihat sebagai sebuah entitas yang absolut dan materialistik. Melainkan dilihat sebagai sebuah strategi dalam dinamika masyarakat yang mengandung relasi-relasi beragam. Kekuasaan tidak berpusat pada satu subyek tertentu (absolut) melainkan tersebar dalam berbagai relasi sosial baik secara makro maupun mikro.

Kekuasaan dalam masyarakat modern disebut sebagai disciplinary power, yang merupakan wujud normalisasi perilaku dalam wacana relasi sosial yang diinternalisasikan secara repetitif sehingga berpengaruh sebagai pondasi intervensi subyek. Normalisasi perilaku pada akhirnya meletakkan subyek sebagai kendaraan bagi kekuasaan.

Hukum sebagai pranata sosial (sosiologis). Dapat dipahami sebagai ruang tumbuhnya berbagai relasi kuasa. Dalam proses bekerjanya hukum baik dari tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi selalu berkelindan dengan kekuasaan dalam beragam relasi kuasa.

Dalam tahap formulasi misalnya ada relasi kuasa antara anggota legislatif dengan partai politik, dalam tahap aplikasi terdapat relasi kuasa antara pimpinan dengan bawahan, dalam tahap eksekusi juga demikian. pada prinsipnya, proses bekerjanya hukum tidak dapat dilepaskan dalam bingkai relasi kuasa. Dalam bekerjanya hukum, selalu tercipta ruang-ruang intervensi yang lahir dari ketidakseimbangan kuasa sehingga menyebabkan tujuan-tujuan idealitas hukum tersendat.

           

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar