Senin, 03 Mei 2021

PPKM DAN EFEKTIVITAS HUKUM

 

Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2021 tentang Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Pulau Jawa dan Bali, pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari tanggal 11 Januari hingga 25 Januari 2021 dengan cakupan secara parsial-regional (tidak semua kabupaten/kota) dengan beberapa kriteria spesifik, seperti: tingkat kematian Covid-19 di atas rata-rata nasional atau di atas 3 persen, kesembuhan di bawah rata-rata nasional atau 82 persen, kasus positif di atas 14 persen, dan okupasi rumah sakit di atas 70 persen.

Jika kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali memenuhi kriteria di atas, maka akan diadakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang secara teknisnya diatur oleh pemerintah daerah setempat. Secara filosofis, PPKM merupakan kebijakan yang memiliki substansi terkait pembatasan aktivitas sosial masyarakat dengan tujuan silver goals untuk mengurangi kerumunan sosial maupun tujuan ultimate goals untuk mengurangi jumlah grafik Covid-19 di Indonesia.

Sayangnya, penerapan teknis dari pada PPKM justu terlihat kontraproduktif dengan tujuan filosofisnya. Misalnya terkait pembatasan jam operasional kegiatan perekonomian  hingga pukul 7 malam yang berimbas pada membludaknya pengunjung (konsumen) di jam-jam mendekati waktu tutup. Menurut hemat saya, akan lebih baik jika pembatasan jam operasional kegiatan perekonomian dihapuskan dan diganti dengan aturan tidak boleh makan di tempat atau harus dibungkus. Kebijakan ini bisa mengakomodasi 2 hal, meminimalisir kerumunan sosial serta melindungi derivasi ekonomi pedagang kecil yang obyek jualannya adalah “jam malam”.

Secara empiris, penerapan PPKM sendiri tidak memiliki dampak signifikan terkait penurunan grafik Covid-19 malah justru memperlihatkan fenomena anomali. Pada awal PPKM, kasus positif berjumlah 123.636 dan per 25 Januari telah meningkat menjadi 162.617. Demikian pula dengan angka kematian. Selama 10 hari penerapan PPKM terdapat 2.728 kematian, lebih tinggi dari pada 10 hari sebelum PPKM dengan catatan 2.011 kematian (Tirto.id, 26 Januari 2021).

Realitas demikian, membuat PPKM diperpanjang hingga tanggal 8 Februari 2021. Perpanjangan PPKM  diharapkan pemerintah akan mampu memberikan dampak signifikan terkait penurunan grafik Covid-19. Akan tetapi, perlu diperhatikan oleh pemerintah bahwa pelaksanaan PPKM jilid II harus dibarengi restorasi baik secara penerapan maupun sarana agar PPKM jilid II dapat berperan efektif dan tidak bernasib sama dengan PPKM jilid I.

Efektivitas Hukum

Sebagai sebuah hukum (rules) kebijakan PPKM memiliki variabel-variabel yang harus dipenuhi agar dapat bekerja dan berdampak secara efektif. Menurut teori efektivitas hukum, Soerjono Soekanto, efektivitas hukum dipengaruhi oleh 5 variabel, yang terdiri dari: faktor hukum (substansi), faktor penegakan hukum, faktor sarana dan pra-sarana, faktor masyarakat, dan faktor budaya.

Ditinjau dari perspektif teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto, kebijakan PPKM sendiri memiliki beberapa kelemahan, baik secara substansi, teknis, maupun kultur. Secara substansi, kebijakan PPKM menurut saya justru menimbulkan penumpukan kerumunan sosial parsial dalam waktu spesifik tertentu. Misalnya di waktu-waktu menjelang jam 7 malam (menjelang tutup). Hal ini tentu kontraproduktif dengan tujuan dari PPKM itu sendiri yang bertujuan mengurangi kerumunan sosial.

Secara teknis, ada kendala terkait jumlah aparatur penegak hukum dan sarana/pra-sarana yang membuat penerapan PPKM secara efektif cukup sulit mawujud. Luasnya daerah dan banyaknya entitas ekonomi tidak sebanding dengan kuota dan kapasitas aparat penegak hukum. Sehingga, dalam kondisi PPKM, warung-warung kopi atau makanan yang berada di pelosok atau jauh dari jalan besar tetap buka seperti biasa dengan kerumunan sosial. Hal ini dapat terjadi karena minimnya keterjangkauan hukum (terbatasnya aparatur dan sarana).

Kemudian secara kultur, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat kolektif yang memiliki kebiasaan berkumpul dalam relasi sosial yang hangat misalnya ngopi atau istilah Jawa Timur nyangkruk. Kebiasaan atau kultur inilah yang agak sulit dirubah, oleh karena itu membutuhkan internalisasi nilai kesadaran secara repetitif melalui edukasi, sosialisasi, keteladanan, hingga ketegasan (represif).

Oleh karena itu, penerapan PPKM jilid II dari 25 Januari hingga 8 Februari 2021 hendaknya memperhatikan faktor-faktor efektivitas hukum sebagaimana saya sampaikan di atas. Hal ini penting agar PPKM jilid II mampu bekerja dan berdampak secara signifikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Tanpa adanya re-evaluasi, maka saya pesimis, penerapan PPKM jilid II akan berdampak efektif dalam rangka menurunkan grafik Covid-19.

           

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar