Senin, 03 Mei 2021

SIMBIOSIS KORUPSI

 

Transparency Internasional Indonesia (TII) merilis hasil skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 sebesar 37 atau turun 3 poin dari hasil skor IPK tahun 2019 lalu. Dalam konteks peringkat, Indonesia juga mengalami penurunan dari peringkat 85 menjadi peringkat 102.

Peringkat IPK Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara macam Timor Leste (peringkat 40), Malaysia (peringkat 51), Brunei (peringkat 60), dan Singapura (peringkat 85). Penurunan IPK sendiri menjadi yang pertama bagi Indonesia sejak 12 tahun terakhir. Fenomena ini tentunya harus menjadi atensi kita bersama, sebuah alarm sebagai cambuk introspeksi agar berjalannya negara ini kembali on the track sebagaimana amanat konstitusi dan cita reformasi yang menghendaki zero tolerance terhadap korupsi.

Menurut temuan Transparency Internasional Indonesia, penurunan skor IPK dikarenakan adanya stagnansi yang berafilisasi dengan sektor ekonomi-bisnis dan investasi serta kondisi politik-demokrasi yang masih rentan terhadap praktik-praktik koruptif. Korupsi politik masih menjadi semacam varieties of democrazy dalam wacana politik Indonesia.

Berkaca pada realitas di atas, Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Arti kata memimpin di sini memiliki pengejawantahan makna yang luas, tidak sekadar dalam arti sikap semantik, melainkan juga dalam wacana legislasi dan alokasi anggaran.

Dalam konteks sistem hukum nasional, korupsi sendiri merupakan tindak pidana yang tergolong sebagai extraordinary crime yang memiliki dampak negatif yang luas, sehingga memerlukan treatments luar biasa pula. Menurut Peter Eigen (2003) dampak korupsi tidak hanya mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan institusi-institusi demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memiskinkan masyarakat.

Konkretnya, korupsi merupakan patologi sosial yang bisa merusak sendi-sendi fundamental negara. Selama korupsi masih menggurita dan mengejawantah secara masif dalam praktik bekerjanya cabang-cabang kekuasaan negara, maka kemajuan dan kesejahteraan rakyat hanya sekadar ilusi, ibarat mengharap datangnya matahari di tengah gulita malam.

Menurut hemat saya, ada tiga problematika besar terkait semangat dan awareness dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana ketiganya membangun sebuah simbiosis  sehingga terbentuk ekosistem sosial yang ramah terhadap praktik-praktik korupsi.

Pertama, rendahnya kehendak politik dari pemimpin dalam memimpin pemberantasan korupsi. Di atas, Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi.

Faktanya, para pemimpin politik yakni eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR) justru seringkali menunjukkan kehendak-kehendak politik yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. “Pembonsaian” dan pelemahan KPK sebagai lembaga independen melalui sarana legislasi (revisi UU KPK) merupakan contoh aktual yang menggambarkan bagaimana pemimpin politik negeri ini tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Kondisi inilah yang menjadi causa proxima mengapa korupsi tumbuh subur di Indonesia.

Kedua, lemahnya penegakan hukum dalam bigkai sistem peradilan pidana. Sebagai extra ordinary crime, tindak pidana korupsi seharusnya dikonsepsikan sebagai perbuatan jahat yang luar biasa sehingga juga harus mendapatkan sanksi pidana yang luar biasa pula (berat). Namun faktanya, para koruptor seringkali justru mendapatkan tuntutan pidana yang rendah dari jaksa, kemudian dijatuhi vonis yang relatif rendah dari hakim, serta mendapat previlege-previlege saat mendekam di lembaga pemasyarakatan.

Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama Januari hingga Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan hanya 3 tahun penjara. Selama Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi dan 1043 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung.

Rinciannya, pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan penjara. Pengadilan tinggi menyidangkan 162 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 3 tahun 6 bulan penjara. Tingkat kasasi dan peninjauan kembali di mahkamah agung terdapat 8 perkara dengan rata-rata vonis 4 tahun 8 bulan penjara. Bahkan untuk kasus korupsi tindak pidana suap yang ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun penjara, rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada 74 terdakwa hanya 1 tahun 7 bulan penjara. Realitas demikian menunjukkan bahwa korupsi yang berlabel extraordinary crime, yang bisa dimaknai sebagai kejahatan yang luar biasa dan reasonable untuk dijatuhkan pidana yang lebih berat dari tindak pidana biasa nampaknya hanya sekadar macan kertas belaka.

Fenomena tersebut membuat efek jera dan resosialisasi (pembinaan) tidak mampu mengejawantah sebagai prevensi khusus maupun prevensi general. Sederhananya, orang yang pernah melakukan korupsi tidak takut untuk mengulanginya, sedangkan orang yang belum pernah melakukan korupsi pun tidak takut untuk melakukan praktik korupsi.

Ketiga, sikap permisif rakyat terhadap korupsi. Contoh sederhana yang bisa menggambarkan bagaimana sikap permisif rakyat terhadap korupsi dapat dilihat ketika kontestasi politik. Menurut survei Lembaga Ilmu Penghetahuan Indonesia pada pemilu 2019 lalu, 37 persen responden mengaku menerima politik uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Realitas ini mendeskripsikan bahwa masyarakat masih memandang politik uang sebagai bagian dari pemilu. Jika saya refleksikan, rakyat menghujat korupsi di hilir (saat koruptor tertangkap) tapi membuka ruangnya di hulu (menerima politik uang).

Pada akhirnya, ketiga simbiosis korupsi inilah yang menyebabkan praktik-praktik korupsi di negeri ini terus menjalar secara masif dan sistematik. Seharusnya bangsa Indonesia malu walau untuk sekadar bermimpi. Bagaimana mungkin memimpikan minim korupsi kalau eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan rakyatnya saja permisif terhadap korupsi dan menjadi aktor baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktik korupsi tersebut?

           

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar