Senin, 02 Agustus 2021

KRONIS KORUPSI

 

 

Awan mendung kembali menyelimuti langit pertiwi, virus laknat korupsi kembali terdiagnosa publik. Setelah dua mantan menteri rezim pemerintahan Jokowi periode 2019-2024, Juliari Batubara dan Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan kasus korupsi. Kini, giliran Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan yang dikenal memiliki track record bersih dan sarat prestasi ditangkap oleh KPK.

Dalam konferensi pers di Gedung KPK terkait penangkapan Nurdin Abdullah, Ketua KPK, Firli Bahuri berujar “Dugaan korupsi berupa hadiah atau janji dan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau para pihak yang mewakilinya. Terkait dengan pengadaan barang/jasa pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan” (dikutip dari detiknews, 28 Februari 2020).

Nurdin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka dengan jerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Selain Nurdin Abdullah, KPK juga menetapkan AS selaku Direktur PT Agung Perdana Bulukumba dan ER selaku Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulawesi Selatan sebagai tersangka.

Tertangkapnya Nurdin Abdullah oleh KPK sendiri sebenarnya bukan sebuah fenomena yang mengejutkan jika dilihat secara umum. Secara umum telah banyak pejabat publik baik di level eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah yang terjerat kasus korupsi. Namun jika dilihat secara spesifik (personal), tertangkapnya Nurdin Abdullah oleh KPK memang sedikit mengejutkan, mengingat Nurdin memiliki rekam jejak yang bersih dan sarat berprestasi. Pada tahun 2017 lalu, Nurdin Abdullah bahkan meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award. Apresiasi yang menunjukkan semangat, integritas, dan kontiniutas Nurdin Abdullah terkait pemberantasan korupsi. Sayangnya, kisah itu kini sudah menjadi memorabilia.

 

Jika kita cermati, era reformasi dengan semangat zero tolerance terhadap korupsi serta landasan sistem demokrasi justru mengalami gejala anomali dan mengejawantah menjadi praktik labirin korupsi baik secara vertikal maupun horizontal (spread) dengan beragam tipologi. Hal ini berbeda dengan era orde baru dengan landasan otoritarianisme-sentralistik, dimana korupsi bersifat terpusat.

Vito Tanzi dalam buku Corruption Around The World sebagaimana dikutip oleh Chaerudin dalam buku Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (2008) membagi tipologi korupsi menjadi 7 golongan. Pertama, korupsi transaksional. Korupsi yang terjadi atas kesepakatan seorang donor dan resipien untuk keuntungan keduanya. Kedua, korupsi ekstorsif. Korupsi yang melibatkan penekanan atau pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau dekat dengan pelaku korupsi. Ketiga, korupsi invensif. Korupsi yang berawal dari tawaran investasi untuk mengakomodasi adanya keuntungan di waktu yang akan datang. Keempat, korupsi nepotistik. Korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus khususnya terkait proyek-proyek bagi keluarga dekat. Kelima, korupsi otogenik. Korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan sebagai orang dalam tentang kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan. Keenam, korupsi supportif. Perlindungan dan penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan. Ketujuh, korupsi defensif. Korupsi yang dilakukan untuk mempertahankan diri dari pemerasan.

Sejalan dengan tipologi korupsi sebagaimana dijelaskan oleh Vito Tanzi di atas, praksis-implementasi tipologi korupsi (praktik korupsi) pada umumnya dan khususnya di Indonesia pada dasarnya berkaitan dengan viabilitas dari empat dimensi. Pertama, dimensi alamiah. Secara alamiah, manusia memiliki hasrat dan hawa nafsu khususnya pada hal-hal yang bersifat materialistik. Oleh karena itu, menurut saya korupsi tidak bisa dihilangkan hanya dapat diminimalisir.

Kedua, dimensi politik. Cost untuk eksis dalam sistem politik Indonesia sangat besar, biaya untuk menang dalam kontestasi politik pun mahal (biaya mahar politik, biaya kampanye, dan biaya politik uang). Hal inilah yang secara logis menjadi causa yang mendorong para pejabat politik melakukan korupsi untuk setidaknya mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya untuk menang dalam kontestasi politik.

Ketiga, dimensi hukum. Dimensi hukum dapat ditinjau dari aspek formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Dari sisi formulasi, banyak Rancangan Undang-Undang yang memiliki substansi dan urgensi terkait pemberantasan korupsi justru tidak diprioritaskan dan tidak kunjung menjadi undang-undang, misalnya RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari sisi aplikasi (penegakan), vonis terhadap terpidana korupsi juga relatif rendah, vonis tambahan uang pengganti sebagai asset recovery juga tidak proporsional dibandingkan dengan jumlah kerugian negara. Kemudian dari sisi eksekusi, sudah menjadi rahasia umum, para narapidana korupsi banyak mendapatkan previlege-previlege di dalam lembaga pemasyarakatan yang membuat tujuan pemidanaan dan pembinaan tidak optimal.

Keempat, dimensi sosial. Banyak perilaku koruptif yang menggurita sebagai kebiasaan di dalam masyarakat. Struktur sosial dalam tahap yang kompleks akhirnya menjadi ruang yang ramah terhadap perilaku-perilaku koruptif. Kumulasi dari viabilitas dimensi alamiah, dimensi politik, dimensi hukum, dan dimensi sosial yang lemah terhadap ghiroh pemberantasan korupsi membuat korupsi selalu tumbuh subur secara kontinu.

Oleh karena itu diperlukan restorasi visi antikorupsi yang rigid antara pemimpin politik (eksekutif, legislatif, ketua partai politik) dan pemilik kedaulatan rakyat (masyarakat) sehingga bisa melahirkan adresat baik berupa kebijakan maupun perilaku empirik yang mencerminkan sikap antikorupsi. Zero tolerance terhadap korupsi. Jika hal tersebut (visi antikorupsi) tidak bisa dibangun secara sinergis-integral, maka niscaya korupsi akan terus menerus tumbuh subur dan merajalela.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar