Masyarakat Indonesia saat ini tengah terhanyut euforia
penyelenggaraan hajat olahraga terbesar benua Asia, Asian Games, tahun ini
untuk kedua kalinya setelah pada 1962, Indonesia kembali terpilih menjadi tuan
rumah hajat olahraga terbesar Asia yang digelar 4 tahun sekali tersebut.
Pesta pembukaan Asian Games yang digelar di Stadion Utama
Gelora Bung Karno 18 Agustus lalu pun berlangsung meriah dan berhasil memukau
banyak pihak, tidak hanya para penonton di Stadion, dan rakyat Indonesia secara
umum, namun pembukaan Asian Games 18 Agustus lalu juga mendapatkan apresiasi
dari media asing seperti surat kabar New York Times yang mengatakan bahwa
pembukaan Asian Games di Indonesia berlangsung megah, “Indonesia Welcomes Asia With Explosive Opening Ceremony” demikian
judul berita di surat kabar New York Times pada sabtu 18 Agustus 2018 di
laman nytimes.com.
Pesta pembukaan Asian Games 2018 yang megah dan memukau ini
pun membuat bangga seluruh masyarakat Indonesia, kesuksesan pembukaan Asian
Games 2018 ini pun berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata
dunia, Indonesia yang notabene negara berkembang nyatanya mampu membuat pesta
pembukaan yang sangat megah dan memukau, bahkan tidak kalah dengan pesta pembukaan
olimpiade London 2012, semoga dalam berjalannya Asian Games ini hingga
penutupan mendatang tetap dapat berjalan
aman, lancar, kondusif dan sukses.
Menjadi tuan rumah di ajang olahraga besar tentunya menjadi
sebuah kehormatan dan kebanggaan tersendiri, karena hal tersebut menandakan
bahwa Indonesia layak diberikan kepercayaan dan tanggungjawab untuk
menyelenggarakan even berskala Internasional sekaliber Asian Games yang tahun
ini diikuti oleh 45 negara.
Selain pernah menjadi tuan rumah ajang olahraga sekelas
Asian Games sebanyak dua kali yakni tahun 1962 dan 2018, sejatinya Indonesia
juga pernah menjadi tuan rumah sekaligus pemrakarsa ajang olahraga berskala
internasional yang diikuti oleh 51 negara dari 4 benua yakni GANEFO (Games of
the New Emerging Force) pada tahun 1963.
Penyelenggaraan GANEFO ini sendiri dilatarbelakangi oleh adanya
sanksi International Olimpiade Comitte (IOC) kepada Indonesia berupa larangan
mengikuti olimpiade 1964, karena pada penyelenggaraan Asian Games 1962 di
Jakarta, Indonesia menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dengan latarbelakang
alasan politis.
Indonesia menolak keikutsertaan Israel karena Israel telah
menindas Palestina yang notabene adalah negara sahabat Indonesia, sikap
Indonesia tersebut merupakan bentuk dukungan moril dan cerminan rasa
solidaritas Indonesia kepada Palestina, setali tiga uang, Indonesia menolak
keikutsertaan Taiwan pada Asian Games 1962 di Jakarta juga dikarenakan alasan
politis yaitu karena Taiwan adalah “aktor “ yang menjadi penyebab dikucilkannya
China yang notabene negeri sahabat Indonesia dari dunia internasional.
Soekarno pun dengan lantang mengemukakan alasan ditolaknya
keikutsertaan Israel dan Taiwan pada ajang Asian Games 1962 di Jakarta yakni
sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme atas hegemoni
kekuasaan barat dan sekutunya, dimana Israel dan Taiwan merupakan bagian dan
berafiliasi dengan hegemoni barat dan sekutunya.
Sikap Indonesia tersebut membuat IOC geram hingga akhirnya menjatuhkan
sanksi berupa larangan bagi Indonesia
untuk ikut ambil bagian pada ajang olimpiade tahun 1964 di Tokyo, IOC menganggap
Indonesia telah mencampuradukkan politik dan olahraga, dengan jalan membawa
sentimen politik ke dalam ranah olahraga, hal tersebut dinilai IOC telah
melanggar peraturan IOC yang menolak intervensi atau campur tangan politik dalam olahraga, menurut IOC olahraga adalah
ajang bagi tumbuhnya persatuan, persahabatan dan persaudaraan sehingga olahraga
dan politik harus tegas dipisahkan, namun Soekarno melawan dengan mengatakan
bahwa politik dan olahraga adalah satu tarikan nafas yang tidak bisa
dipisahkan, menurut Soekarno olahraga dapat menjadi alat perjuangan politik
untuk melawan kolonialisme dan imperialisme.
Soekarno juga menuduh IOC bermain politik sama seperti dia,
alias mencampuradukkan olahraga dan politik, Soekarno berkata “Saat IOC
mengucilkan China (RRC), tak ramah dengan Republik Arab Bersatu dan Korea Utara
apa itu tidak dinamakan politik ? hal ini menandakan bahwa IOC sendiri telah
mencampuradukkan olahraga dengan politik, dimana IOC terlihat lebih condong kepada negara-negara imperialis".
Setelah Indonesia mendapat sanksi dari IOC berupa skors
larangan ikut serta pada olimpiade tahun 1964 di Tokyo, Soekarno pun memutuskan Indonesia keluar dari anggota IOC sekaligus mencetuskan
ide untuk membuat ajang olahraga tandingan olimpiade bagi negara-negara NEFO
(New Emerging Forces) yang menurut pemahaman Soekarno adalah negara-negara
berkembang dan mewakili kekuatan baru ditengah-tengah bipolarisasi perang
dingin antara blok barat dan blok timur, ajang olahraga bagi negara-negara NEFO
tersebut diberi nama GANEFO (Games of the New Emerging Forces). GANEFO ini sebagai wadah berhimpun bagi negara-negara berkembang untuk membangun persahabatan dan kekompakkan agar lebih kuat dalam menangkal pengaruh kolonialisme dan imperialisme negara-negara barat dan sekutunya.
Berkat kemampuan diplomasi dan jiwa leadershipnya yang tinggi, akhirnya
Soekarno mampu memobilisasi 50 negara dari 4 benua yakni Asia, Eropa, Amerika
dan Afrika untuk ikut berpartisipasi pada ajang GANEFO I di jakarta yang
digelar pada tanggal 10-22 November tahun 1963.
GANEFO secara resmi diikuti oleh 51 negara dan diikuti
kurang lebih 2700 atlet dalam 20 cabang olahraga, dimana sang tuan rumah
Indonesia pada akhirnya berada pada peringkat 3 perolehan akhir medali dibawah
RRC dan Uni Soviet dengan torehan 17 emas, 24 perak dan 30 perunggu.
Peran Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno dalam
memprakarsai pembentukan ajang olahraga negara-negara berkembang ini memberikan
makna bahwa bangsa Indonesia mampu menunjukkan eksistensi diri dan konsistensi sikap secara berani dalam merespon sanksi IOC, sekaligus muncul sebagai
inisiator yang legitimatif bagi para negara-negara berkembang lainnya untuk menyelenggarakan ajang olahraga sekaliber tandingan olimpiade, hal ini menunjukkan bahwa jiwa leadership dari
Soekarno secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum begitu mempesona dimata negara-negara berkembang.
Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno mampu menjadi leader untuk memobilisasi negara-negara
berkembang agar ikut ambil bagian dalam ajang GANEFO yang merupakan ajang
olahraga sekaligus alat politik untuk melawan kolonialisme dan imperealisme
negara-negara barat dan sekutunya yang dalam pemahaman Soekarno disebut negara
OLDEFO (The Old Esthablished Forces) atau negara-negara imperialis yang
mewakili kekuatan lama.
Ajang GANEFO ini sendiri pada akhirnya tidak berumur panjang,
karena hanya berlangsung dalam dua kali penyelenggaraan saja yakni GANEFO I
tahun 1963 di Indonesia dan GANEFO II tahun 1966 di Kamboja, sejatinya pada
1970 hendak diadakan GANEFO ke III namun batal dan akhirnya tidak
terselenggara.
Pada akhirnya generasi Indonesia saat ini harus mengingat
peran Indonesia dalam memprakarsai dan menginisiasi terselenggaranya ajang olahraga sekaligus alat perjuangan politik
untuk melawan kolonialisme dan imperialisme bernama GANEFO sebagai sebuah
kebanggaan, karena hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu
menjadi bangsa pemersatu dan leader yang legitimatif bagi negara-negara lain khususnya
negara-negara berkembang yang dalam pemahaman Soekarno disebut negara NEFO (New
Emerging Forces) dalam usaha melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan
imperialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar