Kamis, 26 September 2019

PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG KPK DAN JALAN KELUAR


Hukum dapat dilihat dalam dua sisi. Hukum sebagai norma (law on book) dan hukum sebagai nilai (law in mind). Sebagai norma, hukum pada pada dasarnya merupakan institusi dan manifestasi dari pencerminan nilai-nilai. Nilai sendiri adalah pikiran atau ide dasar yang bersumber dari norma dasar negara. Dalam konteks Indonesia, norma dasar negara tentunya adalah Pancasila. Pancasila adalah dasar sekaligus bintang penuntun bagi pembangunan sistem hukum nasional kita. Konkretnya, substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia haruslah selaras dan mempraksiskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Hukum sendiri pada prinsipnya hadir untuk menata tata kehidupan masyarakat agar tercipta keteraturan, ketertiban, dan keselarasan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Untuk mampu menata tata kehidupan masyarakat dan mencapai tujuan-tujuan tertentu (keadilan, kemanfaatan, kesejahteraan dll), hukum (dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan) tentunya harus dibentuk dengan tiga landasan legitimasi, yakni legitimasi yuridis, legitimasi sosiologis, dan legitimasi filosofis.

Pertama, legitimasi yuridis. Legitimasi yuridis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum haruslah dibentuk berdasarkan hukum itu sendiri. Hukum harus dibentuk oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Hukum harus dibuat berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum haruslah selaras dengan apa yang menjadi kebutuhan dan tujuan masyarakat. Hukum harus memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Hukum harus mampu mampu menjadi sarana pelindung kepentingan publik.

Ketiga, legitimasi filosofis. Legitimasi filosofis mengandung arti bahwa setiap peraturan hukum harus mengandung norma-norma yang selaras dengan nilai filosofis sebuah bangsa (dasar negara). Hukum harus selaras dengan tujuan fundamental yang hendak capai oleh sebuah bangsa.

Nah, disinilah letak problematika revisi Undang-Undang KPK yang kini telah disetujui oleh Presiden dan DPR. Maraknya kritik tajam, resistensi, hingga demonstrasi menolak revisi Undang-Undang KPK (yang kini telah disahkan) adalah karena Undang-Undang KPK tersebut menurut saya lemah dari tiga aspek legitimasi peraturan perundang-undangan. Baik lemah secara legitimasi yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Secara yudiris, pembentukan Undang-Undang KPK masih kental dengan hal-hal yang bersifat subyketif dari pembentuk Undang-Undang serta lemah dari sisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU KPK sejujurnya tidak masuk dalam prolegnas namun akhirnya dibahas dan disetujui dalam waktu yang sangat singkat. Memang pembentukan peraturan perundang-undangan bisa dibentuk diluar prolegnas dalam hal terdapat keadaan-keadaan "mendesak" misalnya konflik, bencana alam, keadaan luar biasa, dan urgensi nasional. Nah, poin mendesak ini yang kemudian dimaknai secara subyektif oleh pembentuk Undang-Undang tanpa memperhatikan kondisi kebathinan dan psikologis-sosial masyarakat. Kemudian, dari sisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang KPK sejujurnya juga kurang memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik. Undang-Undang KPK dibuat dengan kesan terburu-buru serta penuh dengan nuansa politis-oportunis. Hal ini membuat substansi dari Undang-Undang KPK diametris dengan apa yang menjadi harapan publik.

Secara sosiologis. Substansi Undang-Undang KPK bertentangan dengan apa yang menjadi aspirasi dan harapan masyarakat. Masyarakat membutuhkan penguatan KPK sebagai lembaga independen dalam pemberantsan korupsi. Namun, ghiroh dari masyarakat tersebut justru tidak dapat mengejawantah dalam substansi Undang-Undang KPK. Maraknya protes, kritik, hingga demonstrasi terhadap Undang-Undang KPK menandakan ada yang tidak selaras antara substansi Undang-Undang KPK dengan harapan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam perspektif sosial. Undang-Undang KPK dapat dikatakan cacat sosiologis.

Secara filosofis, seluruh Undang-Undang yang dibuat pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Salah satu tujuan negara Indonesia adalah menciptakan kesejahteraan umum. Yang mana tujuan ini (hanya) akan dapat terwujud jika minim terjadi korupsi sehingga alokasi keuangan negara dapat dialokasikan dan distribusikan secara optimal untuk menciptakan kesejahteraan umum.

Minimalisasi korupsi sendiri dapat terjadi jika terwujud iklim dan sistem pemberantsan korupsi yang kondusif dan efektif. Nah, jika revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan justru cenderung mengarah pada pelemahan KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi yang secara logis berarti melemahkan iklim dan sistem pemberantasan korupsi, maka hal ini menjadi langkah kontraproduktif dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan negara khususnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum. Logisnya, jika pemberantasan korupsi melemah, maka potensi terjadinya korupsi akan semakin besar. Jika potensi terjadinya korupsi semakin besar, maka kesejahteraan umum akan semakin jauh panggang dari api.

KPK sendiri mencatat terdapat 26 poin dari revisi Undang-Undang KPK yang cenderung melemahkan KPK. Namun disini saya hanya akan membahas satu poin penting terkait pembentukan dewan pengawas dimana pembentukan dewan pengawas ini justru semakin memperumit birokrasi penegakan hukum dan sangat potensial dapat mengurangi independensi KPK dalam rangka pro-justicia, mengingat kegiatan-kegiatan pro-justicia seperti penyadapan dan penggledahan harus dilakukan atas izin dewan pengawas. Dewan pengawas sendiri dibentuk oleh presiden yang tentu bertendensi kuat dengan kepentingan politis.

Ide dasar pembentukan pengawas bagi KPK sendiri dilatarbelakangi oleh pola pikir bahwa KPK merupakan lembaga yang tanpa pengawasan padahal memiliki kewenangan yang besar. Pola pikir ini tentunya sangat keliru, siapa bilang KPK lembaga tanpa pengawasan. KPK diawasi oleh BPK dalam konteks audit keuangan. KPK juga dapat diawasi oleh DPR melalui rapat dengar pendapat bahkan hak angket (Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017). KPK yang dipersonifikasi dalam wujud komisioner KPK, dalam hal kegiatan penegakan hukum maupun non penegakan hukum juga diawasi (dibatasi) oleh peraturan-peraturan hukum. Selain itu, dalam internal KPK sendiri juga ada pengawas internal yang dapat menyasar kepada pegawai maupun komisioner KPK (melalui pembentukan komite etik).

Jadi, pandangan yang mengatakan KPK adalah lembaga tanpa pengawasan sehingga harus dibentuk dewan pengawas merupakan pandangan yang salah besar. Secara teoritik, pengawasan itu dapat berbentuk lembaga dan juga sistem. KPK secara historis-filosofis lahir sebagai lembaga independen karena terdapat ketidakefektifan fungsi penegakan hukum pemberantasan korupsi oleh lembaga penegak hukum konvensional yakni kepolisian dan kejaksaan.

Ditinjau dari proporsi ini, maka KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi harusnya diperkuat pengawasannya dari sisi sistem bukan lembaga. Khususnya terkait penguatan sistem rekrutmen komisioner KPK yang harus lepas atau minim dari kepentingan-kepentingan politis serta mengutamakan sistem meritokrasi dan aspek integritas.

Dari sisi komparatif, akademisi UGM, Zainal Arifin Mochtar yang kebetulan dahulu mengambil disertasi mengenai lembaga independen, menambahkan bahwa tidak ada lembaga independen di negara manapun di dunia ini yang diawasi oleh lembaga pengawas. Dalam lembaga independen, aspek pengawasannya dititik beratkan pada penguatan sistem bukan pembentukan lembaga pengawas mengingat entitasnya sebagai lembaga independen.

Jalan Keluar

Kini, revisi Undang-Undang KPK telah disetujui oleh DPR dan Presiden. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang KPK tinggal disahkan oleh presiden, bahkan meskipun tanpa disahkan oleh presiden sekalipun, Undang-Undang KPK akan berlaku secara resmi dengan sendirinya setelah 30 hari sejak disetujui oleh DPR dan presiden.

Dengan kondisi demikian, maka hanya ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki substansi Undang-Undang KPK agar kembali pada semangat dan ghiroh penguatan pemberantasan korupsi.

Pertama, melalui permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi baik melalui hak uji formil maupun hak uji materil terkait Pasal-Pasal yang berkecenderungan melemahkan KPK. Hak uji formil sendiri berkaitan dengan aspek pembentukan peraturan perundang-undangan, disini akan dinilai apakah pembentukan Undang-Undang KPK telah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 atau tidak. Jika permohonan hak uji formil ini dikabulkan oleh MK, maka suatu Undang-Undang (keseluruhan) akan dibatalkan keberlakuannya. Sedangkan hak uji materil berkaitan dengan aspek apakah suatu muatan Pasal dalam Undang-Undang dalam hal ini Undang-Undang KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak. Jika permohonan dikabulkan, maka muatan Pasal yang diajukan dalam hak uji materil akan dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Kedua, melalui Perppu pembatalan Undang-Undang KPK baru (hasil revisi) yang dapat dilakukan setelah Undang-Undang diundangkan dan resmi berlaku. Terkait Perppu tentunya kita bersama harus mendesak presiden, mengingat yang berwenang mengeluarkan Perppu adalah presiden. Perppu sendiri merupakan manifestasi hak subyektif presiden dalam hal menilai ihwal kegentingan yang memaksa. Meskipun kemudian hak subyektif ini nanti akan dibahas dan dinilai oleh DPR dalam sidang paripurna. Jika DPR menyetujui, maka Perppu akan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Namun jika DPR tidak setuju, maka Perppu harus dicabut.

MK sendiri dalam putusannya Nomor 138/PUU-VII/2009 memberikan kriteria terkait "kegentingan yang memaksa" dalam pengeluaran Perppu oleh presiden. 1. Ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan permasalahan hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada atau belum lengkap sehingga terdapat kekosongan hukum. 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang melalui prosedur biasa.

Ketiga, melalui legislatif review.  Terkait legislatif review tentunya kita harus mendorong presiden dan DPR periode 2019-2024 untuk melakukan revisi kembali pada Undang-Undang KPK. Tentunya, revisi guna menjaga indepedensi KPK sekaligus memperkuat semangat dan sistem pemberantasan korupsi. Konkretnya, muatan-muatan Pasal yang bertendensi melemahkan semangat pemberantasan korupsi harus diubah dengan muatan Pasal yang lebih akomodatif terhadap ghiroh pemberantasan korupsi.

Selain ketiga upaya diatas,  jika memang KPK ingin diperkuat secara lebih permanen, maka kita juga harus mendorong MPR (DPR dan DPD) untuk memasukkan KPK dalam konstitusi melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa rongrongan dan upaya-upaya untuk melemahkan bahkan membubarkan KPK melalui sarana legislasi akan sangat potensial terus dilakukan oleh DPR dan Presiden yang tidak memiliki concern kokoh dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, memilih presiden dan anggota DPR yang memiliki concern kokoh terkait semangat pemberantasan korupsi dalam pemilu juga merupakan sebuah hal yang tidak mudah mengingat kuatnya pengaruh oligarkis dalam sistem politik kita.

Dengan kondisi demikian, maka menjadi penting guna memasukkan KPK dalam konstitusi melalui amandemen. Dengan masuknya KPK dalam konstitusi, maka secara kelembagaan, posisi KPK akan jauh lebih kuat mengingat landasannya adalah Undang-Undang Dasar bukan Undang-Undang, yang mana proses perubahannya akan jauh lebih rumit dari pada perubahan Undang-Undang. Melihat proporsi demikian, maka dapat dikonkretisasi bahwa sejujurnya berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung dan ditentukan dari kehendak politik penyelenggara negara dalam hal ini eksekutif dan legislatif khususnya terkait pengambilan kebijakan politis (legislasi), karena disinilah pelemahan maupun penguatan sistem pemberantasan korupsi ditentukan.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh John ST. Quah bahwa berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh seberapa kuat kehendak politis pihak penguasa dalam mendukung pemberantasan korupsi. Kehendak politis disini dapat diejawantahkan dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran, dukungan sarana/prasarana, hingga dukungan moril.

Pada poin lainnya, kita sebagai masyarakat Indonesia juga harus kompak untuk terus mendorong pemerintah dan DPR guna memperkuat KPK dan sistem pemberantasan korupsi. Jika ada upaya-upaya pelemahan KPK sebagai lembaga independen dan upaya pelemahan sistem pemberantasan korupsi, maka melalukan shock therapy baik melalui demonstrasi, unjuk rasa, hingga aksi protes secara masif menjadi hal yang penting untuk memberikan semacam tekanan moral dan tekanan sosial kepada penyelenggara negara agar tidak lalai dan kontraproduktif dalam mengambil langkah-langkah strategis terkait pemberantasan korupsi. Pada prinsipnya, korupsi harus senantiasa kita lawan bersama, korupsi harus senantiasa kita tekan sekecil dan seminimal mungkin, karena korupsi adalah virus akut yang dapat menghambat kemajuan dan pembangunan bangsa.

Selama korupsi masih merajalela, maka kesejahteraan dan keadilan sosial akan jauh panggang dari api. Selama korupsi masih menggerogoti sendi-sendi dan struktur kenegaraan kita, maka selama itu pula ketimpangan sosial dan kemelaratan akan selalu membayangi kehidupan kebangsaan kita.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar