Selasa, 05 November 2019

RADIKALISME TOPIK SEKSI


Dewasa ini istilah "Radikalisme" begitu nyaring menyeruak dalam ruang publik. Radikalisme menjadi topik seksi sebagai wacana diskursus yang begitu intens dibahas baik dalam forum perjamuan ilmiah, diskusi publik, hingga obrolan ringan warung kopi.

"Radikalisme" menjadi topik primadona yang masif dibahas dalam segala dimensi sosial. Sayangnya, topik mengenai radikalisme akhir-akhir ini justru cenderung semakin liar bahkan mengarah pada alat justifikasi yang dapat mengancam penghormatan terhadap hak asasi manusia. Labeling radikalisme terkesan menjadi liar, karena arti dan makna radikalisme sendiri belum menemukan konsensusnya secara yuridis-formal, sehingga memungkinkan setiap orang dapat mengejawantahkan makna dan arti radikalisme sesuai apa yang mereka pahami dimana terkandung nilai subyektifitas, bahkan nilai subyektifitas tersebut cenderung mengarah pada sterotipe dan over-generalized terhadap hal-hal non-substantif seperti aksesoris fashion, simbol-simbol, dan golongan tertentu.

Radikalisme sendiri jika ditinjau secara harfiah (gramatikal) berasal dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa latin radix yang artinya akar. Sedangkan isme artinya adalah paham. Sehingga jika disatukan, arti dan makna dari radikalisme adalah paham yang menghendaki pemikiran mendalam (akar). Ciri radikalisme sendiri setidaknya ada lima hal. Pertama, berpikir komprehensif. Kedua, berpikir sistematis-holistik. Ketiga, berpikir kontemplasi. Keempat, menggali makna secara mendalam. Kelima, kritisisme dan skeptisme.

Oleh karena itu, radikalisme sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi konstruktif. Radikalisme dalam dimensi konstruktif artinya bahwa radikalisme menghasilkan suatu wacana konstruktif. Contoh radikalisme konstruktif adalah berpikir filsafat (filosofis) yang kemudian melahirkan suatu gagasan atau ilmu baru yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.

Kedua, dimensi destruktif. Dalam hal ini radikalisme menghasilkan efek yang negatif atau merusak. Contoh radikalisme destruktif adalah melakukan tindakan-tindakan kekerasan diluar koridor hukum untuk mengganti dasar negara.

Dari sini sebenarnya dapat kita pahami bahwa radikalisme sendiri pada dasarnya memiliki dua arti. Yakni arti yang positif dan arti yang negatif. Arti positif jika radikalisme menghasilkan suatu gagasan dan ilmu yang bermaslahat atau konstruktif. Sedangkan arti negatif jika radikalisme menghasilkan suatu ekses yang bersifat negatif dan merusak. Menciptakan instabilitas sosial yang menghasilkan nilai mudharat.

Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof Irfan Idris. Radikalisme terdiri atas empat hal. Pertama, bersikap intoleransi. Kedua, anti Pancasila. Ketiga, anti NKRI. Keempat, takfiri (golongan yang menganggap kafir terhadap golongan lain yang berbeda). Apa yang dikatakan Prof Irfan Idris ini tentunya terkait radikalisme dalam dimensi yang destruktif. Di sisi lain, corak radikalisme sendiri bisa bercorak politik maupun bercorak agama.

Gerakan Radikalisme

Terkait empat bentuk radikalisme diatas kemudian akan mengejawantah dalam tiga bentuk gerakan, dimana treatment atas tiap-tiap ekskalasi gerakan radikalisme tentunya berbeda.

Pertama, jika gerakan radikalisme masih sebatas wacana (keyakinan) maka cukup dilawan dengan kontra-wacana melalui diskursus deliberatif atau dialog intelektual.

Kedua, jika gerakan radikalisme sudah mengejawantah menjadi sebuah tindakan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Maka harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Ketiga, jika gerakan radikalisme sudah mengejawantah menjadi gerakan politik misalnya gerakan mengganti ideologi negara tentu harus tindak secara tegas baik terhadap organisasi maupun individu karena sudah masuk kepada tindak pidana subversif (kejahatan terhadap keamanan negara)

Pada prinsipnya, gerakan pertama cukup digunakan pendekatan persuasif. Sedangkan gerakan kedua dan ketiga harus ditindak secara represif. Karena sudah mengejawantah menjadi tindak pidana yang berbahaya bagi jiwa manusia, keamanan, dan stabilitas nasional.

Celana Cingkrang dan Cadar Itu Radikalisme ?

Apakah orang yang bercelana cingkrang dan orang yang memakai cadar itu lantas disebut sebagai wujud radikalisme ?. Menurut saya tidak bisa.

Mengapa tidak bisa ? ya, karena radikalisme (dalam arti negatif) tidak bisa distereotip dan dilekatkan terhadap simbol-simbol atau aksesoris fashion secara sepihak. Mengapa demikian ? sederhana saja. Karena tidak ada hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara celana cingkrang dan cadar dengan radikalisme.

Kemudian berbicara soal konteks HAM. Apakah wacana pelarangan pemerintah (menteri agama) bagi ASN untuk memakai celana cingkrang dan cadar adalah sebuah pelanggaran HAM ?. Tunggu dulu, bisa kita cari teori yang membenarkan wacana pemerintah namun bisa juga kita cari teori untuk menyalahkan wacana pemerintah.

Teori yang bisa membenarkan wacana pemerintah misalnya adalah teori dari Prof. Buys yang mengatakan bahwa hak asasi manusia dapat dikurangi jika seseorang secara sukarela masuk dalam suatu instansi atau organisasi.

Teori yang bisa membenarkan wacana pemerintah selanjutnya adalah teori pembatasan hak asasi manusia. Dalam konteks konstitusi, pembatasan HAM sudah diatas secara eksplisit dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Syaratnya, legitimasi pembatasannya harus berwujud Undang-Undang. Yang tujuannya terkait dua hal. Pertama, menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Ketertiban umum. Pertanyaannya, apakah pelarangan memakai cadar dan cingkrang bagi ASN memiliki korelasi makna dengan dua tujuan alasan pembatasan HAM sebagaimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diatas ?.

Kemudian teori yang dapat menyalahkan wacana pemerintah untuk melarang pemakaian cadar dan celana cingkrang tentunya terkait hak kebebasan agama yang tergolong sebagai hak non-derogable right (hak asasi esensial yang tidak dapat dibatasi). Hak kebebasan agama sendiri dalam perspektif HAM tergolong sebagai hak negatif. Dalam arti hak tersebut akan semakin dapat terpenuhi jika semakin minimnya campur tangan pemerintah. Nah, dalam konteks pemakaian cadar dan celana cingkrang tentunya harus dilihat sebagai bagian hak kebebasan beragama. Kebebasan ekspresi spiritualitas (non-derogable right) yang seharusnya tidak boleh dibatasi oleh pemerintah.

Radikalisme dan Jalan Keluar

Pada akhirnya, menurut hemat saya, alangkah baik jika definisi radikalisme itu sendiri ditetapkan secara yuridis-formal dalam Undang-Undang, agar tidak menimbulkan multitafsir yang melahirkan justifikasi atau labelling sepihak.

Selama tidak ada definisi yuridis-formalnya, maka radikalisme akan selalu menjadi topik seksi yang dapat (rentan) di komodifikasi dan di framming untuk kepentingan-kepentingan negatif (pembunuhan karakter, perampasan HAM dll) yang pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif bagi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Sedangkan bagaimana solusi untuk menekan radikalisme sendiri, menurut hemat saya harus dilakukan pendekatan secara holistik dan integral mengingat penyebab orang menjadi radikal (dalam arti negatif) tidak disebabkan oleh faktor tunggal, banyak faktor yang berkelindan. Penegakan hukum, pendekatan persuasif, deradikalisasi, pemenuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi, pemenuhan keadilan secara komprehensif hingga menjaga kohesifitas dan inklusivitas sosial adalah langkah-langkah yang harus dilakukan. Oleh siapa ? oleh seluruh elemen bangsa sesuai dengan peran, porsi, dan posisinya masing-masing.



Selesai ...














Tidak ada komentar:

Posting Komentar