Tahun 2019 telah
berlalu meninggalkan beberapa catatan, baik catatan positif maupun catatan
negatif bagi entitas kebangsaan kita. Menyambut tahun baru 2020 tentu beberapa
catatan positif harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, sedangkan
beberapa catatan negatif tentunya harus kita perbaiki dan kita benahi demi terwujudnya harmonisitas bangsa. Harmonisitas bangsa menjadi modal penting guna menyambut
tahun baru yang penuh tantangan baik secara internal maupun global.
Perlu digarisbawahi
disini, bahwa diksi harmonisitas bangsa bukan bermakna mengesampingkan realitas
perbedaan yang ada, tidak demikian. Makna harmonisitas bangsa sendiri adalah
terwujudnya relasi yang positif dalam mengejawantahkan spektrum-spektrum
perbedaan yang ada sehingga dapat menjadi sebuah energi positif bagi entitas kebangsaan. Hal inilah yang akan menjadi stimulus bagi
terwujudnya persatuan dan kemaslahatan bangsa berdasarkan nafas relasi kewargaan yang kokoh.
Tahun 2019 lalu menurut
hemat saya ada beberapa catatan negatif terkait harmonisitas kebangsaan kita.
Pilpres tentu mengambil peran besar dalam membentuk segmentatif negatif dalam
masyarakat. Distingsi dalam masyarakat begitu kuat. Hal ini membuat riak-riak
disharmonisasi dalam masyarakat baik pada saat pra-pilpres (masa kampanye)
hingga pasca-pilpres begitu kental.
Elit politik boleh saja
selesai bermusuhan ketika pilpres selesai, hal ini tentunya berbeda di kalangan
akar rumput. Mengapa berbeda ? sederhana saja, karena orientasi politik dari
elite politik dan akar rumput jauh berbeda. Orientasi politik elit politik adalah kekuasaan
yang cenderung bernilai pragmatisme (terdapat potensi akomodatif politik) sedangkan
orientasi politik akar rumput adalah aspirasi dimana terkandung nilai
fanatisme.
Di kalangan grassroot sendiri hingga kini masih
nampak riak-riak pembelahan hasil residu pilpres 2019 lalu. Dapat dikatakan pembelahan di dalam masyarakat pasca pilpres 2019 lalu masih relatif kuat. Hal ini merupakan
sebuah realitas yang harus jujur kita akui.
Sebenarnya akar dari
pada pembelahan masyarakat sendiri tidak sekadar efek residu dari pilpres
semata, ada banyak faktor berkelindan yang turut serta baik faktor penegakan keadilan,
faktor menguatnya politik identitas, hingga faktor sosial-budaya. Faktor-faktor
tersebut kemudian terakumulasi menjadi sebuah stimulus bagi terbentuknya
pembelahan di dalam masyarakat.
Problematika
Kebangsaan
Jika kita cermati
seksama, problematika kebangsaan kita pada 2019 lalu terkait harmonisitas dan
integrasi kewargaan ada dua hal. Dua hal ini tidak bersifat parsial namun
bersifat integral sehingga satu sama lain memiliki efek respirokal.
Pertama, menguatnya
politik identitas. Menurut Amartya Sen dalam Kekerasan dan Identitas (2006) sesungguhnya, berbagai masalah
sosial-politik saat ini disebabkan oleh perseteruan yang dilatarbelakangi oleh
penegasan identitas dalam sebuah kelompok masyarakat yang berbeda-beda
(plural), sebab konsepsi mengenai identitas ini memang mempengaruhi pikiran dan
tindakan. Hal inilah yang kemudian melahirkan apa yang dinamakan politik
identitas, yang dimaknai sebagai perjuangan politik untuk penegasan dan
akomodasi identitas (previlege afirmatif).
Menguatnya politik
identitas memang memiliki efek positif yakni meningkatnya pastisipasi rakyat
dalam pemilu, hal ini dilatarbelakangi oleh militansi identitas, namun sisi
negatifnya adalah politik identitas tidak melihat kepada substansi (gagasan,
rekam jejak, kapasitas) namun melihat kepada identitas yang sama. Sehingga
dapat di simplifikasikan bahwa politik identitas akan memberikan gaps terhadap terwujudnya politik yang
substansial.
Efek negatif lain dari
pada politik identitas adalah penggunaan simbol-simbol identitas sebagai sarana
komodifikasi politik praktis. Misalnya isu-isu yang berafiliasi dengan segmen
identitas di kapitalisasi sedemikian rupa untuk memberikan keuntungan politis.
Hal ini tentunya akan berimbas kepada terwujudnya “ketegangan-ketegangan”
sosial sehingga stabilitas nasional dapat terganggu.
Kedua, gagap dalam
mengelola perbedaan. Gagap mengelola perbedaan sejujurnya menjadi sebuah
fenomena “aneh” karena berlawanan dengan realitas alamiah bangsa ini yang
memang terbentuk dan kuyup dengan berbagai spektrum perbedaan. Namun harus kita
akui dalam 3 tahun terakhir bangsa ini terlihat gagap dalam mengelola
perbedaan khususnya perbedaan dalam spektrum identitas dengan segala bentuk
manifestasinya. Kegagapan dalam mengelola perbedaan ini seringkali menghasilkan ekses yang negatif.
Misalnya, terkait perbedaan dalam
menyikapi dan memaknai isu-isu identitas seringkali malah dijadikan alat justifikasi untuk
menyudutkan kelompok lain, contoh sederhana, terkait pengucapan selamat hari
Natal. Kelompok A mengatakan haram bagi orang Islam mengucapkan selamat hari Natal,
sedangkan kelompok B mengatakan orang Islam tidak masalah mengucapkan selamat
hari Natal.
Perbedaan pendapat ini
kemudian diejawantahkan dengan menjustifikasi negatif satu sama lain sehingga muncul bibit kebencian. Kelompok
A menganggap kelompok B melanggar akidah, di sisi lain, kelompok B menganggap
Kelompok A terlalu konservatif dan intoleransi. Memang tidak semua kelompok A
dan kelompok B bersikap demikian, hanya saja cukup sebagian dari kelompok A dan
sebagian Kelompok B bersikap demikian sudah cukup untuk membuat kegaduhan dalam ruang publik.
Kemudian soal Uyghur, kelompok A menuding kelompok B tidak memiliki simpati sebagai sesama muslim karena minimnya tindakan atau empati secara simbolik.
Sedangkan kelompok B menganggap kelompok A hanya sekadar memanfaatkan isu Uyghur untuk kepentingan politik praktis. Keduanya saling tuding satu sama lain, dan lagi-lagi mampu "memanaskan" ruang publik. Hal ini tentunya tak lepas dari peran buzzer-buzzer di media sosial yang mencoba memancing air keruh.
Lalu, sebagaimana kita lihat pada pilpres lalu, perbedaan pilihan politik juga mengejawantah kepada ekses-ekses negatif berupa timbulnya rasa kebencian antara dua kelompok yang memiliki perbedaan pilihan politik.
Kemudian soal Uyghur, kelompok A menuding kelompok B tidak memiliki simpati sebagai sesama muslim karena minimnya tindakan atau empati secara simbolik.
Sedangkan kelompok B menganggap kelompok A hanya sekadar memanfaatkan isu Uyghur untuk kepentingan politik praktis. Keduanya saling tuding satu sama lain, dan lagi-lagi mampu "memanaskan" ruang publik. Hal ini tentunya tak lepas dari peran buzzer-buzzer di media sosial yang mencoba memancing air keruh.
Lalu, sebagaimana kita lihat pada pilpres lalu, perbedaan pilihan politik juga mengejawantah kepada ekses-ekses negatif berupa timbulnya rasa kebencian antara dua kelompok yang memiliki perbedaan pilihan politik.
Tanpa
kita sadari energi kebangsaan kita seringkali harus dikeluarkan untuk hal-hal
sepele yang sebenarnya tidak perlu kita keluarkan jika kita bisa mengelola dan
menempatkan perbedaan pada tempat yang semestinya.
Sebenarnya, konsep
mengelola perbedaan (pendapat) sederhana saja, kita boleh merasa benar bahkan
boleh menyalahkan, namun kita tidak boleh menghina, merendahkan, dan membatasi
kebebasan orang lain. Kita boleh merasa benar, namun kita tidak boleh
memaksakan apa yang kita anggap benar itu kepada orang lain yang mungkin tidak
sependapat dengan kita. Kita boleh merasa tindakan yang kita lakukan dalam menyikapi sesuatu fenomena itu benar, namun kita tidak boleh memaksakan kepada orang lain untuk melakukan tindakan yang sama sebagaimana yang kita lakukan. Kita boleh saja memiliki pilihan politik yang berbeda, namun perbedaan pilihan itu hendaknya jangan sampai kita ekspresikan dengan merusak nilai kerukukan dan nilai kemanusiaan.
Refleksi
Kebangsaan
Akhir sekali, dari
pemaparan secara umum diatas, ada dua catatan refleksi guna menyambut tahun
baru 2020 ini. Dua catatan refleksi tersebut adalah dua problematika kebangsaan
2019 lalu yang harus kita benahi pada tahun 2020 ini. Pertama, bagaimana mengarahkan
politik identitas agar tidak mengejawantah secara negatif bagi dinamika politik
dan harmonisitas kebangsaan.
Untuk mewujudkan hal
ini tentunya membutuhkan pendekatan persuasif dan sinergi peran dari berbagai pihak, baik pemerintah,
partai politik, tokoh agama, akademisi, tokoh masyarakat, pers, dan masyarakat
itu sendiri. Pada prinsipnya, politik identitas sah-sah saja, hanya saja politik
identitas harus memberikan efek yang substansial bagi entitas kebangsaan dan
kemaslahatan bersama.
Kedua, bagaimana
mengelola perbedaan dalam berbagai spektrum termasuk perbedaan identitas dan
segala bentuk manifestasinya guna membangun rasionalitas publik. Bagaimana
mengelola perbedaan agar tidak mengancam harmoni dan kebhinekaan bangsa. Jika
dua problematika kebangsaan ini dapat dibenahi, maka tahun 2020 ini saya yakin
kondisi sosial-politik Indonesia akan lebih stabil dan lebih kondusif yang tentunya
akan berimbas positif bagi dimensi dan relasi kebangsaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar