Sabtu, 18 Januari 2020

KASUS NATUNA UTARA BUKAN PERKARA KEDAULATAN NEGARA


Di tengah tingginya curah hujan yang melanda wilayah Indonesia beberapa hari terakhir ini hingga membuat cuaca menjadi sangat dingin, justru berbanding terbalik dengan emosi dan energi sebagian besar masyarakat Indonesia yang beberapa hari terakhir memanas.

Situasi "panas" ini sendiri di picu oleh masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di laut Natuna Utara atau sering disebut juga laut China Selatan.

Masyarakat Indonesia menilai bahwa kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China tersebut telah lancang memasuki wilayah kedaulatan negara Indonesia. Yang berarti pula telah melecehkan kedaulatan bangsa Indonesia. Hal tersebut sontak memancing emosi masyarakat Indonesia, dimana sebagian besar emosi masyarakat Indonesia nampak di curahkan melalui media sosial.

Maka tak heran beberapa hari terakhir ini, media sosial begitu riuh, membahas kedaulatan Indonesia di laut Natuna Utara yang menurut pemahaman masyarakat umum telah dilancangi oleh China.

Beberapa hari terakhir, paltform media sosial seperti Twitter, Facebook, Whatapps, hingga Instagram pun dipenuhi dengan narasi-narasi resistensi dari masyarakat untuk melawan tindakan arogansi China yang mereka anggap telah lancang memasuki wilayah kedaulatan negara Indonesia.

Bahkan, ada beberapa masyarakat (di status medsosnya) menyatakan siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk menjaga kedaulatan laut Natura Utara dari China.

Sekilas dapat kita lihat begitu kentalnya aura nasionalisme dan patriotisme dari para masyarakat Indonesia, meskipun di sisi lain ada juga sebagaian masyarakat Indonesia yang justru “memancing di air keruh” dengan memanfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan-kepentingan pragmatis.

Distorsi Pemahaman

Sejujurnya ada distorsi pemahaman yang keliru dari masyarakat dalam menyikapi kasus Natuna Utara. Kasus ini berawal dari masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di kawasan laut Natuna Utara yang masuk dalam kawasan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE).

Secara umum, masyarakat Indonesia geram dan mengecam China, karena dianggap telah lancang melanggar kedaulatan Indonesia. Masyarakat pun menyeru kepada pemerintah untuk bertindak tegas menegakkan kedaulatan negara di laut Natuna Utara demi tegaknya harga diri dan martabat bangsa.

Namun, ditinjau dalam perspektif hukum internasional, UNCLOS tahun 1982 yang mana telah diratifikasi oleh Indonesia dan China. Persoalan Natuna Utara ini sebenarnya bukan perkara kedaulatan negara tetapi hak berdaulat. Beda ya. Perlu diketahui, kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China bergerak di kawasan Zona Eksklusif Ekonomi (200 mill) bukan laut teritorial (12 mill).

Zona Eksklusif Ekonomi menurut UNCLOS 1982 berkaitan dengan hak berdaulat (sovereign right), yakni hak eksklusif negara pantai untuk mengelola sumber daya alam di wilayah tersebut. ZEE tidak berada di laut teritorial melainkan di laut lepas, yang mana sebuah negara tidak berdaulat penuh, sehingga tidak berhak menegakkan kedaulatan.

Sedangkan laut teritorial, adalah kawasan sejauh 12 mill dari garis pantai terluar negara pantai, dimana negara memiliki kedaulatan penuh (sovereign). Di dalam wilayah laut teritorial, negara berkuasa penuh untuk menegakkan kedaulatannya.

Jadi, dapat dipahami bahwa masuknya kapal-kapal nelayan China dan kapal coast guard China di wilayah Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia, tepatnya di laut Natuna Utara, menurut perspektif hukum internasional (UNCLOS 1982) bukanlah sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan negara melainkan pelanggaran terhadap hak berdaulat. Perlu dipahami bahwa kedaulatan dan hak berdaulat merupakan dua hal yang berbeda.

Pada prinsipnya, friksi di laut Natuna Utara yang melibatkan Indonesia dan China harus di selesaikan. Bisa melalui pendekatan persuasif-diplomatis, namun pendekatan ini saya kira akan mengurangi kewibawaan bangsa dan juga menciderai emosi psikologis-sosial masyarakat yang berharap negara tidak "lembek" terhadap China.

Pendekatan kedua adalah pendekatan represif. Pendekatan represif disini sebatas penegakan hukum bukan penegakan kedaulatan. TNI AL harus turun tangan, namun sekali lagi, bukan untuk menegakkan kedaulatan, tetapi sebatas menegakkan hukum. Perlu dipahami, penegakan hukum dan penegakan kedaulatan memiliki kualifikasi dan implikasi hukum yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar