Kamis, 23 Januari 2020

PSM DAN MEMORI DUA DEKADE

Di awal artikel ini perkenankanlah saya untuk terlebih dahulu mengutarakan alasan mengapa saya begitu mencintai klub PSM Makassar yang notabene merupakan klub yang jauh dari tempat saya lahir dan berdomisili. PSM Makassar adalah klub yang ber-home base di kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan saya lahir, tumbuh, berdomisili di kota Rembang serta kota Semarang, nama terakhir adalah kota tempat saya menimba ilmu di perguruan tinggi.

Hal ini tentunya menjadi fenomena unik, mengingat faktor umum yang menyebabkan seseorang memfavoritkan sebuah klub sepak bola biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan sosial dan kedaerahan. Misalnya saja, seorang yang tumbuh dan besar di kota Bandung, maka 99% pasti akan menjadikan Persib Bandung sebagai klub favoritnya. Fenomena ini tentunya jauh berbeda dengan saya, saya yang notabene anak Jawa Tengah justru memfavoritkan sebuah klub yang jauh dari tempat lahir dan domisili saya, yakni PSM Makassar.

Ada dua alasan mengapa saya memfavoritkan PSM Makassar sebagai klub favorit saya di Indonesia. Pertama, alasan sederhana. Hal ini terkait dengan kostum PSM Makassar yang berwarna merah, warna yang melambangkan keberanian dan kejantanan, yang notabene adalah warna favorit saya. Kedua, alasan idealisme. Alasan ini berkaitan dengan nilai dan prinsip sebuah klub, pada titik ini saya menilai PSM Makassar adalah sebuah klub yang memiliki values. Klub yang memiliki relasi kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural masyarkat setempat. Relasi tersebut mengejawantah dalam wujud karakter bermain di lapangan, spirit klub, hingga gaya dukungan suporter yang selalu kental dengan budaya dan nilai-nilai sosio-kultural  masyarakat Makassar. Berani, lugas, pantang menyerah, dan menjunjung tinggi siri’.

Secara historis, PSM Makassar merupakan klub tertua di Indonesia. PSM berdiri sejak tahun 1915 atau saat ini telah berusia 115 tahun. Dalam perjalanannya, PSM beberapa kali mencatat tinta manis dalam catatan sejarah sepak bola nasional. PSM pernah meraih juara perserikatan sebanyak 5 kali (1956/1957, 1958/1959, 1964/1965, 1965/1966, 1991/1992), 1 kali juara liga Indonesia (1999/2000), 1 kali juara piala Indonesia (2018/2019), selain itu, PSM juga tercatat sebagai klub yang meraih gelar runner-up liga Indonesia terbanyak yakni sebanyak 5 kali.

Dengan segala catatan prestasi dan pergumulan historis, dapat dikatakan PSM adalah salah satu klub besar di Indonesia. Klub yang lekat dengan kejayaan dan gelar juara. Sayangnya, sudah dua dekade ini tim Juku Eja belum pernah lagi menggondol gelar juara liga. Memang sih, tahun lalu PSM Makassar berhasil menuntaskan dahaga gelar juara yang telah tertahan 19 tahun lamanya, namun perlu diingat bahwa gelar yang diraih PSM Makassar tahun lalu adalah gelar piala Indonesia bukan gelar liga.

Bagi klub sebesar PSM, 20 tahun puasa gelar juara liga tentunya menggoreskan rasa kerinduan nan mendalam. Tahun ini asa untuk menuntaskan dahaga tersebut terbuka lebar, mengingat PSM memiliki segalanya untuk bertransformasi sebagai kandidat kuat juara. PSM di sokong oleh pengelola yang profesional, di tunjang oleh materi pemain yang berkualitas, dilatih oleh pelatih yang berpengalaman, serta di dukung oleh belasan ribu suporter fanatik.

Memori Dua Dekade

Saat PSM meraih gelar juara liga Indonesia musim 1999/2000, PSM Makassar adalah klub bertabur bintang. Ketika itu skuad Juku Eja merupakan perpaduan dari pemain lokal berkualitas, pemain timnas, dan pemain asing mumpuni.

Skuad juara PSM saat itu berisikan nama-nama seperti, Hendro Kartiko, Aji Santoso, Rony Ririn, Bima Sakti, Kurniawan Dwi Julianto, Ortizan Sallosa, hingga Carlos De Mello. Di bawah komando manajer tim Nurdin Halid dan pelatih Henk Wullem, PSM Makassar menjelma sebagai tim yang mengerikan pada musim itu. Sepanjang musim 1999/2000, PSM Makassar mencatat total 21 kemenangan, 8 seri, dan hanya 2 kali merasakan kekalahan. Mencetak 53 gol dan hanya kebobolan 19 gol.

Sebenarnya musim ini, konstelasi tim yang dimiliki oleh PSM Makassar tak berbeda jauh dengan apa yang dimiliki oleh tim PSM Makassar era 1999/2000. Saat ini, PSM Makassar memiliki CEO “Cinta tak bersyarat” yang total dan loyal Munafri Ariffudin, PSM juga memiliki materi pemain mumpuni perpaduan pemain putra daerah seperti Rasyid Bakri, Hilmansyah, Asnawi Mangkualam, M. Arfan, hingga Abdurahman. Pemain-pemain berlabel timnas seperti Rizki Pellu, Ferdinand Sinaga, Bayu Gatra, hingga Ezra Walian. PSM juga diperkuat pemain asing mumpuni sekaliber Wiljan Pluim, Marc Klok, Husein El Dor, dan Giancarlo Lopes. Di sisi lain. PSM juga memiliki pelatih sarat pengalaman Bojan Hodak serta dukungan militan dari suporternya.

Dengan segala modal diatas, tak berlebihan jika PSM mematok target juara sekaligus mengulang prestasi dua dekade silam. Secara teknis bisa dikatakan PSM cukup mumpuni untuk bersaing memperebutkan juara. Tidak ada masalah.

Problem PSM menurut hemat saya justru terletak pada faktor nont teknis yakni mental juara. Berkaca pada musim lalu, PSM sangat lemah saat bermain tandang. Dari 17 kali laga tandang, PSM hanya mampu mengoleksi 3 poin, tanpa sekalipun meraih kemenangan. Capaian yang tentunya berbanding terbalik ketika PSM Makassar bermain di Stadion Mattoanging, rekor kandang PSM musim lalu adalah 13 kemenangan, 2 kali imbang, dan hanya 2 kali menelan kekalahan.

Oleh karenanya, hal yang harus diperbaiki tim PSM musim ini adalah bagaimana membenahi faktor non teknis yakni membangun mental juara. Salah satu caranya, segenap elemen tim PSM harus mampu menyemai memori juara dua dekade silam sebagai energi dan spirit tim Juku Eja musim ini. Kalau dulu bisa juara mengapa sekarang tidak ?. #EwakoPSM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar