“ Saya seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “
Sebagai prolog tulisan ini, saya mengutip kata-kata mutiara dari
tokoh pergerakan nasionalisme India, Mahatma Gandhi. Kata-kata sederhana yang menyiratkan
sebuah pesan mendalam bahwasanya humanisme atau perikemanusiaan harus
diletakkan sebagai hal yang fundamental dalam kehidupan, terlepas dengan segala entitas
dan dimensi perbedaan yang ada.
Perbedaan adalah khitah kehidupan, konsekuensi hidup yang
seharusnya didayagunakan untuk memperkuat rasa solidaritas kemanusiaan demi terwujudnya
perdamaian dan kemaslahatan bersama, bukan sebaliknya, justru disikapi guna
memupuk rasa permusuhan dan kebencian satu sama lain.
Tiga pekan lalu ( 4/2), terdapat sebuah peristiwa menyejukkan nan
bersejarah bagi iklim perdamaian dunia yang memiliki efek positif tidak hanya
untuk saat ini, tetapi juga dimasa depan, sebuah peristiwa yang menjadi suluh perdamaian ditengah kegersangan rasa perikemanusiaan dan sentimen
primordialistik yang mengalir masif dewasa ini.
Suluh perdamaian nan meneduhkan itu memancar dari sebuah kota
bernama Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari negeri jazirah Arab tersebut, pesan
perdamaian dilantunkan oleh Imam Besar Al-Azhar Kaior Mesir, Syekh Ahmed
Al-Tayeb dan Paus Fransiskus, dua tokoh penting bagi dua umat agama besar dunia
yakni Islam dan Katholik.
Dalam Pidatonya, Syekh Ahmed Al-Tayeb menghimbau kepada seluruh
umat Islam agar merangkul dan menjaga persaudaraan dengan umat lain bernafaskan
Islam moderat, sedangkan Paus Fransiskus dalam pidatonya menekankan pentingnya
cinta kasih antar umat manusia, serta menyerukan diakhirinya perang di Timur
Tengah yang telah merenggut ribuan nyawa dan memberikan penderitaan baik fisik
maupun psikologis.
Tidak hanya sekedar lisan, keduanya pun mendeklarasikan deklarasi
persaudaraan kemanusiaan sekaligus meneken Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan ( Human Fraternity Document ) guna
mempertegas komitmen akan pentingnya menjaga persaudaraan dan perdamaian dunia.
Turut hadir disana Perdana Menteri Uni Emirat Arab, perwakilan umat Kristen,
Judaisme, dan agama-agama lainnya.
Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan tersebut berisikan poin-poin
penting guna mendukung terwujudnya perdamaian antar negara, bangsa, suku,
etnis, dan agama terlepas dari identitas dan dimensi perbedaan yang ada. Hal
ini seakan menjadi oase yang menyejukkan sekaligus menjadi penyeru pesan kepada
seluruh umat manusia untuk memungkasi segala permusuhan, peperangan, dan
kebencian guna mewujudkan iklim dunia yang tentram dan damai dalam bingkai persaudaraan
dan perikemanusiaan.
Seruan dan pesan perdamaian sejatinya memang sudah umum
disampaikan oleh tokoh-tokoh dunia, namun pesan perdamaian dari Abu Dhabi ini memiliki
nilai tersendiri, pertama, karena pesan perdamaian ini disampaikan oleh dua
tokoh penting dan berpengaruh bagi agama Islam dan agama Katholik yang tentu
akan memiliki nilai legitimasi yang lebih kuat dalam mempengaruhi jutaan
manusia penganut kedua agama tersebut secara khusus dan kepada seluruh umat
manusia pada umumnya. Kedua, deklarasi perdamaian di Abu Dhabi tersebut menjadi
momen bersejarah yakni momen pertama kalinya Paus Fransiskus mengunjungi
Semenanjung Arab yang sekaligus memberikan pesan dan makna perdamaian secara lebih
utuh dan mendalam.
Pesan dan seruan damai dari Abu Dhabi tersebut, hendaknya digunakan
sebagai momentum dan rujukan bagi seluruh pihak guna memperkuat tali rajut kemanusiaan dan persaudaraan terlepas dari segala entitas perbedaan yang
melekat. Syekh Tayeb dan Paus Fransiskus telah memberikan contoh nyata bahwa
perbedaan keyakinan sekalipun bukanlah sekat penghalang untuk merajut tenun
persatuan dan persaudaraan antar umat manusia.
Oleh karena itu, sudah saatnya setiap manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiaannya, tiada
lagi tempat bagi fanatisme sempit berlatar ikatan primordial, politik dan chauvinisme
yang sesungguhnya merupakan sumber penyebab bagi terenggutnya nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Refleksi
Politik Indonesia
Burhanuddin Muhtadi dalam papernya berjudul “Menguatnya Intoleransi dan Politik Identitas” secara implisit menjelaskan
bahwa kontestasi pemilu 2019 telah berimplikasi terhadap menguatnya sikap
intoleransi dan politik identitas masyarakat Indonesia. Menurutnya, sikap
intoleransi dan politik identitas mulai menguat sejak pilgub DKI Jakarta 2017
silam dan bertahan hingga saat ini.
Amartya Sen ( Kekerasan dan Indentitas, 2016 )
mengatakan bahwa politik identitas berperan besar dalam menghidupkan sikap
soliteris yakni sikap yang memandang manusia hanya memiliki identitas tunggal,
sikap soliteris ini akan bermuara pada menguatnya sikap intoleransi,
permusuhan, dan kebencian terhadap orang lain yang berbeda identitas khususnya
identitas pilihan politik.
Sejalan dengan pendapat Amartya Sen, pemilu yang pada hakikatnya
adalah sarana bagi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan baik
secara individu maupun kolektif telah mengalami bifurkasi makna menjadi ladang
tumbuhnya intoleransi, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Hal ini terjadi
lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu fundamental ( soliteris ) sehingga
memantik sikap intoleransi, permusuhan dan kebencian antar masyarakat, yang
jika dibiarkan terus-menerus akan berbahaya bagi keharmonisan dan keutuhan kita
sebagai sebuah bangsa.
Secara empirik banyak peristiwa di masyarakat yang cukup membuat
kita menghela nafas lirih, lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu
fundamental dan berlebihan, misalnya pembongkaran jenazah lantaran berbeda
pilihan politik, saling membenci sesama tetangga karena berbeda pilihan
politik, bahkan hingga terjadi pembunuhan hanya karena perbedaan pilihan
politik sebagaimana yang terjadi di Sampang Madura beberapa waktu lalu yang
membuat seorang warga bernama Subaidi meregang nyawa.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih erat dengan
tradisi paternalistik, dimana sikap, tindakan, pandangan, dan perbuatannya
dipengaruhi kuat oleh seseorang yang mereka anggap sebagai pemimpin atau
patron. Sejalan dengan hal ini, maka para elite politik yang menjadi patron
politik masyarakat dalam hal ini akar rumput dan simpatisan hendaknya dapat
memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berpolitik secara bijak dan bermartabat
serta kuyup dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Elite politik jangan justru menjadi pemantik sikap intoleransi,
permusuhan, dan kebencian sesama masyarakat dengan sikap dan pernyataan yang bersifat
demagogis, provokatif, hoax dan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah
masyarakat. Elite politik harus mampu menjadi suluh bagi terwujudnya kehidupan
politik dan demokrasi yang tentram, damai, dan penuh nilai-nilai kearifan.
Selain elite politik, pihak-pihak yang memiliki peran sebagai
stabilitator sosial seperti tokoh agama, tokoh sosial hingga akademisi
hendaknya juga mampu menjadi penyemai kesejukan dan menjadi peredam bagi
sikap-sikap negatif masyarakat yang berkaitan dengan perbedaan pilihan politik.
Pihak-pihak tersebut harus mampu menyakinkan masyarakat bahwa perbedaan pilihan
politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan demokrasi, perbedaan pilihan
politik adalah sebuah hal lumrah yang seharusnya disikapi secara normal tanpa harus menggerus sisi kerukunan, persaudaraan, persatuan, dan kemanusiaan.
Pesan damai dari Abu Dhabi hendaknya kita dijadikan bahan refleksi
dan perenungan bersama, bahwasanya terlepas dari entitas dan dimensi perbedaan
yang melekat pada diri kita masing-masing ( termasuk pilihan politik ),
semangat persaudaraan dan sikap perikemanusiaan harus kita diletakkan sebagai sebuah
hal yang fundamental dan prinsipil dalam kehidupan baik secara individu maupun
sosial-kolektif.
Pemilu 2019 yang hanya sekedar siklus 5 tahunan dan memiliki
tujuan etis guna mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama hendaknya jangan
kita digunakan sebagai ladang untuk menanam bibit permusuhan dan kebencian,
lebih baik ajang pemilu ini kita jadikan sebagai katalis untuk menyemai perubahan
substansial yang mengarah kepada terwujudnya cita-cita bangsa dengan landasan persaudaraan
dan perikemanusiaan bernafaskan Bhinneka
Tunggal Ika.