Berdasarkan laporan dari International Agency of Research on Cancer pada tahun 2018 lalu,
organisasi kesehatan dunia ( WHO ) mengungkapkan bahwa penyakit kanker telah berkembang
semakin masif hingga membuat 9,6 juta orang meninggal dunia pada tahun 2018.
Dengan fakta ini, WHO memprediksi bahwa kanker akan menjadi penyakit pembunuh
nomor satu sekaligus menjadi musuh besar bagi keberlangsungan hidup manusia.
Jika didalam dunia kesehatan, kanker menjadi musuh
besar bagi keberlangsungan hidup manusia, maka dalam konteks kehidupan
demokrasi, hoax telah berentitas sebagai kanker yang berbahaya bagi keberlansungan
kehidupan demokrasi itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax memiliki
arti berita bohong, sedangkan menurut Oxford
English Dictionary, hoax
didefinisikan sebagai malicious deception
yang berarti kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat, lebih jauh, kata
hoax sendiri pertama kali dicetuskan seorang ahli filologi asal Inggris, Robert
Nares (1822) dalam bukunya “A Glossary
: Or, Collection of Words, Phrases, Names, and Allusions to Customs” dalam
buku tersebut, Robert Nares mendefinisikan hoax sebagi sinonim dari hocus yang memiliki arti menipu dan nir
fakta.
Secara umum dapat kita konkretisasi bahwa hoax
memiliki arti berita bohong, menipu, dan nir fakta yang digunakan untuk tujuan
jahat. Dalam konteks kehidupan demokrasi modern, dimana daya dukung internet (media sosial) berkembang begitu masif, disatu sisi memang memberikan efek
positif guna efisiensi dan efektifitas sosialisasi demokrasi, namun disisi lain
juga memiliki efek negatif yakni turut menyuburkan tumbuhnya hoax sehingga menjelma sebagai
kanker yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi nan sehat dan bermartabat.
Hoax membuat dinamika dan narasi demokrasi menjadi
kotor dan lekat dengan berbagai kebohongan, manipulasi, kabar dusta, penyesatan
informasi hingga propaganda yang pada akhirnya menyelewengkan makna demokrasi
dari sarana guna membawa kemaslahatan bersama menjadi sarana yang membunuh
keharmonisan kolektif.
Hoax sendiri telah digunakan sebagai strategi
politik diberbagai negara guna memenangkan kontestasi demokrasi (pemilu), sejalan
dengan hal tersebut, kemudian lahirlah sebuah teknik bernama “Firehose of The Falsehood” yakni
semburan kebohongan yang dilakukan secara repetitif dan terus menerus guna
membunuh kepercayaan publik terhadap lawan politik. Strategi ini pun menuai
hasil di pemilu Amerika Serikat dan Brazil dengan kemenangan Donal Trump dan
Bolsonaro yang bermazhab konservatif.
Di tahun politik khususnya dimasa kampanye menjelang
kontestasi pemilu 2019, hoax-hoax bermotifkan politik berkelindan begitu
nyaring dalam ruang publik, menurut data yang dirilis oleh Kementrian Kominfo,
dari bulan Agustus 2018 hingga Desember 2018 terdapat total 62 konten hoax,
fakta ini tentu harus menjadi koreksi kita bersama, untuk lebih intens dan
perduli dalam melawan hoax demi mewujudkan pemilu 2019 yang bermartabat.
Pemilu 2019 harus diminimalisir dari konten hoax,
sehingga dasar preferensi rakyat dalam memilih dipandu berdasarkan informasi
yang valid bukan kebohongan. Proses pemilu yang didasari dan diselimuti pada
sebuah kebohongan tidak akan memiliki martabat (dignity), Oleh karenanya, proses pemilu 2019 harus kita lindungi
dari konten-konten hoax, sehingga dapat mawujud pemilu yang bermartabat, yakni
pemilu yang jujur, sportif, dan penuh nilai kearifan. Dari pemilu yang
bermartabat inilah dapat kita harapkan lahirnya sosok pemimpin yang bermartabat
dan memiliki kapasitas guna mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat.
Di sisi lain, hoax juga memiliki efek negatif bagi
keberlanjutan pembangunan nasional, hoax dapat menggerus kepercayaan publik yang
pada titik tertentu dapat menghambat proses pembangunan nasional, misalnya
dengan adanya hoax, rakyat menjadi enggan membayar pajak, daya beli menurun,
dan tercipta chaos dalam masyarakat
sehingga stabilitas nasional terganggu yang pada akhirnya menghambat
keberlanjutan pembangunan nasional.
Dengan memahami keseluruhan penjelasan diatas, maka
kita harus menyadari bahwa hoax adalah musuh kita bersama, hoax harus kita
lawan bersama, karena ia adalah kanker demokrasi sekaligus musuh bagi
terwujudnya pemilu bermartabat dan keberlanjutan pembangunan nasional. Hoax adalah
penyakit yang dapat menghambat terciptanya kemaslahatan rakyat dan keharmonisan
kolektif sebagai sebuah bangsa.
Melawan
Hoax
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mastel (2017) menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan untuk menyebarkan hoax adalah
situs web sebesar 34,90 %, kemudian aplikasi chatting sebesar 62,80 %, dan yang tertinggi ada pada media sosial
sebesar 92,40 %. Realitas ini tentunya dapat memberikan kita blue
print bagaimana cara melawan dan memberantas hoax.
Dalam melawan hoax, saya membagi dalam dua segmen,
pertama individu, dan kedua kolektif, bagi individu cara untuk melawan hoax
adalah dengan literasi informasi, literasi informasi akan melahirkan sikap
kritis dan skeptis pada diri seseorang terhadap informasi, sehingga membuat
seseorang tersebut tidak mudah menjadi korban maupun pelaku hoax. Selain itu,
individu juga dapat membanjiri media sosialnya dengan konten-konten positif
guna melawan dan menenggelamkan konten hoax sebagaimana diungkapkan oleh pegiat
media sosial yang telah berpulang Januari lalu, Alm Nukman Luthfie.
Bagi kolektif, cara melawan hoax harus dilakukan secara
holistik, sinergis, dan integral (bersamaan) antara beberapa pihak terkait,
baik pemerintah, penegak hukum, kontestan pemilu, platform media sosial hingga
masyarakat secara umum. Semua pihak tersebut harus berperan dan memiliki nafas
juang yang sama guna melawan hoax.
Pemerintah melalui kominfo dapat berperan melakukan
pemblokiran situs penyebar hoax, sedangkan bagi akun media sosial penyebar konten
hoax tentunya pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan platform media sosial terkait guna melakukan pemblokiran. Kemudian pemerintah
juga dapat membuat suatu sistem algoritma yang dapat menyaring informasi maupun
situs penyebar konten hoax sebagaimana telah dilakukan oleh Rusia. Selanjutnya,
penegak hukum harus tegas dalam menindak para pembuat maupun penyebar hoax
tanpa pandang bulu, hal ini penting guna memberikan efek jera sekaligus
meminimalisir perkembangan hoax.
Tak kalah penting para kontestan pemilu baik parpol,
caleg, capres-cawapres, beserta tim pemenangannya harus memiliki komitmen kuat
guna menjauhi strategi politik dengan menggunakan hoax, komitmen ini dapat
dipertegas dengan meneken pakta integritas. Selain itu, platform media sosial bersama masyarakat juga harus dirangkul oleh negara
dan didayagunakan untuk memiliki kesadaran dan berperan optimal dalam melawan
hoax. Misalnya dengan melakukan sosialisasi, kampanye, dan pemberdayaan platform media sosial maupun masyarakat seperti menciptakan gerakan nasional anti hoax secara masif
guna menakan pertumbuhan hoax.
Pada akhirnya, hanya dengan cara-cara holistik, sinergis, dan integral seperti itulah kanker demokrasi bernama hoax yang merupakan musuh bagi terciptanya pemilu bermartabat dan keberlangsungan pembangunan nasional dapat kita lawan dan kita berantas.
Akhir sekali, mari bersinergi melawan hoax demi suksesnya pemilu
2019 yang damai, berkualitas, dan bermartabat guna mendorong terwujudnya
keberlanjutan pembangunan nasional demi tercipta kemaslahatan dan kesejahteraan
sosial bagi rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar