Kamis, 14 Februari 2019

FORMAT KOMPETISI LIGA 1 DUA WILAYAH ?



Sudah agak lama saya tidak menulis sebuah artikel bertema sepak bola, entah mengapa beberapa bulan terakhir hasrat saya untuk menulis sebuah artikel sepak bola menjadi padam seketika, sepak bola terlihat menjadi bidang yang kurang menarik untuk saya kupas menjadi sebuah tulisan, meskipun beberapa bulan terakhir ini sepak bola Indonesia sejatinya menyimpan banyak bahan yang memungkinkan untuk diolah menjadi beragam tulisan.

Namun 2 hari lalu, ketika saya membaca sebuah link berita dari twitter mengenai rencana mundurnya tim Perseru Serui dari kompetisi liga 1 musim 2019 karena kesulitan finansial, tiba-tiba hasrat menulis bertema sepak bola menjadi menyala kembali dalam diri saya.

Baiklah kita mulai masuk substansi tulisan, rencana mundurnya Perseru Serui dari kompetisi liga 1 musim 2019 ini sejatinya patut kita sayangkan, Perseru Serui adalah tim kuda hitam yang mampu memberikan warna tersendiri dalam belantika kompetisi kasta tertinggi sepak bola nasional sejak pertama naik kasta musim 2014 silam, dengan susah payah, Perseru mampu bertahan di kerasnya kompetisi kasta tertinggi Indonesia, bahkan di dua musim terakhir, nasib bertahan tidaknya Perseru di liga 1 ditentukan pada laga terakhir.

Musim 2017 Perseru selamat dari jurang degradasi setelah secara mengejutkan mampu mengalahkan tim kuat Persib Bandung di Bandung pada pertandingan terakhir musim itu sekaligus mengirim tim Kabau Sirah Semen Padang menuju liga 2, dan pada musim lalu, Perseru kembali berhasil selamat dari jurang degradasi setelah mampu mengkandaskan perlawanan saudara tua mereka, Persipura Jayapura pada pertandingan terakhir yang digelar distadion Mandala Jayapura sekaligus mengirim tim raksasa Sriwijaya FC degradasi ke liga 2.

Rencana mundurnya Perseru Serui dari kompetisi liga 1 musim ini disatu sisi memang memberikan kabar buruk, khususnya dalam perspektif entitas dan profesionalitas klub, mundurnya sebuah klub sepak bola karena minimnya modal finansial jelas menjadi preseden buruk dan menyeruaknya luka lama ( jika sampai terjadi ) bagi iklim sepak bola nasional.

Namun disisi lain kabar mundurnya tim Perseru Serui juga bisa mendatangkan kabar bahagia khususnya bagi klub-klub yang berada diwilayah barat Indonesia, karena dengan mundurnya Perseru, klub-klub diwilayah barat Indonesia tidak akan tandang jauh lagi ke Serui yang tentunya menghabiskan biaya, waktu, dan tenaga yang besar. Mantan pelatih PSM Makassar musim lalu, Roberts Rene Alberts bahkan mengatakan jika tandang ke Serui adalah perjalanan tandang terberat selama dia menjadi pelatih sepak bola kurang lebih 30 tahun.

Beratnya tandang ke Serui memiliki beragam cerita menarik, misalnya menjadi hal yang lumrah jika beberapa tim yang tandang ke Serui hanya mengirim kurang dari 18 pemain, pada musim 2017 tim sekaliber Pusamania Borneo FC saja hanya mengirim 13 pemain ketika tandang ke Serui, hal ini tentu dapat pahami sebagai strategi guna menekan pengeluaran anggaran klub. 

Kemudian pada musim lalu ada cerita menarik yang dialami oleh PSMS Medan, dimana PSMS harus menempuh perjalanan kurang lebih 5000 km untuk bisa menjejakkan kaki di Serui yang diwarnai gonta-ganti pesawat dan transit berjam-jam yang pastinya begitu menguras tenaga dan psikologis. Pada musim 2016 silam beberapa pemain Sriwijaya FC juga sempat terdampar dipulau tak berpenghuni dalam perjalanan Serui menuju Biak setelah melakoni pertandingan melawan tuan rumah Perseru.

Cerita-cerita diatas adalah gambaran kecil yang menggambarkan bagaimana beratnya tandang ke Serui, setali tiga uang juga dengan Perseru Serui yang juga harus menjalani tandang berat khususnya saat tandang ke klub-klub diwilayah barat Indonesia. Perseru Serui harus menghabiskan banyak biaya akomodasi yang kemudian berakumulasi terhadap kondisi ekonomis klub.

Oleh karenanya, menurut hemat saya kompetisi liga 1 rasanya kok lebih kompatibel jika digunakan format dua wilayah khususnya terkait kondisi demografis Indonesia yang luas dan kondisi ekonomi klub-klub diliga 1 yang tak semuanya “Sehat”, dua hal tersebut adalah beberapa landasan argumentasi saya untuk dapat mengatakan bahwa format dua wilayah cukup kompatibel bagi iklim sepak bola kita, dan argumentasi secara lebih jelasnya akan saya kupas dibawah ini.

1.Faktor Demografis

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ( Archipelago ), Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga pulau Rote, bahkan saking luasnya wilayah Indonesia, membuat Indonesia terbagi dalam 3 zona waktu. Melihat kondisi demografis yang demikian itu, maka kompetisi sepakbola di Indonesia dalam hal ini liga 1 akan lebih kompatibel jika digunakan format dua wilayah yang akan berimplikasi positif khususnya terkait kondisi ekonomis klub, dengan format kompetisi dua wilayah, jumlah pertandingan tentunya akan lebih sedikit dan jarak tempuh relatif juga lebih dekat, dengan demikian pengeluaran klub akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Sebagai komparasi, Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki wilayah yang cukup luas sebagaimana Indonesia juga menggunakan format dua wilayah bagi liga utama mereka yakni Major League Soccer. Apalagi ditinjau dari segi historis, format dua wilayah di liga Indonesia juga bukanlah hal yang baru, bahkan lebih dahulu digunakan dari pada format liga full season yakni diera perserikatan, yang kemudian dilanjutkan diera liga Indonesia musim 1995-2002, dan terakhir digunakan pada musim 2014 silam.

2.Faktor Ekonomi

Sepak bola Indonesia masih merangkak untuk menjelma sebagai lahan industri sebagaimana yang terjadi di Eropa dan beberapa negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Jepang dimana perputaran uang dan bisnis menjadi komoditas pokok dalam sepak bola.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi ekonomi klub-klub diIndonesia relatif belum stabil bahkan kembang kempis, hal ini dapat ditinjau setidaknya dalam dua hal, pertama, dari durasi kontrak pemain yang relatif hanya satu musim, memang ada beberapa klub yang berani mengontrak pemainnya lebih dari satu musim, namun hanya sebagian kecil klub saja yang melakukannya. Kedua, narasi-narasi mengenai penunggakan gaji pemain yang masih menjadi isu kontemporer, dua hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa kondisi ekonomi klub-klub di Indonesia relatif belum stabil. Oleh karenanya, dengan penggunaan format dua wilayah bagi liga 1 tentu akan berimbas positif dalam menekan anggaran keuangan klub sekaligus menstabilkan kondisi ekonomi klub, karena jumlah pertandingan dan jarak tempuh menjadi lebih sedikit dan relatif lebih dekat.

3.Faktor Keseruan dan Adrenalin

Sebagai konsekuensi digunakannya format dua wilayah, maka liga akan menghadirkan fase knockout, disinilah pertandingan akan menjadi seru, menegangkan, dan memacu adrenalin, khususnya dipartai semifinal dan final, dapat kita lihat dari musim 2014 silam yakni musim terakhir dimana liga kasta tertinggi Indonesia menggunakan format dua wilayah, dimana melahirkan pertandingan-pertandingan epic dan memacu adrenalin pada babak knockout seperti halnya pertandingan semifinal antara Persib vs Arema, dan partai final antara Persib vs Persipura yang berakhir dengan adu penalti. Dengan format dua wilayah sehingga menghadirkan konsekuensi tercipta partai semiinal dan final, maka kompetisi liga 1 akan terlihat lebih seru, menegangkan, sekaligus memacu adrenalin bagi para penonton dan penikmat sepak bola.

4.Meminimalisir Kecurangan

Dengan digunakannya format dua wilayah, dengan konsekuensi terdapat babak knockout, atau sering disebut sebagai babak hidup mati, maka legitimasi sang juara dimata publik akan terlihat lebih legitimate karena perebutan juara ditentukan dalam pertandingan final. Hal ini sekaligus dapat meminimalisir kecurangan khususnya dalam penentuan juara ,mengingat penentuan juara melibatkan duel secara langsung antara dua klub terbaik yang sama-sama berambisi juara, hal ini tentunya tidak bisa terjadi sebagaimana jika menggunakan format liga full season.

Kelemahan format liga full season adalah rawan kecurangan terutama mendekati akhir-akhir kompetisi, antar klub bisa saling bantu untuk memuluskan langkah agar menjadi juara mapun terbebas dari jerat degradasi, terutama bagi klub-klub yang dipekan-pekan akhir kompetisi sudah tidak memiliki kepentingan ( juara tidak, degradasi juga tidak ) yang bertemu dengan klub yang memiliki kepentingan baik untuk meraih juara maupun terlepas dari zona degradasi.

5.Faktor Timnas

Dengan format dua wilayah, maka jumlah pertandingan ototmatis akan jauh lebih sedikit dibanding menggunakan format full season, hal ini akan berimbas kepada  durasi berjalannya kompetisi yang akan lebih pendek, dengan durasi lebih pendek, maka akan banyak tersisa waktu bagi timnas untuk melakukan persiapan terbaik baik untuk pelatnas, trainning centre maupun uji coba dalam menghadapi event kejuaran sepak bola seperti pra piala asia, piala AFF, pra piala dunia, Sea Games dll.

Selain itu, dengan durasi kompetisi yang lebih pendek, maka kecil kemungkinan terjadi benturan kepentingan antara agenda timnas degan agenda klub mengenai pemilihan pemain untuk timnas sebagaimana yang sering terjadi beberapa tahun terakhir ini saat format kompetisi menggunakan format full season, bahkan pada piala AFF 2016 silam, pelatih timnas hanya berhak maksimal memilih dua pemain ke timnas bagi setiap klub liga 1 lantaran terjadi benturan kepentingan secara bersamaan antara timnas dan klub, sungguh miris.

Kelima faktor diatas adalah landasan argumentasi saya untuk mengatakan bahwa format kompetisi dua wilayah untuk liga 1 adalah lebih kompatibel dan memiliki impact yang lebih positif dari pada format kompetisi full season. Memang format dua wilayah juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya kontrak pemain akan cenderung lebih pendek, kemudian sisi durasi entertain sepak bola juga lebih pendek yang kemungkinan berimplikasi terhadap menurunnya minat sponsor, kelemahan lainnya yaitu pemain yang terpantau ke timnas cenderung pemain-pemain yang klubnya maju ke babak selanjutnya ( 8 besar ) padahal tidak menutup kemungkinan banyak pemain-pemain berkualitas yang klubnya gagal melaju ke babak selanjutnya hal ini tentunya dapat menciptakan sebuah kondisi kesenjangan tersendiri bagi pemain, meskipun begitu, dibalik sisi-sisi kelemahan tersebut setidaknya format kompetisi dua wilayah memiliki nilai mudharat yang lebih kecil dari pada format kompetisi full season dengan 5 dasar argumentasi yang saya jelaskan diatas.

Menurut hemat saya, sangat penting bagi PSSI untuk mengkaji guna menerapkan format kompetisi dua wilayah kembali, memang format dua wilayah bukan format yang sempurna tanpa cela, namun ketika kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak sempurna, maka seyogyanya kita memilih yang sisi negatifnya paling sedikit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar