Sudah agak lama saya tidak menulis sebuah artikel bertema
sepak bola, entah mengapa beberapa bulan terakhir hasrat saya untuk menulis
sebuah artikel sepak bola menjadi padam seketika, sepak bola terlihat menjadi
bidang yang kurang menarik untuk saya kupas menjadi sebuah tulisan, meskipun
beberapa bulan terakhir ini sepak bola Indonesia sejatinya
menyimpan banyak bahan yang memungkinkan untuk diolah menjadi beragam tulisan.
Namun 2 hari lalu, ketika saya membaca sebuah link berita
dari twitter mengenai rencana mundurnya tim Perseru Serui dari kompetisi liga 1
musim 2019 karena kesulitan finansial, tiba-tiba hasrat menulis bertema sepak
bola menjadi menyala kembali dalam diri saya.
Baiklah kita mulai masuk substansi tulisan, rencana
mundurnya Perseru Serui dari kompetisi liga 1 musim 2019 ini sejatinya patut
kita sayangkan, Perseru Serui adalah tim
kuda hitam yang mampu memberikan warna tersendiri dalam belantika kompetisi kasta
tertinggi sepak bola nasional sejak pertama naik kasta musim 2014 silam, dengan
susah payah, Perseru mampu bertahan di kerasnya kompetisi kasta tertinggi
Indonesia, bahkan di dua musim terakhir, nasib bertahan tidaknya Perseru di
liga 1 ditentukan pada laga terakhir.
Musim 2017 Perseru selamat dari jurang degradasi setelah
secara mengejutkan mampu mengalahkan tim kuat Persib Bandung di Bandung pada pertandingan
terakhir musim itu sekaligus mengirim tim Kabau Sirah Semen Padang menuju liga
2, dan pada musim lalu, Perseru kembali berhasil selamat dari jurang degradasi
setelah mampu mengkandaskan perlawanan saudara tua mereka, Persipura Jayapura
pada pertandingan terakhir yang digelar distadion Mandala Jayapura sekaligus
mengirim tim raksasa Sriwijaya FC degradasi ke liga 2.
Rencana mundurnya Perseru Serui dari kompetisi liga 1 musim
ini disatu sisi memang memberikan kabar buruk, khususnya dalam perspektif
entitas dan profesionalitas klub, mundurnya sebuah klub sepak bola karena
minimnya modal finansial jelas menjadi preseden buruk dan menyeruaknya luka
lama ( jika sampai terjadi ) bagi iklim sepak bola nasional.
Namun disisi lain kabar mundurnya tim Perseru Serui juga
bisa mendatangkan kabar bahagia khususnya bagi klub-klub yang berada diwilayah
barat Indonesia, karena dengan mundurnya Perseru, klub-klub diwilayah barat
Indonesia tidak akan tandang jauh lagi ke Serui yang tentunya menghabiskan
biaya, waktu, dan tenaga yang besar. Mantan pelatih PSM Makassar musim lalu,
Roberts Rene Alberts bahkan mengatakan jika tandang ke Serui adalah perjalanan
tandang terberat selama dia menjadi pelatih sepak bola kurang lebih 30 tahun.
Beratnya tandang ke Serui memiliki beragam cerita menarik,
misalnya menjadi hal yang lumrah jika beberapa tim yang tandang ke Serui hanya
mengirim kurang dari 18 pemain, pada musim 2017 tim sekaliber Pusamania Borneo
FC saja hanya mengirim 13 pemain ketika tandang ke Serui, hal ini tentu dapat
pahami sebagai strategi guna menekan pengeluaran anggaran klub.
Kemudian pada musim lalu ada cerita menarik yang dialami
oleh PSMS Medan, dimana PSMS harus menempuh perjalanan kurang lebih 5000
km untuk bisa menjejakkan kaki di Serui yang diwarnai gonta-ganti pesawat dan
transit berjam-jam yang pastinya begitu menguras tenaga dan psikologis. Pada musim 2016 silam beberapa pemain Sriwijaya FC juga sempat
terdampar dipulau tak berpenghuni dalam perjalanan Serui menuju Biak setelah
melakoni pertandingan melawan tuan rumah Perseru.
Cerita-cerita diatas adalah gambaran kecil yang menggambarkan bagaimana beratnya tandang ke Serui, setali tiga uang juga dengan Perseru Serui yang juga harus menjalani tandang berat khususnya saat tandang ke klub-klub diwilayah barat Indonesia. Perseru Serui harus menghabiskan banyak biaya akomodasi yang kemudian berakumulasi terhadap kondisi ekonomis klub.
Cerita-cerita diatas adalah gambaran kecil yang menggambarkan bagaimana beratnya tandang ke Serui, setali tiga uang juga dengan Perseru Serui yang juga harus menjalani tandang berat khususnya saat tandang ke klub-klub diwilayah barat Indonesia. Perseru Serui harus menghabiskan banyak biaya akomodasi yang kemudian berakumulasi terhadap kondisi ekonomis klub.
Oleh karenanya, menurut hemat saya kompetisi liga 1 rasanya kok lebih kompatibel jika digunakan format dua wilayah khususnya terkait kondisi demografis Indonesia yang luas dan kondisi ekonomi klub-klub diliga 1 yang tak semuanya “Sehat”, dua hal tersebut adalah beberapa landasan argumentasi saya untuk dapat mengatakan bahwa format dua wilayah cukup kompatibel bagi iklim sepak bola kita, dan argumentasi secara lebih jelasnya akan saya kupas dibawah ini.
1.Faktor Demografis
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ( Archipelago ), Indonesia memiliki
wilayah yang cukup luas terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas
hingga pulau Rote, bahkan saking luasnya wilayah Indonesia, membuat Indonesia
terbagi dalam 3 zona waktu. Melihat kondisi demografis yang demikian itu, maka kompetisi
sepakbola di Indonesia dalam hal ini liga 1 akan lebih kompatibel jika
digunakan format dua wilayah yang akan berimplikasi positif khususnya terkait
kondisi ekonomis klub, dengan format kompetisi dua wilayah, jumlah pertandingan
tentunya akan lebih sedikit dan jarak tempuh relatif juga lebih dekat, dengan
demikian pengeluaran klub akan dapat ditekan seminimal mungkin.
Sebagai komparasi, Amerika Serikat sebagai negara yang
memiliki wilayah yang cukup luas sebagaimana Indonesia juga menggunakan format
dua wilayah bagi liga utama mereka yakni Major
League Soccer. Apalagi ditinjau dari segi historis, format dua wilayah di
liga Indonesia juga bukanlah hal yang baru, bahkan lebih dahulu digunakan dari
pada format liga full season yakni
diera perserikatan, yang kemudian dilanjutkan diera liga Indonesia musim
1995-2002, dan terakhir digunakan pada musim 2014 silam.
2.Faktor Ekonomi
Sepak bola Indonesia masih merangkak untuk menjelma sebagai
lahan industri sebagaimana yang terjadi di Eropa dan beberapa negara Asia Timur
seperti Tiongkok dan Jepang dimana perputaran uang dan bisnis menjadi komoditas
pokok dalam sepak bola.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi ekonomi klub-klub
diIndonesia relatif belum stabil bahkan kembang kempis, hal ini dapat ditinjau
setidaknya dalam dua hal, pertama, dari durasi kontrak pemain yang relatif
hanya satu musim, memang ada beberapa klub yang berani mengontrak pemainnya
lebih dari satu musim, namun hanya sebagian kecil klub saja yang melakukannya.
Kedua, narasi-narasi mengenai penunggakan gaji pemain yang masih menjadi isu
kontemporer, dua hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa
kondisi ekonomi klub-klub di Indonesia relatif belum stabil. Oleh karenanya,
dengan penggunaan format dua wilayah bagi liga 1 tentu akan berimbas positif
dalam menekan anggaran keuangan klub sekaligus menstabilkan kondisi ekonomi
klub, karena jumlah pertandingan dan jarak tempuh menjadi lebih sedikit dan
relatif lebih dekat.
3.Faktor Keseruan dan
Adrenalin
Sebagai konsekuensi digunakannya format dua wilayah, maka
liga akan menghadirkan fase knockout, disinilah
pertandingan akan menjadi seru, menegangkan, dan memacu adrenalin, khususnya
dipartai semifinal dan final, dapat kita lihat dari musim 2014 silam yakni
musim terakhir dimana liga kasta tertinggi Indonesia menggunakan format dua
wilayah, dimana melahirkan pertandingan-pertandingan epic dan memacu adrenalin pada babak knockout seperti halnya pertandingan semifinal antara Persib vs
Arema, dan partai final antara Persib vs Persipura yang berakhir dengan adu
penalti. Dengan format dua wilayah sehingga menghadirkan konsekuensi tercipta
partai semiinal dan final, maka kompetisi liga 1 akan terlihat lebih seru,
menegangkan, sekaligus memacu adrenalin bagi para penonton dan penikmat sepak
bola.
4.Meminimalisir
Kecurangan
Dengan digunakannya format dua wilayah, dengan konsekuensi
terdapat babak knockout, atau sering
disebut sebagai babak hidup mati, maka
legitimasi sang juara dimata publik akan terlihat lebih legitimate karena perebutan juara ditentukan dalam pertandingan
final. Hal ini sekaligus dapat meminimalisir kecurangan khususnya dalam
penentuan juara ,mengingat penentuan juara melibatkan duel secara langsung
antara dua klub terbaik yang sama-sama berambisi juara, hal ini tentunya tidak
bisa terjadi sebagaimana jika menggunakan format liga full season.
Kelemahan format liga full
season adalah rawan kecurangan terutama mendekati akhir-akhir kompetisi,
antar klub bisa saling bantu untuk memuluskan langkah agar menjadi
juara mapun terbebas dari jerat degradasi, terutama bagi klub-klub yang
dipekan-pekan akhir kompetisi sudah tidak memiliki kepentingan ( juara tidak,
degradasi juga tidak ) yang bertemu dengan klub yang memiliki kepentingan baik
untuk meraih juara maupun terlepas dari zona degradasi.
5.Faktor Timnas
Dengan format dua wilayah, maka jumlah pertandingan
ototmatis akan jauh lebih sedikit dibanding menggunakan format full season, hal ini akan berimbas
kepada durasi berjalannya kompetisi yang
akan lebih pendek, dengan durasi lebih pendek, maka akan banyak tersisa waktu
bagi timnas untuk melakukan persiapan terbaik baik untuk pelatnas, trainning centre maupun uji coba dalam
menghadapi event kejuaran sepak bola seperti pra piala asia, piala AFF, pra
piala dunia, Sea Games dll.
Selain itu, dengan durasi kompetisi yang lebih pendek, maka
kecil kemungkinan terjadi benturan kepentingan antara agenda timnas degan agenda
klub mengenai pemilihan pemain untuk timnas sebagaimana yang sering terjadi
beberapa tahun terakhir ini saat format kompetisi menggunakan format full season, bahkan pada piala AFF 2016
silam, pelatih timnas hanya berhak maksimal memilih dua pemain ke timnas bagi
setiap klub liga 1 lantaran terjadi benturan kepentingan secara bersamaan antara
timnas dan klub, sungguh miris.
Kelima faktor diatas adalah landasan argumentasi saya untuk
mengatakan bahwa format kompetisi dua wilayah untuk liga 1 adalah lebih
kompatibel dan memiliki impact yang lebih positif dari pada format kompetisi full season. Memang format dua wilayah juga
memiliki beberapa kelemahan, misalnya kontrak pemain akan cenderung lebih
pendek, kemudian sisi durasi entertain sepak bola juga lebih pendek yang
kemungkinan berimplikasi terhadap menurunnya minat sponsor, kelemahan lainnya yaitu pemain yang
terpantau ke timnas cenderung pemain-pemain yang klubnya maju ke babak
selanjutnya ( 8 besar ) padahal tidak menutup kemungkinan banyak pemain-pemain
berkualitas yang klubnya gagal melaju ke babak selanjutnya hal ini tentunya dapat
menciptakan sebuah kondisi kesenjangan tersendiri bagi pemain, meskipun begitu, dibalik sisi-sisi
kelemahan tersebut setidaknya format
kompetisi dua wilayah memiliki nilai mudharat
yang lebih kecil dari pada format kompetisi full
season dengan 5 dasar argumentasi yang saya jelaskan diatas.
Menurut hemat saya, sangat penting bagi PSSI untuk mengkaji
guna menerapkan format kompetisi dua wilayah kembali, memang format dua wilayah bukan format yang sempurna tanpa cela, namun ketika kita dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak sempurna, maka seyogyanya kita memilih yang sisi negatifnya paling sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar