Selasa, 12 Februari 2019

POLITIK KEMANUSIAAN POLITIK UNTUK KEMASLAHATAN MANUSIA




POLITIK ADALAH SARANA UNTUK MEMBERIKAN KEMASLAHATAN BAGI MANUSIA, BUKAN JUSTRU SARANA MEMBERANGUS NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM DIRI MANUSIA ITU SENDIRI


Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat adiluhung, masyarakat yang memiliki sifat keramah-tamahan, tepo sliro, menjunjung adab dan sopan santun serta sarat akan tradisi budaya ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam bingkai spiritualitas religius. Begitulah kira-kira deskripsi dan kesan pihak luar terhadap masyarakat Indonesia.

Namun dalam beberapa waktu terakhir, khususnya menjelang penyelenggaraan kontestasi politik pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 ini, karakter adiluhung yang menjadi landmark dan melekat dalam diri masyarakat Indonesia seakan memudar begitu saja, karakter adiluhung itu kini seakan tiba pada masa pancaroba, sehingga membuat karakter itu langka untuk ditemukan pada diri masyarakat Indonesia dewasa ini.

Kontestasi pilpres 2019 ini, telah mendistingsi masyarakat Indonesia menjadi dua kubu, yakni kubu Jokowi dengan slogan #Jokowi2Periode disatu sisi serta kubu Prabowo dengan slogan #2019GantiPresiden disisi yang lain. Dua kubu ini baik yang secara struktural menjadi bagian tim pemenangan maupun yang hanya sekedar simpatisan non struktural sering terlibat narasi-narasi negatif baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang membuat suasana nir kondusif bagi kerukunan dan harmonisasi kehidupan masyarakat.

Narasi-narasi negatif yang berbahaya bagi kerukunan dan harmonisasi masyarakat seperti fitnah, hoax, agitasi, hingga black campaign pun berkelindan masif dalam ruang-ruang kehidupan publik, Burhanuddin Muhtadi dalam papernya berjudul “Menguatnya Intoleransi dan Politik Indentitas” secara implisit mengatakan bahwa kontestasi pilpres 2019 telah membuat sikap intoleransi dalam kehidupan masyarakat menguat, hal ini bisa diejawantahkan bahwa kontestasi pilpres 2019 telah membuat nilai-nilai kemanusiaan (toleransi) sebagai karakter adiluhung masyarakat Indonesia menjadi tereduksi sedemikian rupa.

Sebagaimana kita ketahui bersama publik selama ini hanya disajikan diskursus politik yang non konstruktif bahkan cenderung destruktif seperti saling mencaci, saling menghina, saling memfitnah, saling memaki, saling membenci dan saling menjatuhkan yang sejatinya jauh dari etika dan prinsip nilai kemanusiaan dalam politik. Memasuki tahun politik masyarakat Indonesia seakan berubah dari masyarakat adiluhung menjadi masyarakat keji yang jauh dari estetika nilai-nilai kemanusiaan. Kontestasi politik yang seharusnya menjadi sarana untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia dan masyarakat pada umumnya justru menjadi sarana yang memberangus nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia itu sendiri.

MISKIN SURI TAULADAN

Para patron atau elite politik di Indonesia pada dasarnya adalah pihak yang menentukan dan berpengaruh besar dalam membentuk sikap dan perilaku politik akar rumput, bisa dikatakan bahwa sikap dan perilaku politik akar rumput adalah cerminan dari pada sikap dan perilaku politik para patron atau elite politik.

Sayangnya para patron atau elite politik di Indonesia relatif tidak memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan kedewasaan dalam berpolitik, para patron atau elite politik tidak mampu memberikan suri tauladan akan sikap dan perilaku yang adiluhung dalam berpolitik kepada para akar rumput, justru sebaliknya, para patron dan elite politik seringkali malah tampil sebagai aktor agitasi dan demagogis yang membuat kontestasi politik menjadi semakin panas dan penuh dengan intrik dan narasi-narasi negatif.

Politik saling menjatuhkan dan saling membenci adalah konstruksi politik yang terbangun saat ini, hal ini terjadi lantaran kontestasi politik dimaknai sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan kekuasaan bukan sebagai ajang kompetisi untuk pengabdian diri. Ketika kontestasi politik dimaknai sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan kekuasaan, maka kekuasaanlah yang menjadi obyek utama, kekuasaan menjadi tujuan pragmatis yang bertendensi kuat melahirkan pemikiran dan sikap menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.

Sebaliknya jika kontestasi politik dimaknai sebagai ajang kompetisi untuk pengabdian diri, maka rakyatlah yang menjadi obyek utama, kontestasi politik adalah jalan untuk mengabdikan diri kepada rakyat, jika hal ini yang dimaknai, dipastikan kontestasi politik akan penuh dengan suasana kontruktif dan substansial seperti adu gagasan, adu solusi, adu ide dan adu pemikiran yang dilandasi dengan spirit nilai-nilai kemanusiaan dan etika sportivitas. Hal inilah yang saya sebut sebagai politik kemanusiaan, politik yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia.

Namun sangat disayangkan, para patron dan elite politik yang bertarung dalam pilpres 2019 cenderung memaknai kontestasi pilpres sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan kekuasaan, akibatnya narasi-narasi negatif dan non konstuktif pun berkelindan masif dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Bahkan agama sebagai pranata yang suci dan sakral pun tak luput juga digunakan untuk meraih dukungan politik.

Agama dan politik memang tidak boleh dipisahkan, bukan dalam arti agama dijadikan sebagai alat politik atau politisasi agama, tetapi dalam arti agama harus menjadi asas dan panduan moral dalam berpolitik. Segala aktivitas berpolitik harus senantiasa dilandasi dengan nilai-nilai spiritualitas universal sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh masing-masing pihak misalnya kejujuran, keadilan, kemanusiaan dan lainnya.

Prabowo dan Jokowi beserta para elite pendukung adalah patron politik bagi para akar rumput dan simpatisan, dimana pandangan dan sikap yang mereka pilih akan berpengaruh kuat dalam menentukan bagaimana akar rumput dan simpatisan berpandangan dan bersikap, hal ini merupakan wujud dari budaya paternalistik yang telah lama mengakar kuat dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Dalam budaya paternalistik, kaum akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang patuh dan tunduk terhadap kewibawaan, sikap dan pandangan sang elite atau patron.

Maka dari itu, Prabowo dan Jokowi sebagai patron utama dalam kontestasi Pilpres 2019 ini harus mampu memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berkontestasi politik secara sehat dan bijak dengan menjauhi penggunaan narasi-narasi negatif dan non substansial serta selalu meletakkan persatuan, kesatuan dan kerukunan sebagai sebuah prinsip fundamental yang bisa dikatakan lebih penting dari pada kontestasi politik itu sendiri.

Prabowo dan Jokowi beserta para elite kubunya harus mampu mengejawantahkan politik kemanusiaan, yakni memaknai politik ( pilpres 2019 ) sebagai sarana pengabdian diri, pilpres adalah kompetisi sebagai jalan pengabdian diri kepada bangsa dan negara, pengabdian diri kepada manusia untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia dalam hal ini rakyat Indonesia. Politik kemanusiaan adalah politik yang dilandasi dengan spirit nilai-nilai kemanusiaan yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia sebagai sebuah tujuan ( goals etaintment ).

Waktu kurang lebih 2 bulan sebelum hari H pencoblosan ini harus dimanfaatkan oleh Jokowi dan Prabowo beserta para elite pendukung untuk merubah atau merestorasi pemaknaan kontestasi politik dari ajang persaingan memperebutkan kekuasaan yang penuh dengan narasi-narasi dan intrik negatif menjadi ajang kompetisi untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat yang penuh dengan ide dan gagasan progresif serta nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.

Prof Satjipto Rahardjo seorang begawan hukum Indonesia mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia, hukum ada untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia, maka setali tiga uang juga dengan politik, politik adalah untuk manusia, politik adalah sarana untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia, bukan justru sebaliknya, menjadi sarana yang memberangus nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia itu sendiri. Politik harus dimaknai sebagai jalan pengabdian bukan persaingan kekuasaan.

 Selesai ....







Tidak ada komentar:

Posting Komentar