“POLITIK
ADALAH SARANA UNTUK MEMBERIKAN KEMASLAHATAN BAGI MANUSIA, BUKAN JUSTRU SARANA
MEMBERANGUS NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM DIRI MANUSIA ITU SENDIRI”
Masyarakat Indonesia dikenal
sebagai masyarakat adiluhung, masyarakat yang memiliki sifat
keramah-tamahan, tepo
sliro, menjunjung adab dan sopan santun serta sarat akan tradisi budaya
ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam bingkai
spiritualitas religius. Begitulah kira-kira deskripsi dan kesan pihak luar
terhadap masyarakat Indonesia.
Namun dalam beberapa waktu
terakhir, khususnya menjelang penyelenggaraan kontestasi politik pemilihan
presiden dan wakil presiden 2019 ini, karakter adiluhung yang menjadi landmark dan
melekat dalam diri masyarakat Indonesia seakan memudar begitu saja, karakter
adiluhung itu kini seakan tiba pada masa pancaroba, sehingga membuat karakter
itu langka untuk ditemukan pada diri masyarakat Indonesia dewasa ini.
Kontestasi pilpres 2019 ini, telah
mendistingsi masyarakat Indonesia menjadi dua kubu, yakni kubu Jokowi
dengan slogan #Jokowi2Periode disatu sisi serta kubu Prabowo dengan slogan
#2019GantiPresiden disisi yang lain. Dua kubu ini baik yang secara struktural
menjadi bagian tim pemenangan maupun yang hanya sekedar simpatisan non struktural
sering terlibat narasi-narasi negatif baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang membuat suasana nir kondusif bagi kerukunan dan harmonisasi kehidupan masyarakat.
Narasi-narasi negatif yang
berbahaya bagi kerukunan dan harmonisasi masyarakat seperti fitnah, hoax, agitasi,
hingga black
campaign pun berkelindan masif dalam ruang-ruang kehidupan publik,
Burhanuddin Muhtadi dalam papernya berjudul “Menguatnya Intoleransi dan Politik
Indentitas” secara implisit mengatakan bahwa kontestasi pilpres 2019 telah
membuat sikap intoleransi dalam kehidupan masyarakat menguat, hal ini bisa
diejawantahkan bahwa kontestasi pilpres 2019 telah membuat nilai-nilai
kemanusiaan (toleransi) sebagai karakter adiluhung masyarakat Indonesia menjadi
tereduksi sedemikian rupa.
Sebagaimana kita ketahui bersama publik selama ini hanya disajikan diskursus politik yang non konstruktif bahkan cenderung destruktif seperti saling mencaci, saling menghina, saling memfitnah,
saling memaki, saling membenci dan saling menjatuhkan yang sejatinya jauh dari
etika dan prinsip nilai kemanusiaan dalam politik. Memasuki tahun politik
masyarakat Indonesia seakan berubah dari masyarakat adiluhung menjadi
masyarakat keji yang jauh dari estetika nilai-nilai kemanusiaan. Kontestasi politik yang
seharusnya menjadi sarana untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia dan masyarakat pada umumnya justru
menjadi sarana yang memberangus nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia itu
sendiri.
MISKIN SURI TAULADAN
Para patron atau elite politik di
Indonesia pada dasarnya adalah pihak yang menentukan dan berpengaruh besar
dalam membentuk sikap dan perilaku politik akar rumput, bisa dikatakan bahwa
sikap dan perilaku politik akar rumput adalah cerminan dari pada sikap dan
perilaku politik para patron atau elite politik.
Sayangnya para patron atau elite politik
di Indonesia relatif tidak memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
kedewasaan dalam berpolitik, para patron atau elite politik tidak mampu
memberikan suri tauladan akan sikap dan perilaku yang adiluhung dalam
berpolitik kepada para akar rumput, justru sebaliknya, para patron dan elite
politik seringkali malah tampil sebagai aktor agitasi dan demagogis yang
membuat kontestasi politik menjadi semakin panas dan penuh dengan intrik dan
narasi-narasi negatif.
Politik saling menjatuhkan dan
saling membenci adalah konstruksi politik yang terbangun saat ini, hal ini
terjadi lantaran kontestasi politik dimaknai sebagai ajang persaingan untuk
memperebutkan kekuasaan bukan sebagai ajang kompetisi untuk pengabdian diri.
Ketika kontestasi politik dimaknai sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan
kekuasaan, maka kekuasaanlah yang menjadi obyek utama, kekuasaan menjadi tujuan
pragmatis yang bertendensi kuat melahirkan pemikiran dan sikap menghalalkan
segala cara untuk meraih kekuasaan.
Sebaliknya jika kontestasi politik
dimaknai sebagai ajang kompetisi untuk pengabdian diri, maka rakyatlah yang
menjadi obyek utama, kontestasi politik adalah jalan untuk mengabdikan diri
kepada rakyat, jika hal ini yang dimaknai, dipastikan kontestasi politik akan
penuh dengan suasana kontruktif dan substansial seperti adu gagasan, adu
solusi, adu ide dan adu pemikiran yang dilandasi dengan spirit nilai-nilai
kemanusiaan dan etika sportivitas. Hal inilah yang saya sebut sebagai politik
kemanusiaan, politik yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia.
Namun sangat disayangkan, para patron dan elite politik yang bertarung dalam pilpres 2019 cenderung memaknai kontestasi pilpres sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan kekuasaan, akibatnya narasi-narasi negatif dan non konstuktif pun berkelindan masif dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Bahkan agama sebagai pranata yang suci dan sakral pun tak luput juga digunakan untuk meraih dukungan politik.
Namun sangat disayangkan, para patron dan elite politik yang bertarung dalam pilpres 2019 cenderung memaknai kontestasi pilpres sebagai ajang persaingan untuk memperebutkan kekuasaan, akibatnya narasi-narasi negatif dan non konstuktif pun berkelindan masif dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Bahkan agama sebagai pranata yang suci dan sakral pun tak luput juga digunakan untuk meraih dukungan politik.
Agama dan politik memang tidak
boleh dipisahkan, bukan dalam arti agama dijadikan sebagai alat politik atau
politisasi agama, tetapi dalam arti agama harus menjadi asas dan panduan moral
dalam berpolitik. Segala aktivitas berpolitik harus senantiasa dilandasi dengan
nilai-nilai spiritualitas universal sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh
masing-masing pihak misalnya kejujuran, keadilan, kemanusiaan dan lainnya.
Prabowo dan Jokowi beserta para
elite pendukung adalah patron politik bagi para akar rumput dan simpatisan,
dimana pandangan dan sikap yang mereka pilih akan berpengaruh kuat dalam
menentukan bagaimana akar rumput dan simpatisan berpandangan dan bersikap, hal
ini merupakan wujud dari budaya paternalistik yang telah lama mengakar kuat
dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dalam budaya paternalistik, kaum
akar rumput atau klien akan meletakkan dirinya dalam posisi inferior yang patuh
dan tunduk terhadap kewibawaan, sikap dan pandangan sang elite atau patron.
Maka dari itu, Prabowo dan Jokowi
sebagai patron utama dalam kontestasi Pilpres 2019 ini harus mampu memberikan
contoh dan suri tauladan bagaimana berkontestasi politik secara sehat dan bijak
dengan menjauhi penggunaan narasi-narasi negatif dan non substansial serta
selalu meletakkan persatuan, kesatuan dan kerukunan sebagai sebuah prinsip
fundamental yang bisa dikatakan lebih penting dari pada kontestasi politik itu
sendiri.
Prabowo dan Jokowi beserta para
elite kubunya harus mampu mengejawantahkan politik kemanusiaan, yakni memaknai
politik ( pilpres 2019 ) sebagai sarana pengabdian diri, pilpres adalah
kompetisi sebagai jalan pengabdian diri kepada bangsa dan negara, pengabdian
diri kepada manusia untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia dalam hal ini
rakyat Indonesia. Politik kemanusiaan adalah politik yang dilandasi dengan
spirit nilai-nilai kemanusiaan yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi
manusia sebagai sebuah tujuan ( goals etaintment ).
Waktu kurang lebih 2 bulan sebelum
hari H pencoblosan ini harus dimanfaatkan oleh Jokowi dan Prabowo beserta para
elite pendukung untuk merubah atau merestorasi pemaknaan kontestasi politik
dari ajang persaingan memperebutkan kekuasaan yang penuh dengan narasi-narasi
dan intrik negatif menjadi ajang kompetisi untuk memberikan kemaslahatan bagi
rakyat yang penuh dengan ide dan gagasan progresif serta nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab.
Prof Satjipto Rahardjo seorang
begawan hukum Indonesia mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia, hukum ada
untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia, maka setali tiga uang juga dengan
politik, politik adalah untuk manusia, politik adalah sarana untuk memberikan
kemaslahatan bagi manusia, bukan justru sebaliknya, menjadi sarana yang
memberangus nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia itu sendiri. Politik
harus dimaknai sebagai jalan pengabdian bukan persaingan kekuasaan.
Selesai ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar