Jumat, 22 Februari 2019

PESAN DAMAI ABU DHABI DAN REFLEKSI POLITIK INDONESIA


“ Saya seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “


Sebagai prolog tulisan ini, saya mengutip kata-kata mutiara dari tokoh pergerakan nasionalisme India, Mahatma Gandhi. Kata-kata sederhana yang menyiratkan sebuah pesan mendalam bahwasanya humanisme atau perikemanusiaan harus diletakkan sebagai hal yang fundamental dalam kehidupan, terlepas dengan segala entitas dan dimensi perbedaan yang ada.

Perbedaan adalah khitah kehidupan, konsekuensi hidup yang seharusnya didayagunakan untuk memperkuat rasa solidaritas kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian dan kemaslahatan bersama, bukan sebaliknya, justru disikapi guna memupuk rasa permusuhan dan kebencian satu sama lain.

Tiga pekan lalu ( 4/2), terdapat sebuah peristiwa menyejukkan nan bersejarah bagi iklim perdamaian dunia yang memiliki efek positif tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga dimasa depan, sebuah peristiwa yang menjadi suluh perdamaian ditengah kegersangan rasa perikemanusiaan dan sentimen primordialistik yang mengalir masif dewasa ini.

Suluh perdamaian nan meneduhkan itu memancar dari sebuah kota bernama Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari negeri jazirah Arab tersebut, pesan perdamaian dilantunkan oleh Imam Besar Al-Azhar Kaior Mesir, Syekh Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus, dua tokoh penting bagi dua umat agama besar dunia yakni Islam dan Katholik.

Dalam Pidatonya, Syekh Ahmed Al-Tayeb menghimbau kepada seluruh umat Islam agar merangkul dan menjaga persaudaraan dengan umat lain bernafaskan Islam moderat, sedangkan Paus Fransiskus dalam pidatonya menekankan pentingnya cinta kasih antar umat manusia, serta menyerukan diakhirinya perang di Timur Tengah yang telah merenggut ribuan nyawa dan memberikan penderitaan baik fisik maupun psikologis.

Tidak hanya sekedar lisan, keduanya pun mendeklarasikan deklarasi persaudaraan kemanusiaan sekaligus meneken Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan ( Human Fraternity Document ) guna mempertegas komitmen akan pentingnya menjaga persaudaraan dan perdamaian dunia. Turut hadir disana Perdana Menteri Uni Emirat Arab, perwakilan umat Kristen, Judaisme, dan agama-agama lainnya.

Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan tersebut berisikan poin-poin penting guna mendukung terwujudnya perdamaian antar negara, bangsa, suku, etnis, dan agama terlepas dari identitas dan dimensi perbedaan yang ada. Hal ini seakan menjadi oase yang menyejukkan sekaligus menjadi penyeru pesan kepada seluruh umat manusia untuk memungkasi segala permusuhan, peperangan, dan kebencian guna mewujudkan iklim dunia yang tentram dan damai dalam bingkai persaudaraan dan perikemanusiaan.

Seruan dan pesan perdamaian sejatinya memang sudah umum disampaikan oleh tokoh-tokoh dunia, namun pesan perdamaian dari Abu Dhabi ini memiliki nilai tersendiri, pertama, karena pesan perdamaian ini disampaikan oleh dua tokoh penting dan berpengaruh bagi agama Islam dan agama Katholik yang tentu akan memiliki nilai legitimasi yang lebih kuat dalam mempengaruhi jutaan manusia penganut kedua agama tersebut secara khusus dan kepada seluruh umat manusia pada umumnya. Kedua, deklarasi perdamaian di Abu Dhabi tersebut menjadi momen bersejarah yakni momen pertama kalinya Paus Fransiskus mengunjungi Semenanjung Arab yang sekaligus memberikan pesan dan makna perdamaian secara lebih utuh dan mendalam.

Pesan dan seruan damai dari Abu Dhabi tersebut, hendaknya digunakan sebagai momentum dan rujukan bagi seluruh pihak guna memperkuat tali rajut kemanusiaan dan persaudaraan terlepas dari segala entitas perbedaan yang melekat. Syekh Tayeb dan Paus Fransiskus telah memberikan contoh nyata bahwa perbedaan keyakinan sekalipun bukanlah sekat penghalang untuk merajut tenun persatuan dan persaudaraan antar umat manusia.

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiaannya, tiada lagi tempat bagi fanatisme sempit berlatar ikatan primordial, politik dan chauvinisme yang sesungguhnya merupakan sumber penyebab bagi terenggutnya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.

Refleksi Politik Indonesia

Burhanuddin Muhtadi dalam papernya berjudul “Menguatnya Intoleransi dan Politik Identitas” secara implisit menjelaskan bahwa kontestasi pemilu 2019 telah berimplikasi terhadap menguatnya sikap intoleransi dan politik identitas masyarakat Indonesia. Menurutnya, sikap intoleransi dan politik identitas mulai menguat sejak pilgub DKI Jakarta 2017 silam dan bertahan hingga saat ini.

Amartya Sen  ( Kekerasan dan Indentitas, 2016 ) mengatakan bahwa politik identitas berperan besar dalam menghidupkan sikap soliteris yakni sikap yang memandang manusia hanya memiliki identitas tunggal, sikap soliteris ini akan bermuara pada menguatnya sikap intoleransi, permusuhan, dan kebencian terhadap orang lain yang berbeda identitas khususnya identitas pilihan politik.

Sejalan dengan pendapat Amartya Sen, pemilu yang pada hakikatnya adalah sarana bagi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan baik secara individu maupun kolektif telah mengalami bifurkasi makna menjadi ladang tumbuhnya intoleransi, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Hal ini terjadi lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu fundamental ( soliteris ) sehingga memantik sikap intoleransi, permusuhan dan kebencian antar masyarakat, yang jika dibiarkan terus-menerus akan berbahaya bagi keharmonisan dan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Secara empirik banyak peristiwa di masyarakat yang cukup membuat kita menghela nafas lirih, lantaran perbedaan pilihan politik disikapi terlalu fundamental dan berlebihan, misalnya pembongkaran jenazah lantaran berbeda pilihan politik, saling membenci sesama tetangga karena berbeda pilihan politik, bahkan hingga terjadi pembunuhan hanya karena perbedaan pilihan politik sebagaimana yang terjadi di Sampang Madura beberapa waktu lalu yang membuat seorang warga bernama Subaidi meregang nyawa.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih erat dengan tradisi paternalistik, dimana sikap, tindakan, pandangan, dan perbuatannya dipengaruhi kuat oleh seseorang yang mereka anggap sebagai pemimpin atau patron. Sejalan dengan hal ini, maka para elite politik yang menjadi patron politik masyarakat dalam hal ini akar rumput dan simpatisan hendaknya dapat memberikan contoh dan suri tauladan bagaimana berpolitik secara bijak dan bermartabat serta kuyup dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Elite politik jangan justru menjadi pemantik sikap intoleransi, permusuhan, dan kebencian sesama masyarakat dengan sikap dan pernyataan yang bersifat demagogis, provokatif, hoax dan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah masyarakat. Elite politik harus mampu menjadi suluh bagi terwujudnya kehidupan politik dan demokrasi yang tentram, damai, dan penuh nilai-nilai kearifan.

Selain elite politik, pihak-pihak yang memiliki peran sebagai stabilitator sosial seperti tokoh agama, tokoh sosial hingga akademisi hendaknya juga mampu menjadi penyemai kesejukan dan menjadi peredam bagi sikap-sikap negatif masyarakat yang berkaitan dengan perbedaan pilihan politik. Pihak-pihak tersebut harus mampu menyakinkan masyarakat bahwa perbedaan pilihan politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan demokrasi, perbedaan pilihan politik adalah sebuah hal lumrah yang seharusnya disikapi secara normal tanpa harus menggerus sisi kerukunan, persaudaraan, persatuan, dan kemanusiaan.

Pesan damai dari Abu Dhabi hendaknya kita dijadikan bahan refleksi dan perenungan bersama, bahwasanya terlepas dari entitas dan dimensi perbedaan yang melekat pada diri kita masing-masing ( termasuk pilihan politik ), semangat persaudaraan dan sikap perikemanusiaan harus kita diletakkan sebagai sebuah hal yang fundamental dan prinsipil dalam kehidupan baik secara individu maupun sosial-kolektif.

Pemilu 2019 yang hanya sekedar siklus 5 tahunan dan memiliki tujuan etis guna mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama hendaknya jangan kita digunakan sebagai ladang untuk menanam bibit permusuhan dan kebencian, lebih baik ajang pemilu ini kita jadikan sebagai katalis untuk menyemai perubahan substansial yang mengarah kepada terwujudnya cita-cita bangsa dengan landasan persaudaraan dan perikemanusiaan bernafaskan Bhinneka Tunggal Ika.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar