“Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ini mengandung konsekuensi
konstitusional bahwa kedaulatan tertinggi dalam tata penyelenggaraan negara
berada di tangan rakyat dengan mekanisme aplikatifnya diatur berdasarkan
ketentuan UUD sebagai hukum yang tertinggi. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945, “negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dari
konstruksi Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 di atas mengandung
dua relasi respirokal integral bahwa negara Indonesia adalah negara
berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum serta negara hukum yang
berkedaulatan rakyat.
Negara
berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum artinya bahwa hukum berperan
sebagai mekanisme aplikatif sekaligus kanalisator (batas) terhadap implementasi
kedaulatan rakyat. Hal ini berfungsi agar praktik kedaulatan rakyat dalam tata
kenegaraan maupun kenyataan sosial memiliki basis yuridis yang jelas, sehingga
potensi chaos dan friksi sosial dapat
diminimalisasi atau dikendalikan untuk stabilitas negara.
Kemudian,
makna dari pada negara hukum yang berkedaulatan rakyat adalah bahwa negara
harus dipandu berdasarkan hukum yang dibentuk secara aspiratif berdasarkan
prinsip-prinsip demokratis bukan dengan pendekatan elitis-otoritarianisme.
Selain itu, hukum harus mampu menjadi pelindung maupun sarana bagi
keberlangsungan eksistensi kedaulatan rakyat itu sendiri. Dengan demikian,
negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada prinsipnya merupakan wujud ekspresi
kedaulatan rakyat untuk mengatur tata kehidupan dalam aktifitas bernegara
maupun relasi bermasyarakat demi terwujudnya kemaslahatan bersama.
Dalam
dimensi praksis, kedua entitas di atas harus saling bersinergi berdasarkan
premis: daulat rakyat harus berdasaran hukum dan hukum harus berdasarkan
prinsip daulat rakyat. Namun dalam praktiknya, memang relasi ideal ini terkadang
sulit mengejawantah sebagai sebuah kenyataan. Seringkali ekspresi daulat rakyat
justru mengingkari mekanisme yang ditetapkan oleh hukum sehingga berakhir chaos, misalnya massa yang melanggar
aturan hukum terkait mekanisme demo/unjuk rasa sehingga berakhir bentrok dengan
aparat.
Selanjutnya,
tak berbeda jauh, seringkali pembentukan hukum juga mengingkari prinsip daulat
rakyat. Hukum seringkali dibentuk tanpa memperhatikan aspirasi rakyat.
Akibatnya, produk hukum yang lahir dari lembaga yang berwenang mendapatkan
resistensi yang masif dari beragam kelompok masyarakat. Misalnya: UU KPK dan UU
Cipta Kerja.
Secara
prosedur, aspirasi dan partisipasi masyarakat merupakan aspek formil yang
sangat penting tidak hanya secara yuridis namun juga secara sosiologis,
mengingat masyarakat merupakan subyek sasaran dari pada bekerjanya produk hukum
tersebut. Dalam praktiknya, seringkali aspek aspirasi dan partisipasi
masyarakat dalam pembentukan produk hukum hanya menjadi tugas-tugas formalitas
saja sehingga tidak mampu menyerap aspirasi rakyat secara substantif.
Secara
teoritik sebenarnya dapat dijelaskan mengapa produk hukum yang dibentuk oleh
lembaga yang dipilih berdasarkan prinsip daulat rakyat justru mengingkari
aspirasi dari rakyat itu sendiri. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan
mengenai hal tersebut, diantaranya: teori tipologi hukum dan teori bekerjanya
hukum.
Pertama,
teori tipologi hukum Nonet dan Selznick. Nonet dan Selznick membedakan tipe
hukum dalam 3 jenis. Pertama, hukum represif. Hukum represif adalah hukum yang
didesain sebagai pelayanan kekuasaan represif. Di sisni hukum berfungsi sebagai
sarana legitimasi untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan oportunis penguasa.
Dengan demikian, prinsip daulat rakyat dalam pembentukan hukum dikebiri
sehingga produk hukum yang lahir tidak sesuai dengan aspirasi rakyat pada
umumnya. Kedua, hukum otonom. Di sini hukum berfungsi sebagai institusi otonom
untuk melindungi integritas dirinya sendiri. Ketiga, hukum responsif. Di sini
hukum mengejawantah sebagai implementasi daulat rakyat, hukum dibentuk secara
demokratis sehingga produk hukum yang lahir memiliki kesesuaian dengan aspirasi
dan harapan rakyat.
Kedua,
teori bekerjanya hukum Seidman dan Chamblis. Pertama, perlu dipahami bahwa
Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang memiliki otoritas
konstitusional untuk membentuknya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak
yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan
institusi politik (parpol).
Oleh
karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah produk hukum khususnya Undang-Undang
tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan
dalam tiap fase pembentukannya. Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya
hukum telah menjelaskan bahwa dalam
proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari
faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis
yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional.
Sejalan
dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara
implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang
terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai
kompromistisnya.
Menurut
Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai
urgensinya tinggi namun justru tidak disahkan, karena RUU tersebut tidak
memiliki nilai impact secara politis
atau tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang
dikatakan Mahfud MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh
politik, sehingga membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi
memberi jalan kepada kepentingan oportunis dan impact politis.
Maka
tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan
Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah,
sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai
sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak memiliki
frame kepentingan sebagaimana yang
mereka inginkan. Inilah yang menjadi alasan mengapa hukum dan daulat rakyat
secara das sein sulit mengejawantah
dalam relasi yang sinergis-integratif, sebaliknya hukum dan daulat rakyat
justru seringkali membangun relasi yang diametris-kontradiktif.