Rabu, 04 November 2020

MELURUSKAN ARTI KRIMINALISASI


Dalam realitas sosial, sering kita mendengar diksi “kriminalisasi” baik secara verbal, melalui media sosial, maupun melalui media pers. Sayangnya, arti dari pada kriminalisasi dalam realitas sosial seringkali dipersepsikan pada motif-motif politis. Misalnya narasi-narasi mengenai kriminalisasi ulama yang beberapa kali sempat menyeruak taatkala ulama-ulama “oposisi” berurusan dengan hukum, termasuk perihal peristiwa terbaru yang menimpa Gus Nur. Hal demikian sejujurnya merupakan sebuah distorsi baik secara teoritis maupun faktual mengenai arti dari kriminalisasi.

Ditinjau dari sudut teoritis. Kriminalisasi adalah konsep dalam disiplin ilmu kriminologi (ilmu bantu bagi ilmu hukum pidana) yang membahas mengenai kebijakan memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu khususnya faktor sosiologis atau perubahan masyarakat. Kebalikan dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi yakni proses memformulasikan suatu tindakan atau perbuatan yang semula termasuk tindak pidana menjadi bukan tindak pidana.

Di sini dapat kita pahami bahwa sejatinya telah terjadi sebuah miskonsepsi atau kesalahan laten dari masyarakat dalam memahami dan mengkonsepsikan arti dari pada kriminalisasi itu sendiri. Kriminalisasi sering diartikan sebagai tindakan mengkriminalkan dan merekayasa seseorang atau sekelompok orang agar dapat dipidana. Atau secara sederhananya, membuat seseorang yang tidak layak untuk dipidana menjadi dapat dipidana baik dengan rekayasa ataupun penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Oleh karena itu, dipandang dari sudut teoritis sejatinya arti kriminalisasi ulama itu sendiri telah cacat dan gugur.

Kemudian dari sisi faktual, dalam hal ini okelah kita mencoba menggunakan arti yang umum dipahami publik dalam mengartikan kriminalisasi yaitu upaya untuk memidanakan seseorang atau sekelompok orang yang sebenarnya tidak layak dipidana menjadi dapat dipidana dengan rekayasa atau penggunaan tekanan otoritas kekuasaan. Lalu apa benar ada kriminalisasi ulama? Hmm menurut saya hal itu merupakan framing yang menyesatkan.

Negara kita adalah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, di mana setiap orang tidak bisa begitu saja ditangkap, ditahan, ditetapkan menjadi tersangka, menjadi terdakwa hingga menjadi terpidana tanpa didasari landasan hukum formal sebagaimana diatur secara limitatif dalam KUHAP maupun Undang-Undang terkait lainnya. Selain itu, bagi tersangka, terdakwa, hingga terpidana pun diberikan hak dan berbagai upaya hukum untuk mendapatkan keadilan serta untuk menguji keabsahan dari penetapan maupun putusan pengadilan terhadap perkara hukum yang membelitnya, baik itu bantuan hukum, upaya penangguhan penahanan, praperadilan, banding, kasasi, peninjauan kembali hingga grasi.

Misalnya mengenai penetapan tersangka tentu ada mekanismenya yang harus dipenuhi yakni terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Di sisi lain, penetapan tersangka pun ada mekanismenya untuk diuji yakni melalui upaya praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka. Jadi rasanya sangat mustahil ada upaya kriminalisasi (dengan rekayasa dan tekanan otoritas) terhadap seseorang atau sekelompok orang dewasa ini.

Kasus yang dahulu membelit Habib Rizieq, Habib Bahar bin Smith, Bachtiar Nasir, Slamet Maarif, dan baru-baru ini Gus Nur yang ditetapkan sebagai tersangka pun masif diframing sebagai contoh faktual dan landasan legitimasi untuk mengatakan bahwa telah terjadi kriminalisasi ulama. Marilah kita berpikir jernih dan obyektif di sini. Pertama, jika merasa penetapan tersangka tersebut tidak sah secara hukum, maka tinggal diajukan saja upaya praperadilan sebagai mekanisme untuk menguji keabsahan penetapan tersangka tersebut. Dalam negara hukum demokratis negara memberikan berbagai sarana dan mekanisme hukum bagi setiap orang untuk mendapatkan keadilan.

Kedua, jika memproses hukum seorang ulama yang (diduga) melanggar hukum positif itu diartikan sebagai kriminalisasi ulama, maka sejatinya kejernihan akal sehat dan pikiran kita sudah tercemar teruk. Hukum positif itu tidak melihat siapa yang melakukan tetapi apa yang dilakukan. Tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum, siapapun itu, baik Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, anggota DPR, ulama hingga rakyat biasa jika melanggar hukum ya harus diproses sesuai hukum yang berlaku demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan prinsip equality before the law.

Jadi, konstruksi yang dibangun seharusnya adalah proses hukum dilawan dengan upaya hukum, bukan sebaliknya, proses hukum justru dilawan dengan politisasi hukum yakni tindakan memframing hukum untuk kepentingan tendensi politik guna pembangunan presepsi publik.

Marilah berhukum secara jantan dengan melalui segala proses hukum berdasarkan tahap mekanisme hukum yang tersedia. Gunakanlah segala hak dan upaya hukum yang ada untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Tidak usah takut jika merasa tidak bersalah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar