Rabu, 04 November 2020

OMNIBUS LAW DAN PEMBANGKANGAN SIPIL

 

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akhirnya disetujui oleh DPR dan Pemerintah menjadi Undang-Undang. Meskipun mendapatkan resistensi dan kritik keras dari beragam lapisan masyarakat, RUU Cipta Kerja yang dibuat dengan teknik omnibus law itu pun akhirnya tetap disetujui. Dalam rapat paripurna di DPR, mayoritas fraksi menyetujui kecuali Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat yang memilih walk out.

Lagi dan lagi publik harus menyaksikan arogansi kekuasaan dalam forum legislasi, setelah dahulu lahir UU “pelemahan” KPK yang juga mendapatkan resistensi keras dari masyarakat, kini RUU Cipta Kerja pun disetujui tanpa memperhatikan suasana kebathinan masyarakat. Masifnya resistensi dari masyarakat, mahasiswa, akademisi, buruh, dan kelompok sipil menandakan bahwa secara sosiologis, RUU Cipta Kerja omnibus law tidak memiliki legitimasi.

Secara retrospektif, lahirnya RUU Cipta Kerja omnibus law sendiri dilatarbelakangi oleh dua aspek. Pertama, sinkronisasi, konsolidasi, dan harmonisasi berbagai peraturan yang memiliki afiliasi dengan kemudahan investasi. Kedua, mempermudah birokrasi agar iklim investasi tumbuh subur. Maka dari itu, teknik omnibus law dipilih sebagai prosedur yuridis untuk mengkanal dua aspek tersebut.

Omnibus law sendiri merupakan teknik pembentukan UU yang bersifat sapu jagat. Menurut Audrey O Brien (2009) omnibus law adalah suatu Rancangan Undang-Undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu Undang-Undang. Secara konsep sebenarnya teknik omnibus law cukup bagus berkaitan dengan aspek efektifitas dan efisiensi, akan tetapi di sisi lain memiliki sisi minus terkait potensi kualitas legislasi yang nir-demokratis, mengingat banyak dan luasnya substansi yang diatur dalam UU omnibus law. Dan tampaknya RUU Cipta Kerja yang dibuat dengan teknis omnibus law juga memperlihatkan situasi nir-demokratis dalam aspek legislasinya.

Ada dua poin yang menjadi sorotan terkait RUU Cipta Kerja. Pertama, terkait susbtansi dari pada RUU Cipta Kerja yang dinilai banyak merugikan kaum marjinal dan ekologi. Kedua, terkait prosedur pembentukan yang minim keterbukaan dan aspirasi publik. Namun apa daya, RUU Cipta Kerja kini telah disetujui oleh DPR dan Pemerintah tinggal disahkan oleh presiden kemudian diundangkan dalam lembaga negara.

Upaya Melawan

Pada prinsipnya, legislasi ugal-ugalan oleh pemerintah dan DPR harus dilawan. ada beberapa solusi baik secara yuridis-formal dan non-formal yang dapat dilakukan untuk “menghadang” atau setidaknya “menahan” pemberlakuan UU Cipta Kerja omnibus law yang kontradiksi dengan aspirasi publik dan suasana kebathinan masyarakat ini.

Pertama, judicial review ke MK. Baik melalui hak uji formil maupun hak uji materil. Hak uji formil menguji apakah prosedur pembentukan suatu UU telah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019. Jika secara formil bermasalah, maka suatu UU dapat dinyatakan batal demi hukum secara keseluruhan. Sedangkan hak uji materil menguji apakah materi (pasal/ayat) dalam UU bertentangan UUD atau tidak. Jika bertentangan, maka pasal/ayat tersebut inkonstitusional dan tidak memiliki keberlakuan secara hukum.

Kedua, mendesak presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPPU) untuk mencabut UU Cipta Kerja. PERPPU adalah hak subyektif presiden yang kemudian obyektifitasnya akan dinilai oleh DPR untuk menjadi UU. Namun perhitungan politis terkait aktualisasi upaya ini tampaknya sangat berat. RUU Cipta Kerja merupakan usulan pemerintah, di sisi lain, sikap mayoritas fraksi di DPR juga menghendaki UU Cipta Kerja omnibus law segera berlaku.

Ketiga, mendesak legislatif review. Upaya ini juga sangat berat secara kalkulasi politik. Mengingat presiden dan DPR tidak memiliki political will dan daya sensitifitas mengenai aspirasi publik terkait UU Cipta Kerja. Sangat mustahil UU yang nanti baru disahkan kemudian direvisi kembali.

Keempat, demonstrasi secara masif dan militan. Ini sifatnya tekanan secara sosio-psikologis kepada pemerintah dan DPR agar memiliki daya responsibilitas terkait akomodasi aspirasi publik. Tujuan dari demonstrasi secara masif dan militan adalah agar presiden mengeluarkan PERPPU atau legislatif review.

Kelima, pembangkangan sipil (civil disobdiance). Pembangkangan sipil juga merupakan tekanan atau intimidasi secara sosio-psikologis terhadap pemerintah dan DPR. Pembangkangan sipil merupakan ekspresi protes terhadap kebijakan negara yang dinilai otoritarianisme dan tidak aspiratif dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban sipil sebagai tekanan agar penguasa merubah kebijakannya.

Pembangkangan Sipil

Istilah pembangkangan sipil (civil disobdiance) pertama kali dicetuskan oleh Henry David Thoreau pada tahun 1848 dalam sebuah esai mengenai penolakannya terhadap pajak yang dikenakan pemerintah oleh Amerika Serikat untuk membiayai perang di Meksiko. Selanjutnya, John Rawls (1971) mendefinisikan pembangkangan sipil sebagai gerakan tanpa kekerasan yang dilakukan dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.

Jadi, tujuan dari pada pembangkangan sipil adalah guna memberikan semacam intimidasi atau shock therapy kepada penguasa agar penguasa merubah kebijakan negara yang dinilai tidak aspiratif. Hal inilah yang menjadi serat pembeda antara pembangkangan sipil dengan revolusi. Revolusi memiliki tujuan untuk merebut tampuk kekuasaan dengan jalan menggulingkan pemerintahan yang sah, sedangkan pembangkangan sipil tidak bertujuan merebut tampuk kekuasaan, hanya sekadar pressure terhadap penguasa agar merubah kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan publik.

Dalam sejarah, telah beberapa kali terjadi praktik pembangkangan sipil di dunia. Satu yang paling prominen adalah praktik pembangkangan sipil di India pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi dengan melakukan satyagraha. John Dear dalam buku Intisari Ajaran Mahatma Gandhi: Spiritual, Sosio-Politik, dan Cinta Universal (2007) menjelaskan bahwa satyagraha adalah gerakan moral dan sosial tanpa kekerasan fisik yang konsepnya berakar dari filosofi ahimsa. Pembangkangan sipil yang dilakukan Mahatma Gandhi terinspirasi oleh gerakan serupa yang dilakukan Martin Luther King dan Nelson Mandela.

Di sisi lain, analis politik dan ekonomi, Rustam Ibrahim mengungkapkan bahwa pembangkangan sipil dapat dilakukan oleh rakyat asal memenuhi dua moral justifikasi. Pertama, suatu kebijakan negara melanggar hak-hak warga paling dasar termasuk hak-hak sipil. Pertanyaannya, apakah RUU Cipta Kerja omnibus law memenuhi aspek ini? Hmm debatable. Kedua, aksi pembangkangan sipil dilakukan tanpa kekerasan (non-violence).

Pada prinsipnya, pembangkangan sipil memiliki konsekuensi serius baik terhadap pelaku maupun terhadap stabilitas negara. Terhadap pelaku tentunya dapat dikenakan sanksi-sanksi hukum tergantung dari jenis pembangkangan sipil apa yang dilakukan. Di sisi lain, pembangkangan sipil yang bersifat masif juga berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan sosial-politik, apalagi saat ini kita sedang dalam kondisi pandemi Coivd-19. Maka dari itu menurut saya, pembangkangan sipil hendaknya dilakukan sebagai ultimum remedium serta harus memperhatikan dua moral justifikasi sebagaimana diungkapkan oleh Rustam Ibrahim di atas.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar