Jumat, 27 November 2020

RUU LARANGAN MINUMAN BERALKOHOL DAN KRIMINALISASI

 

Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol telah memasuki tahap pembahasan di Badan Legislatif DPR. Seperti biasa, diametris opini pun berkembang dalam masyarakat, ada yang dalam posisi mendukung (pro) maupun menolak (kontra). Pihak yang pro terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol pada umumnya berlandaskan pada argumentasi bahwa menenggak minuman beralkohol tendensius pada ekses-ekses negatif yang merugikan masyarakat, sehingga hal demikian perlu dikriminalisasi sebagai tindak pidana.

Sedangkan pihak yang kontra, menganggap bahwa kriminalisasi larangan minuman beralkohol terlalu berlebihan. Terlebih, di berbagai daerah Indonesia, minuman keras justru mengejawantah sebagai khasanah kekayaan tradisi. Terkait aspek kekayaan tradisi, sebenarnya hal ini telah diakomodasi sedemikian rupa dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa larangan memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, atau mengkosumsi minuman beralkohol tidak berlaku untuk kepentingan terbatas.

Pasal 8 ayat (2) mengelaborasi kepentingan terbatas yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (1) meliputi: a.kepentingan adat, b. ritual keagamaan, c. wisatawan, d. farmasi, e. tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Kemudian menurut penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf e, yang dimaksud dengan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan meliputi: restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub, klub malam, dan toko khusus penjualan minuman beralkohol.

Dari konstruksi Pasal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi larangan minuman beralkohol pada prinsipnya ditujukan terhadap orang-orang yang meminum minuman keras secara sembarangan, yang tidak termasuk pada tempat maupun kegiatan di atas.

Di sisi lain, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Erasmus Napitupulu sebagimana dikutip dari CNN Indonesia mengatakan bahwa pendekatan pelarangan minuman beralkohol dapat memberikan dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia karena bersifat prohibitionist (larangan buta) sebagaimana yang terjadi pada tindak pidana narkotika, di mana pendekatan prohibitionist pada narkotika tidak berdampak efektif dalam mengurangi terjadinya tindak pidana narkotika.

Aspek Kriminalisasi

Secara teoritik, kriminalisasi memiliki pengertian sebagai usaha yuridis untuk memformulasikan suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana melalui forum legislasi. Antonim dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi, yakni suatu usaha yuridis untuk memformulasikan suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana menjadi bukan tindak pidana.

Menurut Herman Manheim, ada 3 aspek yang harus diperhatikan ketika mengkriminalisasi suatu perbuatan. Pertama, adanya sikap yang sama dari masyarakat atau mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan yang dikriminalisasi harus merupakan perbuatan yang dianggap merugikan bagi masyarakat luas. Kedua, tidak sulit dalam teknis pelaksanaannya. Baik dalam konteks infrastruktur penegakan hukumnya maupun dalam konteks aspek pembuktiannya. Ketiga, sesuai dengan obyek hukum pidana. Artinya perbuatan yang dikriminalisasi harus sesuai dengan sasaran hukum pidana atau tidak mencampuri urusan yang bersifat privat.

Lebih lanjut, Prof Sudarto menambahkan 4 syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi. Pertama, tujuan kriminalisasi adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Kedua, perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban. Ketiga, harus memperhatikan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang. Keempat, memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui beban tugasnya sehingga tidak efektif.

Dari dua pendapat ahli di atas, kiranya kriminalisasi larangan meminum minuman beralkohol perlu dikaji berdasarkan perspektif efektifitas dalam teknis pelaksanaan, cost and benefit, dan kemampuan aparat penegak hukum (keterbatasan sumber daya manusia). Ketiga aspek tersebut harus dikaji dan dielaborasi mendalam dalam naskah akademik untuk melihat nilai urgensinya.

Secara prinsip, penulis sendiri tidak setuju dengan wacana kriminalisasi larangan minum minuman beralkohol. Ada 3 dasar argumentasi yang mendasari sikap penulis. Pertama, bahwa sesuai dengan prinsip hukum pidana, hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai ultimum remedium atau senjata pamungkas. Hal ini mengandung makna bahwa perbuatan yang diformulasi sebagai tindak pidana harusnya perbuatan-perbuatan yang nilai urgensinya tinggi yang tidak bisa diatasi dengan pendekatan lain.

Kedua, mengacu pada konstruksi Pasal 8 RUU Larangan Minuman Beralkohol, bahwa sasaran yang dituju adalah kepada orang yang minum minuman beralkohol secara sembarangan (tidak sesuai tempat dan kegiatan) terkait hal ini sebenarnya bisa dicover dengan pendekatan Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP.

Ketiga, over capasity lapas. Hampir seluruh lapas di Indonesia mengalami over capasity yang kemudian menjadi masalah baru terkait efektifitas pembinaan. Oleh karena itu, kriminalisasi minum minuman beralkohol harus memperhatikan realitas ini agar tujuan dari kriminalisasi maupun tujuan dari hukum pidana itu sendiri pada akhirnya tidak mengalami anomali.

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar