Jumat, 27 November 2020

HUKUM DAN DAULAT RAKYAT

 

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ini mengandung konsekuensi konstitusional bahwa kedaulatan tertinggi dalam tata penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat dengan mekanisme aplikatifnya diatur berdasarkan ketentuan UUD sebagai hukum yang tertinggi. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, “negara Indonesia adalah negara hukum”.

Dari konstruksi Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 di atas mengandung dua relasi respirokal integral bahwa negara Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum serta negara hukum yang berkedaulatan rakyat.

Negara berkedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum artinya bahwa hukum berperan sebagai mekanisme aplikatif sekaligus kanalisator (batas) terhadap implementasi kedaulatan rakyat. Hal ini berfungsi agar praktik kedaulatan rakyat dalam tata kenegaraan maupun kenyataan sosial memiliki basis yuridis yang jelas, sehingga potensi chaos dan friksi sosial dapat diminimalisasi atau dikendalikan untuk stabilitas negara.

Kemudian, makna dari pada negara hukum yang berkedaulatan rakyat adalah bahwa negara harus dipandu berdasarkan hukum yang dibentuk secara aspiratif berdasarkan prinsip-prinsip demokratis bukan dengan pendekatan elitis-otoritarianisme. Selain itu, hukum harus mampu menjadi pelindung maupun sarana bagi keberlangsungan eksistensi kedaulatan rakyat itu sendiri. Dengan demikian, negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada prinsipnya merupakan wujud ekspresi kedaulatan rakyat untuk mengatur tata kehidupan dalam aktifitas bernegara maupun relasi bermasyarakat demi terwujudnya kemaslahatan bersama.

Dalam dimensi praksis, kedua entitas di atas harus saling bersinergi berdasarkan premis: daulat rakyat harus berdasaran hukum dan hukum harus berdasarkan prinsip daulat rakyat. Namun dalam praktiknya, memang relasi ideal ini terkadang sulit mengejawantah sebagai sebuah kenyataan. Seringkali ekspresi daulat rakyat justru mengingkari mekanisme yang ditetapkan oleh hukum sehingga berakhir chaos, misalnya massa yang melanggar aturan hukum terkait mekanisme demo/unjuk rasa sehingga berakhir bentrok dengan aparat.

Selanjutnya, tak berbeda jauh, seringkali pembentukan hukum juga mengingkari prinsip daulat rakyat. Hukum seringkali dibentuk tanpa memperhatikan aspirasi rakyat. Akibatnya, produk hukum yang lahir dari lembaga yang berwenang mendapatkan resistensi yang masif dari beragam kelompok masyarakat. Misalnya: UU KPK dan UU Cipta Kerja.

Secara prosedur, aspirasi dan partisipasi masyarakat merupakan aspek formil yang sangat penting tidak hanya secara yuridis namun juga secara sosiologis, mengingat masyarakat merupakan subyek sasaran dari pada bekerjanya produk hukum tersebut. Dalam praktiknya, seringkali aspek aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum hanya menjadi tugas-tugas formalitas saja sehingga tidak mampu menyerap aspirasi rakyat secara substantif.

Secara teoritik sebenarnya dapat dijelaskan mengapa produk hukum yang dibentuk oleh lembaga yang dipilih berdasarkan prinsip daulat rakyat justru mengingkari aspirasi dari rakyat itu sendiri. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengenai hal tersebut, diantaranya: teori tipologi hukum dan teori bekerjanya hukum.

Pertama, teori tipologi hukum Nonet dan Selznick. Nonet dan Selznick membedakan tipe hukum dalam 3 jenis. Pertama, hukum represif. Hukum represif adalah hukum yang didesain sebagai pelayanan kekuasaan represif. Di sisni hukum berfungsi sebagai sarana legitimasi untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan oportunis penguasa. Dengan demikian, prinsip daulat rakyat dalam pembentukan hukum dikebiri sehingga produk hukum yang lahir tidak sesuai dengan aspirasi rakyat pada umumnya. Kedua, hukum otonom. Di sini hukum berfungsi sebagai institusi otonom untuk melindungi integritas dirinya sendiri. Ketiga, hukum responsif. Di sini hukum mengejawantah sebagai implementasi daulat rakyat, hukum dibentuk secara demokratis sehingga produk hukum yang lahir memiliki kesesuaian dengan aspirasi dan harapan rakyat.

Kedua, teori bekerjanya hukum Seidman dan Chamblis. Pertama, perlu dipahami bahwa Undang-Undang adalah produk politik mengingat lembaga yang memiliki otoritas konstitusional untuk membentuknya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan institusi politik (parpol).

Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah produk hukum khususnya Undang-Undang tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase pembentukannya. Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum telah menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional.

Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai kompromistisnya.

Menurut Mahfud MD, terkadang ada Rancangan Undang-Undang yang substansinya bagus nilai urgensinya tinggi namun justru tidak disahkan, karena RUU tersebut tidak memiliki nilai impact secara politis atau tidak sejalan dengan kepentingan pembuat Undang-Undang. Inilah yang dikatakan Mahfud MD sebagai sebuah kondisi di mana hukum ditorpedo oleh politik, sehingga membuat nilai urgensi dan kemaslahatan dikesampingkan demi memberi jalan kepada kepentingan oportunis dan impact politis.

Maka tak mengherankan jika selama ini DPR dan Pemerintah seringkali justru nggebet mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang secara substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya rendah, sedangkan Rancangan Undang-Undang yang nilai substansi, filosofis, dan nilai sosiologisnya tinggi justru seringkali “terbengkalai” hanya karena tidak memiliki frame kepentingan sebagaimana yang mereka inginkan. Inilah yang menjadi alasan mengapa hukum dan daulat rakyat secara das sein sulit mengejawantah dalam relasi yang sinergis-integratif, sebaliknya hukum dan daulat rakyat justru seringkali membangun relasi yang diametris-kontradiktif.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar