Senin, 21 Juni 2021

HUKUM DAN DISRUPSI TEKNOLOGI

 

Menurut Moechtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sebuah entitas yang terdiri atas asas, proses, norma, dan lembaga yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keselarasan dalam masyarakat. Menurut Moechtar, hukum tidak bisa sekadar dipahami sebagai asas dan aturan (norma) melainkan juga proses dan lembaganya secara utuh.

Proses dan lembaga yang dimaksud Moechtar adalah peradilan dan pengadilan serta institusi penegak hukum. Peradilan merupakan proses (prosedural) untuk mengadili suatu perkara hukum. Sedangkan pengadilan serta institusi penegak hukum adalah lembaga yang berfungsi untuk mengadili dan memproses suatu perkara hukum.

Dalam dinamikanya, hukum selalu berafiliasi dan bertransformasi sejalan dengan perkembangan zaman dan masyarakat. Bekerjanya hukum tidak bisa berlawanan dengan perkembangan dan realitas sosial. Memasuki era 4.0 bahkan 5.0 yang erat dengan disrupsi teknologi, hukum harus senantiasa compatible dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Konkretnya, hukum harus mampu bersinergi dengan disrupsi teknologi.

Contoh sederhana, dahulu tidak dikenal adanya tindak pidana ITE, kemudian karena arus perubahan teknologi berkembang masif yang otomatis ikuti dengan berbagai celah (kriminogen)untuk melakukan kejahatan dengan sarana teknologi, maka lahirlah UU ITE sebagai payung hukum dan sarana perlindungan masyarakat dari kejahatan ITE. Realitas ini merupakan bukti bahwa hukum harus selalu mampu bersinergi dengan disrupsi teknologi yang merupakan bagian dari perubahan sosial.

Disrupsi teknologi adalah perubahan praktik-praktik konvensional menuju moderenitas dan efisiensi dengan penggunaan sarana-sarana teknologi mutakhir. Dalam konteks hukum, maka disrupsi teknologi bisa diimplementasikan pada sisi proses dan kelembagaan hukum misalnya terkait birokrasi-administratif perkara. Sedangkan dalam konteks asas dan norma, tentu bukan ranah dari praksis sarana teknologi.

Menurut Guntur Hamzah dalam bukunya Peradilan Moderen Implementasi ICT di Mahkamah Konstitusi (2020) mengatakan bahwa peradilan moderen (modern court) dalam negara demokrasi konstitusional (democratic constitusional state) merupakan perangkat hukum yang menjadi kebutuhan aktual setiap warga negara dalam menjangkau dan mendapatkan keadilan (access to justice) bahkan bersifat conditio sine qua non terkait kontiniutas diskursus hukum dan keadilan antara warga negara dan lembaga peradilan.

Lebih lanjut, menurut Guntur Hamzah, pemanfaatan teknologi dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam rangka mewujudkan peradilan moderen yang berdasarkan pada 5 prinsip yudisial (independensi, integritas, integrasi, imparsial, dan interkoneksi). Pemanfaatan teknologi dapat diimplementasikan pada sistem persidangan (justice administration system) dan sistem administrasi umum (general administration system).

Sejalan dengan perkembangan disrupsi teknologi, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik yang terdiri atas: pendaftaran perkara (e-filling), pembayaran perkara (e-payment), pemanggilan (e-summon), dan persidangan (e-litigation). 

Keempat variabel e-court di atas cukup compatible dan lazim diterapkan dalam perkara perdata dan tata usaha, namun berbeda halnya dengan perkara pidana. Perkara pidana memiliki hukum acara yang berdasarkan pada KUHAP atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. KUHAP merupakan dasar dari pada prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara pidana. Nah, di sinilah yang menjadi titik masalahnya, mengingat KUHAP tidak mengenal adanya persidangan online (e-litigation) bahkan pemanggilan online (e-summon).

Secara yuridis kehadiran (secara fisik) terdakwa maupun penuntut umum di muka persidangan pidana adalah wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 154 ayat (1), KUHAP jo Pasal 11 ayat (4); Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketidakhadiran terdakwa maupun penuntut umum di muka persidangan hanya dapat disimpangi oleh ketentuan Undang-Undang.

Maka dari itu, di tengah kondisi pandemi Covid-19 dan juga faktor disrupsi teknologi (perubahan sosial), KUHAP harus dilakukan revisi baik melalui revisi biasa atau melalui Perppu guna mengakomodasi prinsip-prinsip e-court seperti persidangan online dan pemanggilan online.

Pada prinsipnya, disrupsi teknologi dapat dimanfaatkan guna mendorong terwujudnya efisiensi dan efektivitas hukum. Teknologi dapat dimanfaatkan sebagai tools dalam proses, birokrasi, maupun administrasi hukum. Misalnya penerapan tilang online berbasis teknologi yang mempermudah (efisiensi dan efektivitas) kinerja penegak hukum. Atau penerapan prinsip e-court yang dapat mewujudkan efisiensi proses peradilan.

Meskipun demikian, teknologi tetap tidak bisa menjadi aktor utama dalam proses penegakan hukum. Peran jaksa, polisi, dan hakim tidak bisa diganti dengan peran teknologi. Penegakan hukum bukan proses mekanik melainkan proses kemanusiaan, proses filosofis, proses sosiologis, dan proses yuridis yang mengekspresikan sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku yang tidak bisa dilakukan oleh subyek yang tidak memiliki akal dan perasaan.

           

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar