Senin, 21 Juni 2021

UU ITE DAN DEPENALISASI

 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kini tengah menjadi sorotan publik. Hal ini terkait masifnya masyarakat yang terkena jerat hukum khususnya karena melanggar Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Selain itu, dua pasal tersebut dianggap sebagian masyarakat sebagai celah untuk memperkuat otoritarianisme penguasa (anti kritik).

Pasal 27 ayat (3) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pasal 28 ayat (2) “setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Dua pasal di atas bagi banyak kalangan dianggap sebagai pasal karet lantaran bersifat multitafsir (kualitas) dan sering menjerat masyarakat (kuantitas). Terkait aspek multitafsir, sebenarnya telah ada putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa dalam menafsir Pasal 27 ayat (3) harus mengacu pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam hal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE tidak memunculkan norma baru, tetapi mengacu pada interprestasi hukum dari unsur-unsur Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.

Sedangkan terkait aspek kuantitas, menurut saya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkelindan baik secara parsial maupun komunal seperti: rendahnya literasi, minimnya kebijaksanaan dalam bermedia sosial, polarisasi politik yang menimbulkan kebencian, hingga mudahnya aksesbilitas teknologi.

Gaung otoritarianisme penguasa dan narasi pasal karet terhadap Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) sendiri menggema luas lantaran disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya generalisir dan  framing narasi-narasi provokatif yang disebabkan residu fragmentasi politik seperti “pembungkaman kebebasan berpendapat”, “pembungkaman demokrasi”, “kritik dipidana” dll. Padahal secara in concreto tidak demikian adanya. Memang dalam praktiknya beberapa ada yang menunjukkan ketidakadilan hukum, tetapi tidak bisa digeneralisir begitu saja bahwa orang-orang yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, demokrasi, dan kritik. Harus dilihat case by case.

Kedua, menguatnya paham post-modernisme hukum yang mendasarkan asumsi bahwa proses bekerjanya hukum selalu lekat dengan intervensi kekuasaan eksekutif. Perihal poin ini, memang perlu menjadi atensi aparat penegak hukum (bagian eksekutif) apakah penegakan hukum terhadap delik-delik cyber crime dalam UU ITE bersifat partikularistik dan tebang pilih berdasarkan variabel pro dan kontra terhadap penguasa. Pada prinsipnya, penegakan hukum harus berdasarkan prinsip due process of law dan equality before the law, tidak boleh diintervensi oleh variabel politis.

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada Senin (15/2/2021) mengingatkan bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Secara historis-sosiologis, UU ITE merupakan produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi yang secara contrario membuka ruang bagi praktik-praktik kejahatan dengan sarana teknologi, sehingga UU ITE hadir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap subyek hukum dari segala potensi kejahatan cyber.

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan, jika ternyata dalam implementasinya (UU ITE) justru menciderai rasa keadilan bagi masyarakat dan mengancam kebebasan berekspresi, Jokowi mengatakan dirinya bisa berkompromi dengan DPR untuk melakukan revisi atau pencabutan pasal-pasal karet yang bersifat multitafsir.

Asa Jokowi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Kajian UU ITE yang dibentuk oleh Menkopolhukam melalui Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2001. Tim kajian ini akan mengkaji UU ITE secara komprehensif kemudian hasilnya akan menjadi pertimbangan pemerintah terkait substansi-substansi spesifik yang perlu dilakukan perubahan.

Menurut hemat saya, UU ITE memiliki nilai urgensitas yang sangat tinggi sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat dari potensi kejahatan cyber di era digitalisasi teknologi seperti sekarang, akan tetapi apakah perlindungan hukum tersebut harus mawujud dalam bentuk sanksi pidana itu perihal lain.

Menurut saya, revisi terhadap UU ITE khususya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) harus diletakkan dalam kerangka depenalisasi. Depenalisasi adalah formulasi suatu perbuatan yang semula diancam dengan sanksi pidana menjadi sanksi non-pidana, bisa sanksi administrasi maupun sanksi perdata. Depenalisasi merupakan antitesis dari penalisasi yakni formulasi suatu perbuatan yang semula dikenakan ancaman sanksi non-pidana menjadi ancaman sanksi pidana.

Depenalisasi berbeda dengan dekriminalisasi. Depenalisasi adalah perubahan sanksi terhadap suatu perbuatan. Sedangkan dekriminalisasi adalah perubahan urgensi suatu perbuatan yang menyebabkan tidak adanya konsekuensi hukum (sanksi) lagi baik sanksi pidana maupun sanksi non-pidana.

Depenalisasi di sini memiliki arti penting sebagai kompromi prismatik antara aspek perlindungan hukum dan aspek efisiensi serta efektivitas hukum. Dan yang tidak kalah penting adalah terkait retrospektif sanksi hukum pidana sebagai sanksi istimewa yang hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan yang “istimewa” dengan memperhatikan aspek teknis dan obyektifitas hukum pidana.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar