Senin, 21 Juni 2021

PEMBERANTASAN KORUPSI DAN RUU PERAMPASAN ASET

 

Di Indonesia, korupsi bak virus akut yang merusak segala lini kehidupan negara, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, hingga auxiliary organ. Begitupun dalam bingkai relasi vertikal, baik di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, hingga pemerintahan desa pun tidak luput dari korupsi. Fenomena korupsi di Indonesia seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi pada awalnya dimulai secara sporadis kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri. Faktanya, di Indonesia awalnya korupsi juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah bahkan hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama.

Fenomena korupsi di Indonesia masih tumbuh secara masif. Berdasarkan data ICW, sepanjang semester I tahun 2020 (1 Januari hingga 30 Juni 2020) terdapat 169 kasus korupsi di Indonesia yang disidik oleh penegak hukum, tersangka yang ditetapkan sejumlah 372 orang, dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun rupiah.

Yang mencengangkan, 44 dari 169 kasus korupsi tersebut terjadi pada sektor anggaran dana desa. Hal ini menjadi sebuah realitas bahwa korupsi kini telah menjamah hingga sekup negara terkecil, desa. Selain itu, sejak Januari hingga Juni 2020 terdapat 1008 perkara korupsi yang telah disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung dengan jumlah terdakwa sebanyak 1043 orang. Jumlah perkara dan terdakwa korupsi yang disidangkan pada semester I tahun 2020 meningkat dibanding semester 1 tahun 2019 lalu, yang hanya ada 497 perkara yang disidangkan dengan total terdakwa sebanyak 504 orang.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun tahun 2020 juga mengalami penurunan sebesar 37 atau turun 3 poin dari hasil skor IPK tahun 2019 lalu. Dalam konteks peringkat, Indonesia juga mengalami penurunan dari peringkat 85 menjadi peringkat 102. Peringkat IPK Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara macam Timor Leste (peringkat 40), Malaysia (peringkat 51), Brunei (peringkat 60), dan Singapura (peringkat 85). Penurunan IPK sendiri menjadi yang pertama bagi Indonesia sejak 12 tahun terakhir. Fenomena ini tentunya harus menjadi atensi kita bersama, sebuah alarm sebagai cambuk introspeksi agar berjalannya negara ini kembali on the track sebagaimana amanat konstitusi dan cita reformasi yang menghendaki zero tolerance terhadap korupsi.

Berkaca pada realitas di atas, Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption In Asian Countries, An Impossible Dream (2013) mengatakan bahwa korupsi akan selalu tumbuh subur manakala pemimpin politik atau pembuat kebijakan publik tidak memiliki kehendak politik untuk memimpin pemberantasan korupsi. Kecenderungan demikianlah yang nampak dalam rezim pemerintahan saat ini. Pengesahan revisi UU KPK yang mendapatkan penolakan keras dari beragam lapisan masyarakat dari akademisi, masyarakat sipil, hingga pegiat korupsi menjadi semacam tanda turbulensi semangat pemberantasan korupsi rezim.

Dalam perspektif teori cost-benefit,  korupsi akan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sederhananya, tidak ada efek jera atas pemidanaan dan pemasyarakatan seorang narapidana korupsi. Dia melakukan korupsi toh masih kaya, masih bisa hidup enak di penjara (previlege), masih bisa berpolitik selepas bebas, dan masih diterima secara hangat oleh masyarakat.

Sejalan dengan premis tersebut, maka salah satu jalan menekan praktik korupsi adalah dengan memperbesar resiko yang harus ditanggung. Konkretnya, resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi harus lebih besar dari pada manfaat yang diterima dari melakukan korupsi. Salah satu cara meningkatkan resiko tersebut adalah melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.

Dengan adanya Undang-Undang Perampasan Aset, maka hal tersebut bisa menjadi payung hukum untuk merampas aset-aset hasil korupsi sebagai bagian dari asset recovery. Perlu diingat bahwa politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia tidak sekadar pada aspek daya guna (pemidanaan dan penjeraan) tetapi juga hasil guna (pengembalian aset negara). Selama ini, pengembalian aset negara dalam konteks pemberantasan korupsi hanya mengandalkan penjatuhan sanksi tambahan berupa uang pengganti, itupun jumlahnya masih jauh dari proporsional.

Berdasarkan data ICW, pada semester I 2020, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 39 Triliun sedangkan vonis uang pengganti hanya sebesar Rp 2,9 triliun. Gap inilah yang membuat urgensi hadirnya UU Perampasan Aset menjadi penting. Dengan adanya UU Perampasan Aset, harta kekayaan narapidana korupsi bisa dirampas dan masuk kas negara jika dia tidak bisa membuktikan dalam sidang pengadilan bahwa harta kekayaan tersebut diperoleh melalui sarana yang sah.

Perumusan naskah akademis RUU Perampasan Aset sendiri sejatinya telah dibuat sejak tahun 2012 yang diketuai oleh Dr Ramelan, sayangnya hingga saat ini pemerintah dan DPR tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset, hal ini terbukti dengan tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2021.

Meskipun tidak masuk dalam prolegnas prioritas 2021, RUU Perampasan Aset bisa saja dibahas oleh DPR dan pemerintah berdasarkan hak inisiatif. Menurut Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar prolegnas dengan 2 alasan. Pertama, untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam. Kedua, keadaan tertentu yang mengandung urgensi nasional. Penurunan drastis indeks persepsi korupsi dan tertangkapnya dua mantan menteri rezim pemerintahan Jokowi terkait tindak pidana korupsi saya kira cukup memenuhi syarat “Keadaan tertentu yang mengandung urgensi nasional”.

Pada akhirnya semua kembali lagi pada apa yang disampaikan oleh John ST Quah di atas, bahwa semangat pemberantasan korupsi (kehendak politik) penguasa dalam hal ini DPR dan Presiden akan menentukan bagaimana masa depan pemberantasan korupsi pada sebuah negara.

Secara substantif (hukum) UU Perampasan Aset memiliki urgensi penting dalam tataran asset recovery negara dan efektifitas (dampak) pemberantasan korupsi dengan jalan memperberat “resiko” bagi narapidana korupsi (dalam perspektif teori cost-benefit). Sedangkan secara politis, UU Perampasan Aset bisa menjadi legacy rezim pemerintahan Jokowi sekaligus simbolisasi secara sosio-politis terkait semangat pemberantasan korupsi.

           

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar