Senin, 21 Juni 2021

JAKSA PINANGKI DAN ULTRA PETITA VONIS PIDANA

Pinangki Sirna Malasari atau yang lebih familiar dikenal sebagai jaksa Pinangki, seorang jaksa fungsional Kejaksaan RI dijatuhi vonis pidana penjara 10 tahun, denda 600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pinangki dinyatakan terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus (concurcus realis).

Pertama, Pinangki terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dengan jumlah Rp 5,25 miliar. Kedua, Pinangki terbukti bersalah menerima uang suap sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Ketiga, Pinangki terbukti bersalah melakukan permufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan uang 10 juta dollar Amerika Serikat kepada pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung demi mendapatkan fatwa.

Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sendiri jauh lebih tinggi dari pada tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Pinangki dengan tuntutan 4 tahun penjara dan denda 500 juta subsider6 bulan kurungan.

Saat pembacaan putusan, Ketua Majelis Hakim, Ignatius Eko Purwanto mengutarakan hal menarik terkait aspek pertimbangan (ratio decidendi) putusan. “Tuntutan yang diajukan penuntut umum terlalu rendah sedangkan putusan dalam diri terdakwa ini dianggap adil dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat”.

Vonis yang dijatuhkan kepada Pinangki bagi penulis telah merefleksikan fungsi dari pada kekuasaan kehakiman itu sendiri. Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah melaksanakan fungsi esensial dari kekuasaan kehakiman tersebut yakni menegakkan hukum (basis-yuridis) sekaligus menegakkan keadilan (value-justice). Tidak adil, jika seorang aparatur penegak hukum yang diduga melakukan pelanggaran hukum yang berlawanan dengan tugas, kewajiban, serta etika profesinya hanya dituntut dengan tuntutan yang relatif rendah.

Ultra Petita Vonis Pidana

Ultra petita adalah istilah yang lazim digunakan dalam perkara perdata. Dalam perkara perdata, ultra petita bermakna bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim melebihi apa yang dituntut oleh penggugat. Hal ini bertentangan dengan asas pokok hukum perdata terkait hakim yang bersifat pasif.

Asas hakim yang bersifat pasif mengandung makna bahwa hakim dalam perkara perdata hanya boleh menggali dan menjatuhkan putusan tidak lebih dari petitum atau apa yang dituntut oleh penggugat. Jadi, luas pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berperkara yakni oleh penggugat berdasarkan petitum yang tertuang dalam surat gugatan bukan oleh hakim.

Larangan ultra petita bagi hakim dalam perkara perdata tertuang dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) jo Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg jo Pasal 67 huruf C Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Asas ultra petita berbunyi asasiu dex non ultra petita atau ultra petita noncognoscitur yang artinya, jika hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan melebihi apa yang diminta, maka putusan tersebut ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan kepentingan umum.

Asas ultra petita sejalan dengan sifat hukum perdata sebagai hukum privat yang berlandaskan pada asas konsensual. Dalam sengketa hukum privat, kepentingan hukumnya juga bersifat privat (sebatas pihak yang berperkara) sehingga luas pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berperkara bukan oleh hakim. Dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan vonis, Hakim terikat pada petitum penggugat.

Oleh karena itu, tujuan dari hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil, kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti formal. Selain itu, kebenaran formil juga bisa dimaknai, dalam menjatuhkan vonis, hakim terikat oleh batas-batas yuridis yang ditentukan oleh pihak yang berperkara.

Hal ini berbeda dengan tujuan dari hukum acara pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil yakni kebenaran yang didasarkan pada alat bukti yang telah diuji secara obyektif sehingga menunjukkan kebenaran suatu peristiwa yang meyakinkan hakim. Maka dari itu, asas dalam hukum pidana mengatakan hakim bersifat aktif. Dalam arti, hakim harus aktif dan responsif untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil.

Dalam perkara pidana sendiri tidak lazim dikenal istilah ultra petita. Namun jika ultra petita dimaksudkan sebagai kondisi di mana hakim menjatuhkan vonis pidana melebihi tuntutan jaksa penuntut umum, maka hal tersebut bukan merupakan sebuah larangan. Tidak ada ketentuan di dalam KUHAP yang membatasi atau melarang hakim untuk menjatuhkan vonis melebihi tuntutan jaksa penuntut umum. Selain secara normatif-yuridisnya tidak ada larangan, membatasi hakim untuk tidak menjatuhi vonis yang melebihi tuntutan jaksa penuntut umum juga bertentangan dengan prinsip dan karakteristik hukum pidana sebagai hukum publik yang berbasis pada pencarian kebenaran materil.

Pada prinsipnya, hakim dalam perkara tindak pidana boleh menjatuhkan vonis pidana melebihi tuntutan jaksa penuntut umum, namun hakim tidak boleh menjatuhkan vonis pidana yang melebihi ancaman pidana yang tertuang dalam Pasal. Misalnya ancaman pidana penjara maksimal dalam sebuah Pasal 5 tahun, hakim menjatuhkan vonis 6 tahun penjara. Itu tidak boleh. Atau hakim menjatuhkan vonis pidana atas tindak pidana yang tidak tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, itu juga tidak boleh.

Dalam menjatuhkan vonis pidana, menurut Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, hakim terikat pada surat dakwaan jaksa penuntut umum (bukan surat tuntutan) dan segala sesuatu yang terbukti di sidang pengadilan yang didasarkan pada pemenuhan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim (pembuktian negatif).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar