Senin, 21 Juni 2021

ONANI HUKUM

 

Onani adalah aktivitas self-sexual yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai ejakulasi atau orgasme dengan cara menyentuh, mengelus, atau memijat alat kelaminnya sendiri. Konkretnya, onani adalah aktivitas dan sarana untuk memuaskan hasrat pribadi dengan menggunakan anggota tubuh sendiri (tangan).

Menurut hasil penelitian JAMA Pediatrics (2017)  sebanyak 73,8% pria pernah melakukan onani sedangkan 48,1% wanita pernah melakukan masturbasi. Data empiris tersebut mengindikasikan bahwa fenomena memuaskan hasrat seksual secara individu merupakan sebuah fenomena yang lazim.

Di sisi lain, gejala onani rupanya juga tengah terjadi dalam praktik dunia hukum Indonesia khususnya dalam sektor formulasi hukum (pembentukan hukum). Pembentukan hukum memperlihatkan anasir-anasir egoisme kekuasaan yang mendominasi di atas kepentingan masyarakat dan aspirasi publik.

Jika onani adalah sarana pemuasan hasrat seksual secara self-sexual yang fungsinya sebenarnya untuk memuaskan pasangan, maka onani hukum adalah sarana menggunakan hukum untuk memuaskan hasrat pribadi/kelompok yang fungsinya sebenarnya untuk mengakomodasi kepentingan kolektif (masyarakat, bangsa, dan negara).

Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang KPK yang mengalami penolakan secara masif dari berbagai golongan baik mahasiswa, akademisi, hingga masyarakat sipil berbasis agama macam NU dan Muhamadiyah merupakan contoh nyata bagaimana praktik onani hukum dipertontonkan.

Secara das sollen, hukum berfungsi untuk mengatur tata kehidupan masyarakat sekaligus membagi dan membatasi spektrum kekuasaan. Namun, hukum sendiri dibuat melalui forum kekuasaan (legislasi). Hukum adalah produk kekuasaan (produk politik), yang bisa dipahami secara das sein tidak mungkin lepas dari tendensi-tendensi kepentingan pragmatis pembuatnya.

Hukum dan Masyarakat     

Menurut Bryan Z. Tamanaha (2004), hukum dan masyarakat memiliki ikatan keterkaitan yang sangat erat. Menurutnya, hukum dan masyarakat memiliki bingkai hubungan yang dinamakan the law-society framework, dimana bingkai hubungan tersebut menghasilkan dua hubungan konkret.

Pertama, the mirror theory, yang berarti hukum adalah cerminan masyarakat, di sini hukum dipandang sebagai pengejawantahan ekspresi dari nilai-nilai, tradisi, dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat. Kedua, instrumentalis function, bahwa hukum itu berfungsi untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai, kebudayaan, ketertiban, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sehingga dapat dipahami bahwa idealnya hukum itu tidak bisa dipisahkan dari basis sosial secara kontekstual yakni masyarakat, memisahkan hukum dengan basis sosialnya, akan menjadikan hukum tidak memiliki daya keberlakuan soziologische geltung (sosiologis) dan filosofische geltung (filosofis). 

Hukum yang jauh dari realitas masyarakatnya (aspirasi) karena faktor onani hukum penguasa hanya akan memiliki daya keberlakuan yuridis atau jurisdische geltung saja, yang kemudian membuat keberlakuan hukum terasa kaku, represif, dan cenderung tidak dapat memberikan sumbangsih konstruktif kepada masyarakat.

Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum di sini merupakan prinsip yang mengejawantahkan bahwa negara Indonesia bukan negara kekuasaan. Kemudian, jika Pasal 1 ayat (3) dihubungkan secara sistematik dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945, maka dapat disimpulkan bahwa negara hukum Indonesia adalah negara hukum demokratis yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (welfarestate).

Bryan Z. Tamanaha, dalam bukunya On The Rule of Law: History, Politic, Theory (2004) membedakan negara hukum menjadi dua jenis yakni negara hukum formal dan negara hukum substansial. Negara hukum formal adalah negara hukum yang sekadar menjadikan hukum sebagai aspek formalitas dalam tata penyelenggaraan negara. Sedangkan negara hukum substansial adalah negara hukum yang mampu mendorong terwujudnya kemaslahatan bersama (welfarestate).

Melihat praktik gejala onani hukum yang terjadi di negeri ini (meski belum masif) dimana hukum hanya menjadi basis formalitas untuk memuaskan hasrat pribadi/kelompok yang sarat kepentingan individual-pragmatis, maka negara hukum Indonesia sedang bertransformasi sebagai negara hukum formal yang secara prinsipil jelas bertentangan dengan values konstitusi kita yang menghendaki negara hukum yang demokratis dan membangun kesejahteraan bersama.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar