Selasa, 24 Juli 2018

MENYIAPKAN PEMIMPIN DAN MEMINIMALISIR POTENSI LAHIRNYA KORUPTOR DALAM KONTESTASI POLITIK



Pemilihan kepala daerah serentak di 171 daerah telah usai digelar pada 27 juni lalu, kini energi dan konsentrasi partai politik dipastikan akan dialihkan menuju persiapan kontestasi politik yang lebih akbar yakni pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif 2019.

Partai-partai politik peserta pemilu 2019 pun mulai saling "berakrobat" dengan berbagai usaha dan upaya untuk menarik atensi masyarakat yang tujuannya adalah agar masyarakat memilih calon dari partai tersebut pada kontestasi politik 2019 mendatang khususnya pada pemilihan legislatif.

Sebagian partai politik ada yang menawarkan program dan semangat baru dalam berpolitik (biasanya dilakukan partai-partai baru), ada partai politik yang menawarkan caleg anti korupsi, kemudian ada juga partai politik yang memakai strategi lama dengan jalan mengajukan calon legislatif dari kalangan artis yang notabene sudah dikenal oleh khalayak umum.

Perlu kita hayati secara seksama bahwa secara das sollen memang partai politik memiliki tujuan yang baik sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang partai politik seperti mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD1945, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan negara kesatuan republik indonesia.

Namun tentunya kita juga menyadari bahwasanya secara das sein (kenyataan) atau prakteknya tujuan-tujuan diatas hanyalah sekedar teks belaka yang kenyataanya jauh panggang dari api, sebagaimana kita ketahui bersama partai politik selama ini lebih bertendensi untuk mementingkan kepentingan intern mereka sendiri yakni dengan meraih atau mempertahankan kekuasaan baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif tanpa memerdulikan kepentingan bangsa dan rakyat.

Maka dari itu, hendaknya kita juga harus jeli dan cermat dalam menentukan sikap atas "akrobat" para partai politik seperti diatas, karena hampir dipastikan cara-cara atau upaya tersebut hanyalah sekedar pepesan kosong saja untuk menarik minat masyarakat agar memilih calon yang diajukan oleh partai politik tersebut dalam kontestasi politik mendatang.

Di satu sisi penyelenggaran kontestasi politik ( khususnya pileg mendatang ) tentunya selalu menyediakan potensi akan lahirnya figur-figur koruptor jika mereka berhasil terpilih nanti, hal ini terjadi lantaran adanya beberapa faktor penyebab yang masih hidup secara masif dalam penyelenggaraan hajat demokrasi tersebut diantaranya integritas dan kapasitas calon yang kurang memadai, adanya mahar politik, politik uang dan cukong politik, penegakan hukum dalam pemilu baik penegakan hukum administratif maupun penegakan hukum pidana yang masih lemah, partisipasi dan kesadaran politik masyarakat yang belum baik serta faktor-faktor lainnya.

Kontestasi politik ( pemilu ) pada dasarnya merupakan sarana bagi masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dengan jalan memilih pemimpin atau wakil rakyat terbaik yang sekiranya memiliki integritas dan kapasitas untuk mewujudkan hal itu, oleh karenanya jika kontestasi politik pada akhirnya hanya melahirkan sosok-sosok tak berintegritas dan tidak berkompeten tentunya masyarakat lah yang akan dirugikan karena dengan dipimpin atau memiliki wakil rakyat seperti itu kesejahteraan dan keadilan hanya akan menjadi buain semu semata, di sisi lain Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa pemilu sejatinya bukan untuk memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.

Oleh karenanya, untuk mencegah yang teburuk berkuasa ( para mental korup ) maka diperlukan semangat dan upaya yang saling bersinergi antara beberapa elemen terkait untuk mengatasinya, semangat dan upaya ini saya sebut sebagai "filterisasi pemimpin", filterisasi pemimpin adalah upaya untuk menyaring dan membentuk seorang pemimpin sejak dini secara terstruktur, filterisasi pemimpin ini lebih jauh dimulai dari keluarga, keluarga adalah lembaga pertama yang berperan untuk mencetak pemimpin yang baik di kemudian hari, keluarga adalah lembaga pertama yang membentuk karakter dan kepribadian seseorang, pola asuh, pola didik dan pola komunikasi dalam kelurga dalam hal ini dari orang tua kepada anaknya akan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian anak tersebut.

Oleh karenanya menjadi penting bagi setiap keluarga dalam hal ini orang tua untuk memiliki pemahaman akan pentingnya pola didik, pola asuh dan pola komunikasi yang baik dalam keluarga mereka, orang tua harus menyiapkan sedini mungkin agar anak mereka memiliki karakter dan kepribadian sebagai seorang pemimpin melalui contoh perilaku, pola asuh, pola didik dan pola komunikasi, anak yang diberikan contoh perilaku yang baik, di didik, di asuh dan mendapatkan pola komunikasi yang baik dalam keluarga niscaya akan tumbuh menjadi pribadi yang unggul saat dewasa, memiliki moral dan kepribadian luhur, lebih siap menghadapi berbagai rintangan dari kompleksitas zaman serta berpotensi besar akan memiliki sifat kepemimpinan dalam diri mereka.

Filterisasi pemimpin berikutnya adalah kualitas dan sistem pendidikan yang ideal dalam membentuk moral, kepribadian, intelektualitas serta kreativitas, sistem pendidikan yang demikian niscaya akan dapat menjadi lahan yang subur bagi lahirnya manusia-manusia unggul baik secara ahlak maupun intelektulitas untuk disiapkan menjadi para pemimpin dikemudian hari, lebih jauh sejatinya konstitusi kita telah mengamanatkan agar sistem pendidikian dibentuk untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam membentuk sistem pendidikan seperti demikian diperlukan visi dan sinergitas yang senafas antara beberapa elemen terkait seperti pemerintah melalui kementrian pendidikan, kepala daerah, lembaga pendidikan ( sekolah ), guru dan juga orang tua.

Setelah keluarga dan sistem pendidikan filterisasi pemimpin selanjutnya adalah partai politik, dalam hal ini idealnya partai politik harus mengaplikasikan tujuan partai politik secara das sein yang selaras dengan das sollen sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang maupun teori, setelah keluarga dan bangku sekolah ( sistem pendidikan ) melahirkan manusia-manusia unggul maka kemudian tugas partai politik adalah melakukan rekrutmen politik terhadap mereka yang berminat dan memiliki value untuk terjun dalam dunia politik, yang selanjutnya mereka-mereka akan dibekali dengan pemahaman dan visi politik melalui kaderisasi dan pendidikan politik dimana kemudian kader-kader terbaik diantara mereka akan disiapkan untuk menjadi wakil partai dalam mewujudkan visi mereka untuk mensejahterakan bangsa dan masyarakat melalui saluran pemilu atau kontestasi politik.

Partai politik harus menghindari penggunaan mahar politik atau praktek cukong politik karena hal seperti inilah yang akan menyebabkan lahirnya pemimpin korup dikemudian hari ( jika terpilih ), orang-orang yang maju dalam ajang kontestasi politik karena adanya mahar politik berupa sejumlah uang hingga miliaran rupiah yang mereka setor kepada parpol atau di dukung oleh cukong maka ketika ia terpilih ia akan cenderung menjadi pribadi dan pemimpin yang korup dengan jalan mencari uang "haram" melaui celah-celah jabatannya untuk mengembalikan uang mahar yang dulu disetornya untuk maju dalam ajang kontestasi politik, sedangkan bagi mereka yang maju dalam kontestasi politik berbekal dana atau dukungan cukong maka sikap, perilaku hingga kebijakan mereka akan tersandera hanya untuk memberikan feedback kepada cukong yang telah membiayainya sehingga pemimpin seperti itu tidak akan memiliki visi untuk mensejahterakan rakyat dan pasti akan menjadi pemimpin yang korup.

Intinya partai politik harus merestrukturisasi dirinya untuk lebih peka dan peduli terhadap nasib rakyat dan bangsa, partai politik jangan hanya terhanyut pada kepentingan politik praktis semata seperti halnya yang terjadi selama ini, partai politik memiliki peran krusial dalam meminimalisir terjadinya korupsi dan terciptanya koruptor yakni dengan jalan menyiapkan kader terbaik yang memiliki kapasitas dan integritas untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan dan keadilan serta kebahagiaan.

Filterisasi pemimpin selanjutnya adalah adanya supremasi penegakan hukum dalam pemilu, baik hukum administratif maupun hukum pidana, dalam artian setiap pelanggaran hukum baik administratif maupun pidana yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu maka harus di tindak secara tegas tanpa pandang bulu dan tanpa toleransi, hukum harus supreme untuk mengawal demokrasi demi terwujudnya pemilu yang bebas, jujur, adil dan bersih dari kecurangan, pemilu seperti inilah yang pada akhirnya sangat kondusif untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, jika penegakan hukum dalam pemilu supreme maka pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu yang selama ini bagai "pembiaran" seperti politik uang akan dapat diminimalisir sekecil mungkin sehingga dapat tercipta pemilu yang bersih dan berkualitas.

Artinya untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas diperlukan pula sistem penyelenggaraan pemilu yang bersih, jujur dan adil dan hal itu bisa terwujud apabila penegakan hukum dalam pemilu baik penegakan hukum administratif maupun penegakan hukum pidana dapat ditegakkan setegak mungkin untuk menekan angka kecurangan.

Filterisasi pemimpin yang terakhir adalah partisipasi masyarakat yang aktif dan kritis dalam pemilu atau kontestasi politik, aktif dalam artian ikut menyumbangkan suara atau tidak golput, aktif menolak politik uang serta aktif melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, sedangkan kritis dalam artian masyarakat harus memiliki pemahaman dan rasa peduli akan calon pemimpin dan calon wakil rakyatnya, karena ditangan mereka-mereka lah nasib masyarakat, bangsa dan negara akan dipertaruhkan, masyarakat harus cermat dan cerdas dalam memilih calon pemimpin atau calon wakil rakyat, seperti menghetahui rekam jejak calon, menghetahui visi dan misi atau janji politik yang mereka tawarkan dengan mempertimbangkan realistisitas perwujudan janji itu.

Idealnya masyarakat harus memilih pemimpin atau wakil rakyat berdasarkan faktor teknis yakni faktor integritas dan kapasitas calon bukan justru dari faktor non teknis seperti karena hubungan teman, saudara, dikasih uang dll, karena pada akhirnya sikap aktif dan kritis dari masyarakat ini akan sangat menentukan pada terpilihnya sosok pemimpin atau wakil rakyat yang berintegritas dan memiliki kapasitas untuk menghantarkan masyarakat mencapai keadilan dan kesejahteraan serta menghindarkan yang terburuk memimpin ( para koruptor ).

Hal yang saya uraikan diatas adalah rangkaian upaya atau usaha untuk menyiapkan pemimpin serta meminimalisir potensi lahirnya koruptor dalam ajang kontestasi politik, korupsi memang tidak akan pernah bisa ditekan hingga bersih namun setidaknya korupsi akan dapat diminimalisir hingga sekecil mungkin lewat upaya filterisasi pemimpin yang terstruktur dimulai dari keluarga, sistem pendidikan, partai politik, penegakan hukum dalam pemilu dan partisipasi yang aktif dan kritis dari masyarakat, kelima elemen tersebut harus bersinergi satu sama lain untuk menghasilkan pemimpin yang baik serta mencegah para koruptor-koruptor memimpin bangsa ini.

Tanpa adanya sinergitas dari kelima elemen tersebut maka akan selalu terbuka lubang menganga bagi terpilihnya para koruptor-koruptor yang akan menggerogoti bangsa ini.

Jika di sederhanakan maka upaya untuk menyiapkan pemimpin dan meminimalisir lahirnya koruptor dalam memimpin bangsa di bagi menjadi 2 upaya yakni upaya jangka panjang yang meliputi keluarga, sistem pendidikan, partai politik, penegakan hukum dalam pemilu dan partisipasi yang aktif dan kritis dari masyarakat, sedangkan upaya jangka pendek meliputi partai politik, penegakan hukum dalam pemilu dan partisipasi yang aktif dan kritis oleh masyarakat.

Kelima hal tersebut pun harus kembali diperkuat melalui sistem penyelenggaran pemerintahan yang baik dan penegakan hukum ( secara umum ) yang tegak, adil dan bersih, karena jika sistem penyelenggaran pemerintahan buruk atau banyak terbuka celah-celah untuk melakukan korupsi tidak menutup kemungkinan bahwa pemimpin berkualitas yang dihasilkan dari filterisasi pemimpin seperti diatas pun juga dapat berubah menjadi seorang koruptor setelah memimpin, ada adagium yang menyatakan bahwa " MANUSIA BURUK ITU TERCIPTA DARI SISTEM YANG BURUK ", di satu sisi agar celah untuk melakukan korupsi itu semakin mengecil maka penegakan hukum khususnya dalam perkara korupsi harus ditegakkan secara adil, bersih, dan tanpa pandang bulu sehingga mampu menimbulkan efek jera kepada pelaku ( prevensi khusus) maupun efek jera kepada pihak-pihak lain ( prevensi general ) agar tidak meniru pelaku yang telah dihukum.


Selesai .......












Tidak ada komentar:

Posting Komentar