Jumat, 13 Juli 2018

SRIWIJAYA DAN MASALAH LATEN SEPAKBOLA INDONESIA


Beberapa hari terakhir terdapat beberapa peristiwa di dunia olahraga yang menyita atensi publik Indonesia selain lolosnya Kroasia ke final piala dunia dan keberhasilan Muhammad Zohri menjadi juara dunia junior lari 100 meter di Finlandia ada lagi satu peristiwa yang begitu menyita atensi masyarakat khususnya masyarakat pecinta bola yakni peristiwa yang menyangkut kondisi tim kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan Sriwijaya FC.

Sriwijaya FC saat ini tengah mengalami kondisi yang cukup pelik, kesulitan finansial yang dialami tim Sriwijaya FC memaksa pelatih Rahmad Darmawan dan beberapa pemain pilar harus hengkang dari bumi wong kito sebut saja Hamka Hamzah, Adam Alis, Makan Konate, Patrich Wanggai, Alfin Tuasalamony dan lainnya.

Keterlambatan gaji disinyalir kuat menjadi faktor kunci yang membuat Rahmad Darmawan dan para pemain diatas "terpaksa" hengkang dari tim pengoleksi 2 gelar liga Indonesia tersebut.

Sungguh mengejutkan memang tim besar sekelas Sriwijaya FC harus mengalami krisis finansial sehingga berdampak pada terlambat nya pemenuhan gaji pemain yang konon hingga 2 bulan lamanya, apalagi di awal musim ini tim Sriwijaya FC menunjukkan geliat yang antusias dalam menyambut gelaran liga 1 terbukti dengan perekrutan banyak pemain bintang guna menyokong performa tim untuk mencapai prestasi maksimal.

Permasalahan seputar gaji khususnya keterlambatan gaji memang merupakan masalah laten dalam dunia persepakbolaan kita, fenomena ini sebenernya bak perulangan episode-episode sebelumnya yang pernah menghiasi wajah persepakbolaan kita.

Sejujurnya terjadinya fenomena seperti ini dapat diminimalisir baik oleh PSSI maupun oleh Tim itu sendiri, namun hal esensial seperti ini agaknya belum mendapatkan atensi yang serius untuk di uraikan dan diletakkan sebagai isu yang krusial.

Pertama bagi PSSI, sebagai pemegang otoritas persepakbolaan nasional PSSI sebenarnya memiliki kewenangan untuk memaksa atau meminimalisir sekecil mungkin tim-tim yang berkompetisi agar tidak menunggak gaji pemain, dengan jalan menetapkan regulasi, seperti menerapkan regulasi bagi para tim yang berkompetisi untuk memiliki deposit dana tertentu yang sekiranya cukup untuk membiayai tim tersebut selama berkompetisi sebelum mengikuti kompetisi, jika tim tersebut tidak memiliki deposit dana seperti yang ditetapkan maka tim tersebut tidak boleh mengikuti kompetisi.

Berikutnya PSSI juga bisa menerapkan sanksi berupa pengurangan poin tertentu hingga jerat degradasi jika dalam berjalannya kompetisi tim menunggak gaji pemain misalnya pengurangan 5 poin bagi tim yang menunggak gaji selama sebulan dan berlipat sesuai bulan seterusnya, regulasi seperti ini penting untuk mendorong dan memaksa tim-tim untuk cerdas dan hemat dalam mengalokasikan dana yang dimiliknya, akan tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana regulasi atau aturan tersebut dapat di tegakkan setegak mungkin, karena regulasi sebaik apapun akan menjadi percuma dan tidak memiliki dampak yang positif jika tidak di tegakkan secara konsekuen ( seperti yang terjadi selama ini ).

Sejatinya regulasi seperti diatas mungkin sudah ada ( saya belum membaca regulasi liga Indonesia ) namun agaknya dari sisi penegakannya saja yang masih sangat lemah, terlalu banyak toleransi bagi tim-tim yang menunggak gaji. Dari sisi penegakan ini kita perlu berkaca pada negeri tetangga Malaysia yang mana beberapa waktu lalu berani menjatuhkan hukuman degradasi kepada tim Kuantan FA karena tim Kuantan FA menunggak gaji pemain hingga beberapa bulan.

Di liga 2 musim ini tim PSIM dan Persiwa mendapatkan hukuman pengurangan poin yakni pengurangan sebanyak 9 poin bagi PSIM dan 6 poin bagi Persiwa lantaran menunggak gaji pemain mereka pada beberapa musim lalu tepatnya bagi PSIM pada musim 2011-2012 dimana gaji pemain asing mereka asal Belanda yakni Rimkus, Kristian Adelmud dan Emil Linkers di tunggak sedangkan bagi Persiwa di hukum karena melakukan penunggakan gaji pemainnya pada musim 2013, sayangnya hukuman tersebut di jatuhkan karena inisiatif FIFA berkat laporan dari pemain yang bersangkutan kepada FIFA mungkin seandainya mereka melaporkan kepada PSSI bukan kepada FIFA hampir dapat dipastikan ceritanya akan berbeda hehehe.

Kedua bagi tim, tim idealnya haruslah dapat mengkalkulasi se efisien mungkin antara kebutuhan dan pendapatan selama berkompetisi agar kondisi finansial mereka tetap sehat, tim harus mampu memperhitungkan secara matang antara proporsi pemasukan dan pengeluaran agar tidak terjadi defisit dana yang berimbas pada penunggakan gaji pemain, pelatih dan official tim.

Sumber pendapatan tim sepakbola di indoneia pada umumnya ada 4 yakni subsidi dari PSSI, sponsor, hak siar dan penjualan tiket pertandingan, dilihat dari sumber pendapatan ini idealnya setiap tim harus lah memiliki perencanaan yang matang dan pengalokasian yang efisien tentang pemenuhan kebutuhan tim yang mana harus di sesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliknya.

Jangan sampai tim terlalu banyak mengeluarkan dana misalnya untuk membeli pemain-pemain bintang namun di sisi lain kondisi finansial nya tidak memungkinkan, jika ini terjadi maka imbasnya sudah dapat kita ketahui bersama yakni tertunggaknya gaji pemain, pelatih serta official tim.

Maka dari itu, tim-tim dituntut untuk memiliki kecermatan dan efisiensi dalam mengalokasikan dana yang dimiliknya, jangan sampai besar pasak daripada pendapatan, kalau perlu setiap tim idealnya haruslah memiliki konsultan keuangan untuk memberikan gambaran dan memberikan solusi tentang pengelolaan keuangan tim agar tidak minus.

Namun agaknya tim-tim masih belum memberikan perhatian yang serius akan hal ini, mungkin juga karena permasalahan seperti ini sudah dianggap menjadi masalah yang wajar bagi mereka mengingat "profesional" masih sekedar slogan semata dalam persepakbolaan kita.

Hal yang biasa terjadi adalah tim terlalu ambisius mengejar prestasi dengan belanja pemain secara jor-joran dan jauh dari efisiensi, Sriwijaya FC adalah salah satu contoh sahihnya, Sriwijaya FC memang memiliki pendapatan yang besar baik dari sponsor, tiket pertandingan dan hak siar, akan tetapi pengeluaran mereka juga cukup besar mengingat pemain-pemain yang mereka miliki relatif memiliki kontrak yang besar karena berlabel pemain bintang, Timnas ataupun eks Timnas, kemudian yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara kemampuan keuangan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan yang berimbas pada tertunggaknya gaji para pemain, pelatih dan mungkin official tim.

Permasalahan laten tentang gaji ini hendaknya harus di urai dan di selesaikan dengan solusi yang kontinu. Artinya disini diperlukan rasa kesadaran dan idealisme yang sama antara PSSI dan para tim-tim sepakbola profesional Indonesia untuk meminimalisir sekecil mungkin terjadinya penunggakan gaji baik kepada pemain, pelatih dan official tim.

PSSI harus membuat regulasi atau aturan yang ketat untuk mendorong dan "memaksa" tim-tim agar lebih mampu berpijak secara lebih sehat dari sisi finansial yang mana di satu sisi juga harus disertai pula dengan penegakan yang konsekuen atau tidak banyak toleransi.

Di sisi lain tim-tim juga harus memiliki rasa kesadaran dan semangat untuk menyehatkan kondisi finansial mereka, mereka dituntut untuk lebih cermat dan efisien dalam mengalokasikan dana yang mereka miliki, jangan sampai pengeluaran jauh lebih besar daripada pendapatan, tim jangan hanya berhasrat besar meraih prestasi dengan belanja pemain-pemain bintang ( kontrak besar ) namun kurang memperhatikan kondisi kesehatan finansial mereka.

Tak lupa juga bahwa pemain seharusnya juga harus lebih berani kepada tim ( pengelola ) apalagi saat ini telah ada wadah atau asosiasi pemain profesional Indonesia yakni ( APPI ) yang pastinya dapat memberikan dukungan secara moril dan advokasi kepada pemain untuk menggugat timnya apabila terjadi permasalahan pemenuhan hak pemain, berani disini dalam artian berani membawa perkara penunggakan gaji ini kepada pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian secara hukum mengingat hubungan tim dan pemain adalah hubungan kontrak ( Perdata ) dimana kedua pihak memiliki kedudukan yang sederajat, namun upaya ini hendaknya dipakai sebagai upaya terakhir apabila kondisi sudah "darurat". Upaya ini juga akan menjadi shock terapi yang efektif bagi tim agar merestorasi diri untuk lebih concern dalam memperhatikan pemenuhan hak-hak pemain baik di masa sekarang atau di masa yang akan datang.

Pada konkretnya PSSI dan Tim harus bersinergi untuk mengatasi permasalahan laten seperti ini, bagaimana persepakbolaan kita bisa maju dan berprestasi jika hal-hal esensial seperti ini belum terlalu diperhatikan secara serius, bagaimana persepakbolaan kita bisa menjadi juara Asia tenggara atau lolos piala dunia jika arti profesional masih hanya sekedar slogan belaka.

Permasalahan yang menerpa tim Sriwijaya FC ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, karena sangat mungkin banyak tim-tim di liga Indonesia lainnya ( liga 1 dan liga 2 ) yang juga menunggak gaji para pemain, pelatih dan official tim, hanya saja tidak terekspos media hmmmmm.

Akhir sekali perlu diingat bahwa dalam bidang olahraga khususnya sepakbola, "Menerapkan profesionalitas" adalah langkah awal untuk meraih prestasi baik itu bagi pemain, tim maupun federasi.

Lalu bagaimana persepakbolaan kita mampu berprestasi jika hal-hal esensial yang menyangkut ke-profesionalitasan seperti pemenuhan gaji ini tidak diletakkan sebagai permasalahan yang krusial ?


Selesai .....















Tidak ada komentar:

Posting Komentar