Jumat, 27 Juli 2018

MENGAPA MENTERI NYALEG ?


Pendaftaran calon legislatif untuk pemilu legislatif 2019 telah resmi di tutup pada 17 juli lalu, total ada sebanyak 8370 calon legislatif dari 20 partai yang akan bertarung untuk memperebutkan kursi di di parlemen.

Uniknya dari 8370 calon legislatif tersebut, ternyata ada 7 menteri kabinet kerja pemerintahan Presiden Jokowi yang ikut ambil bagian sebagai calon legislatif dalam kontestasi pemilu legislatif 2019 mendatang.

7 menteri tersebut adalah Puan Maharani ( Menteri Koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Jawa Tengah 5, Yasonna Laoly ( Menteri Hukum dan HAM ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Sumatera Utara 2, Hanif Dhakiri ( Menteri Ketenagakerjaan ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Depok, Imam Nahrawi ( Menteri Pemuda dan Olahraga ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Jakarta Timur, Eko Putro Sandjojo ( Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Bengkulu, Lukman Hakim Saifuddin ( Menteri Agama ) yang akan bertarung di daearah pemilihan Jawa Barat 4, Asman Abnur ( Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ) yang akan bertarung di daerah pemilihan Kepulauan Riau.

Kemudian yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa ketujuh Menteri tersebut berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2019 mendatang padahal saat ini menjabat menteri ? dan apakah seharusnya mereka harus mundur sebagai Menteri ketika menjadi calon legislatif ?.

Ada 3 alasan yang menurut perspektif saya menjadi alasan kuat mengapa ketujuh menteri tersebut ikut berpartisipasi sebagai calon legislatif pada pemilu legislatif 2019 mendatang, pertama, karena mereka takut tidak akan terpilih kembali sebagai Menteri pada pemerintahan presiden terpilih 2019 mendatang, dan untuk mengantisipasi hal tersebut  ( agar tidak nganggur ) mereka pun memutuskan maju dalam pemilu legislatif, sehingga meskipun pada akhirnya mereka tidak terpilih kembali sebagai Menteri ( lingkup kekuasaan eksekutif ) toh mereka masih berada dalam lingkup kekuasaan yakni kekuasaan legislatif jika terpilih.

Alasan kedua, yakni untuk mendongkrak perolehan suara atau vote getter, tak dapat dipungkiri menjabat sebagai Menteri tentunya menjadi previlage tersendiri sebagai modal untuk mendongkrak perolehan suara, terutama bagi Menteri yang memiliki kinerja bagus selama pemerintahan ini, hal ini pun dimanfaatkan oleh partai politik untuk menugaskan para kadernya yang duduk sebagai Menteri agar ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif, hal ini dapat dipahami karena partai politik itu sendiri ingin mengamankan parliamentary threeshold sebanyaki 4 % dari suara sah nasional sebagai modal untuk ikut serta dalam penentuan kursi di parlemen, dengan jumlah parpol yang bertambah dari 15 menjadi 20 dan juga angka parliamentary threeshold yang naik dari 2,5 % menjadi 4 % tentunya pertarungan pada pemilu legislatif mendatang akan semakin sengit, oleh karenanya para menteri ini diharapkan dapat mendongkrak suara parpol pengusung dalam pemilu legislatif mendatang.

Alasan ketiga, yakni beban kerja yang lebih ringan, tak bisa dipungkiri menjabat sebagai menteri tentunya memiliki beban kerja yang sangat berat, yaitu untuk mencapai target dan sasaran yang ingin dicapai oleh presiden sesuai bidang yang menjadi tanggungjawabnya, kinerja Menteri akan selalu disorot ketat oleh Presiden dan tentunya juga oleh rakyat, sedangkan jika ia menjadi anggota legislatif memang ia akan tetap di sorot oleh rakyat namun hal itu bersifat kolektif atau kelembagaan bukan individu, misalnya jika seorang anggota DPR memiliki kinerja buruk dan sering bolos rapat maka publik akan berkata "DPR memang sukanya makan gaji buta" bukan menyebut individu, namun jika seorang Menteri memiliki kinerja buruk maka segala penjuru akan menghantamnya secara personal.

Tanggungwab jabatan Menteri adalah tanggungjawab pribadi si Menteri itu sendiri karena segala tugas dan wewenang dilaksanakan oleh satu orang yaitu Menteri itu sendiri sedangkan tanggungjawab menjadi anggota legislatif adalah kolektif artinya tugas dan wewenang yang ada dipikul secara kolektif bukan individu, oleh karena itu dapat dipastikan bahwa beban kerja sebagai Menteri memang lebih berat dari pada anggota legislatif, selain itu dari tingkat kesejahteraan, menjadi anggota legislatif juga lebih baik dari pada Menteri, berdasarkan surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2015 para anggota DPR mendapatkan gaji sebesar 76 juta per bulan bahkan menurut Mahfud MD ketika dia menjabat anggota DPR pada tahun 2004 dalam sebulan ia bisa mendapatkan pendapatan tak kurang dari 150 juta selanjutnya menurut Mahfud MD anggota DPR saat ini tentunya bisa mendapatkan pendapatan kurang lebih 200 juta perbulan, di sisi lain gaji sebagai Menteri Dikutip dari postkotanews.com dalam sebulan para Menteri hanya mendapatkan pendapatan kurang lebih sebesar 18 juta rupiah diluar anggaran operasional sebesar 120 - 150 juta rupiah.

Faktor beban kerja dan tingkat kesejahteraan di sinyalir membuat para Menteri yang ada saat ini tertarik untuk menjadi anggota legislatif meskipun juga saya yakin mereka tidak mungkin menolak jika ditunjuk kembali menjadi Menteri nantinya.

Lalu pertanyaan berikutnya apakah seorang Menteri harus mundur ketika menjadi calon legislatif ? di tinjau dari sudut hukum baik dalam UU Kementrian Negara, UU Pemilu dan juga Peraturan KPU memang tidak ada aturan mengatur bahwa seorang Menteri harus mundur ketika maju menjadi calon legislatif, hanya saja menurut pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ( UU pemilu ) Menteri yang maju menjadi calon legislatif hanya wajib cuti jika ingin berkampanye di hari kerja, jika tidak berkampanya di hari kerja maka Menteri tetap bekerja dan menjalankan tugasnya sebagai pembantu Presiden.

Selain itu, menurut ketentuan pasal 281 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Menteri yang menjadi calon legislatif juga dilarang menggunakan fasilitas negara saat berkampanye kecuali fasilitas pengamanan yang melekat.

Jika ditinjau dari sudut hukum okelah memang seorang Menteri tidak harus mundur ketika maju sebagai calon legislatif, akan tetapi jika ditinjau dari segi etika dan kepatutan maka hal ini bisa menjadi masalah karena hal ini berpotensi besar dapat melahirkan problematika, problematika yang pertama adalah kinerja yang kurang maksimal dari Menteri tersebut sebagai pembantu Presiden, fokus mereka akan terpecah antara fokus dan tugas sebagai seorang Menteri dan juga fokus sebagai calon legislatif agar terpilih pada pileg mendatang, sehingga hal ini akan dapat berdampak pada stabilitas dan kinerja yang kurang optimal dari pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, idealnya memang Presiden Jokowi harus mengambil langkah untuk mengganti para menterinya yang maju sebagai calon legislatif dengan orang-orang baru yang profesional, berkompeten dan juga fokusnya tidak terbelah sehingga program dan rencana kerja pemerintahan Jokowi tetap dapat dilaksanakan secara optimal.

Namun akan terlihat lebih bijaksana lagi apabila Menteri yang bersangkutan yakni Menteri yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif dengan ringan hati rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri agar lebih fokus dalam pemenangan kontestasi pileg.

Problematika kedua adalah potensi penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, tidak dapat dipungkiri bahwa potensi penggunaan fasilitas negara untuk kampanye para menteri yang maju sebagai calon legislatif sangatlah terbuka lebar baik secara terselubung maupun tidak terselubung,  secara terselubung misalnya para Menteri mengunjungi daerah pemilihannya dengan menggunakan fasilitas negara namun dengan embel-embel kunjungan kerja sebagai Menteri, secara tidak terselubung misalnya Menteri tersebut memang cuti saat kampanye sebagai calon legislatif namun dalam kampanye tersebut para Menteri itu tetap menggunakan fasilitas negara seperti mobil, uang, rumah dll, hal-hal seperti sangat rawan terjadi, oleh karenanya Badan Pengawas Pemilu dan juga masyarakat harus berperan aktif untuk mengawasi para Menteri yang maju menjadi calon legislatif apakah dalam berkampanye menggunakan fasilitas negara atau tidak, bagi Menteri yang terbukti menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye dapat dijatuhi sanksi administratif hingga sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan terkait.

Maka dari itu kedepan hendaknya dibuat peraturan yang mengatur bahwa Menteri yang maju menjadi calon legislatif harus mundur dari jabatan sebagai Menteri, artinya kedepan diperlukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait seperti UU Pemilu atau UU Kementrian Negara agar Menteri yang maju sebagai calon legislatif harus mundur dari jabatan Menteri sehingga tidak berpotensi menghadirkan problematika sendiri seperti kurang optimalnya kinerja pemerintahan dan juga potensi penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye atau politik praktis.

Revisi tersebut penting untuk merubah paradigma secara formal legalistik sehingga lebih kuat secara praktis untuk dipatuhi, karena jika hal tersebut tidak diatur secara tertulis atau di norma kan dalam Undang-Undang tentunya hal-hal seperti itu tidak akan terlalu diperhatikan atau dipatuhi sebagaimana yang terjadi saat ini.


Selesaii .....









Tidak ada komentar:

Posting Komentar