Sebelum berlangsung debat calon
presiden dan calon wakil presiden edisi pertama 17 Januari lalu, saya
membayangkan akan tersaji sebuah debat yang substansial dan mencerdaskan, dimana tersaji adu gagasan, visi, misi, dan solusi secara lebih tajam dan konkret
khususnya terkait bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme yang menjadi tema debat
edisi pertama tersebut.
Sebelum debat berlangsung, saya membayangkan
berjalannya debat ibarat pertandingan sepak bola antara Barcelona vs Real
Madrid, Persija vs Persib, atau Persebaya vs Arema yang pasti menyajikan
pertandingan nan menghibur dan bercita rasa tinggi, namun ternyata ekspektasi
saya jauh panggang dari api, berlangsungnya debat justru “Maaf” ibarat
pertandingan liga 3 atau bahkan tarkam yang hambar dan tidak menarik untuk
ditonton.
Debat malam itu antara Joko
Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak menghasilkan apa-apa,
miskin substansi, dan hanya menghasilkan saling klaim menang debat antara kedua
pendukung pasangan calon.
Cukup menggelikan memang melihat respon para
pendukung kedua pasangan calon yang saling klaim menang debat, memangnya ini
kompetisi debat yang tujuannya mencari menang ? memangnya ini lomba debat
mahasiswa ?, bukan bapak-ibuk sekalian, debat ini bukan kompetisi untuk mencari
menang namun sarana bagi publik untuk menghetahui bagaimana kapasitas dan
kapabilitas calon presiden dan calon wakil presiden rakyat Indonesia pada pemilu 2019 ini,
yang dapat dilihat melalui gagasan, visi, misi, dan solusi-solusi yang
ditawarkan.
Menurut saya, debat edisi pertama
tersebut kurang tepat rasanya kalau digunakan terminologi “Debat”, saya rasa akan
lebih tepat jika digunakan terminologi “Tanya jawab”, mengingat berlangsungnya
debat datar-datar saja, hambar, dan tidak menghasilkan suatu wacana dan narasi yang
konstruktif dimana tersaji saling serang dan saling tangkis terkait
permasalahan yang menjadi substansi tema debat.
Sejujurnya, kehambaran debat edisi pertama
ini tidak semata-mata salah kedua pasangan calon, tetapi juga turut andil dari
kualitas dan bobot pertanyaan yang menurut saya terlalu umum dan kurang konkret,
misalnya pertanyaan tentang tumpang tindih aturan hukum dan tentang pembenahan
birokrasi, pertanyaan tersebut saya kira masih terlalu generik.
Bagaimana jika pertanyaan tersebut
diganti dengan pertanyaan “Apa langkah konkret anda jika terpilih nanti, untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum terselesaikan”
Pertanyaan tersebut saya kira lebih konkret dan mengena terhadap substansi tema
debat, namun sayangnya pertanyaan semacam itu tidak ada dalam debat malam itu.
Disatu sisi, Jokowi dan Prabowo pun
terkesan main aman untuk menutupi kelemahan mereka dengan tidak menyinggung
kelemahan pihak lawan, Jokowi tidak menyinggung tentang pelanggaran HAM tahun
1998, sebaliknya Prabowo juga tidak menyinggung mengenai kasus Novel Baswedan
yang terkesan dibiarkan oleh negara. Faktor ini turut berkontribusi membuat nuansa hambar pada debat malam itu.
Oleh karenanya, debat edisi pertama
ini harus menjadi bahan evaluasi dan concern
KPU guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan debat pada empat edisi debat
selanjutnya, KPU harus mampu mengkonstruksi debat ini menjadi sarana yang dapat
menunjukkan sejauh mana kapasitas dan kapabilitas kedua pasangan calon untuk
menjadi pemimpin negara ini 5 tahun kedepan.
Melihat debat edisi pertama ini, saya
yakin para swing voters yang menurut
survey Indikator Politik Indonesia berada diangka 25 % masih belum akan
menentukan pilihan, mengingat debat edisi pertama lalu tidak menunjukkan
genuie kualitas dan kapasitas kedua pasangan calon.
Di satu sisi, menyikapi debat edisi
pertama ini, saya pun berharap kepada kedua pasangan calon agar mampu menggunakan wahana debat pada edisi-edisi selanjutnya untuk mengkonstruksi tigal hal fundamental kepemimpinan bangsa, yang menurut Soekarno disebut sebagai trilogi daya cinta kepemimpinan, yakni: 1. Pemimpin harus mampu membuat rakyat mengenal dan menghetahui arah perjuangan dan tujuan yang hendak dituju, 2. Pemimpin harus mampu membangkitkan keyakinan kepada rakyat jika mereka mampu untuk mencapai tujuan itu, 3. Pemimpin harus mampu mendorong rakyat untuk bertindak konstruktif guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Trilogi daya cinta kepemimpinan tersebut harus mampu diejawantahkan oleh kedua pasangan calon pada debat-debat selanjutnya, karena pada intinya, debat harus menjadi wahana yang membuat rakyat mengetahui arah perjuangan dan tujuan yang ingin dicapai oleh seorang pemimpin, debat harus menjadi sarana yang membangkitkan keyakinan rakyat akan tercapainya sebuah tujuan, dan debat harus menjadi ajang yang dapat menggugah partisipasi rakyat dalam pembangunan negara (termasuk partisipasi pemilu)
Jika kedua pasangan calon dapat mengkonstruksi tiga hal fundamental kepemimpinan bangsa tersebut ke dalam narasi debat, maka saya yakin rakyat Indonesia akan antusias, bergelora dan responsif dalam menyambut penyelenggaraan pemilu 2019 ini. Hal ini tentu akan berimplikasi kepada menurunnya angka golput secara signifikan.
Pada akhirnya, saya berharap bahwa debat-debat edisi selanjutnya tidak boleh hambar dan miskin
substansi seperti halnya pada debat edisi pertama lalu, empat sesi debat kedepan harus tajam dan substantif serta mampu mengejawantahkan trilogi daya cinta kepemimpinan.
Debat kedepan juga jangan lagi dipenuhi saling klaim menang debat, karena debat ini bukan tentang dan untuk menang-kalah, bukan, debat ini adalah untuk rakyat, untuk rakyat guna
menilai dan menyakinkan pilihannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar