Senin, 21 Januari 2019

KORUPSI SEBAGAI PROBLEMATIKA SOSIAL INTERDISIPLINER



Pendekatan Sistem

Di awal artikel ini saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa saya adalah seseorang yang memiliki pandangan dan paradigma berpikir interdisipliner, holistik dan integralistik dalam menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. 

Pandangan dan paradigma berpikir tersebut membuat saya tak pernah menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial secara monodisipliner dan parsial (satu pendekatan), sebaliknya saya selalu menyikapi dan menelaah suatu permasalahan sosial dengan pendekatan sistem (multifact),  baik secara makro sistem maupun secara mikro sistem, baik secara represif maupun preventif, baik upaya jangka pendek maupun jangka panjang, yang semuanya itu harus dilakukan secara integral dengan nafas sinergitas kolektif.

Saya meyakini bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial sebagaimana diungkapkan oleh Tallcot Parson dalam teori struktural fungsional, yang melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa sub-sub sistem yang memiliki fungsi-fungsi tertentu untuk mendukung bekerjanya sistem guna terciptanya stabilitas. Sub-sub sistem tersebut meliputi sub-sistem ekonomi, sub-sistem budaya, sub-sistem sosial, dan sub -sistem politik. Sub-sub sistem ini adalah sebuah kesatuan sistem yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing, dimana peran dan fungsi masing-masing sub-sistem akan mempengaruhi bekerjanya sistem maupun bekerjanya sub-sistem yang lain.

Misalnya saat sub-sistem budaya tidak mampu bekerja secara optimal, dalam arti nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang negatif, tentu hal ini juga akan berimbas buruk bagi bekerjanya sub-sistem sosial, sub-sistem politik, sub-sistem ekonomi maupun bekerjanya sistem secara keseluruhan. Dan Fenomena ini akan selalu memiliki efek respirokal dan interdependen.

Sehingga dalam pandangan dan paradigma berpikir saya, suatu permasalahan sosial baik itu permasalahan ekonomi, permasalahan hukum, permasalahan politik, permasalahan budaya dan lain sebagainya itu pada hakikatnya adalah efek ekskresi dari tidak optimalnya peran dan fungsi sub-sub sistem sosial dalam mendukung kinerja sistem sosial. Sehingga dalam menelaah dan menyelesaikannya harus dilakukan melalui pendekatan sistem yakni secara interdisipliner, holistik dan integralistik guna mendapatkan hasil yang maksimal.

Korupsi

Korupsi secara etimologis berasal dari kata Coruptio yang memiliki arti kotor, busuk, dan merugikan. Sehingga dalam pengertian harfiah, perilaku-perilaku yang bersifat kotor, busuk, dan merugikan termasuk kategori perilaku korupsi. 

Namun dalam pengertian formal yakni hukum pidana, pengertian korupsi telah diatur secara letterlijk dan limitatif dalam UU Tipikor yakni UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 21 Tahun 2000, dimana secara umum membagi tindak pidana korupsi menjadi 7 jenis pengertian, 1. Korupsi merugikan keuangan negara, 2.  Korupsi penggelapan dalam jabatan, 3. Korupsi suap, 4. Korupsi pemerasan, 5. Korupsi benturan kepentingan dalam pengadaan, 6. Korupsi perbuatan curang, dan 7. Korupsi gratifikasi.

Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang membagi jenis korupsi menjadi dua, yakni korupsi konvensional dan korupsi non konvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti formal, yaitu perilaku-perilaku yang dirumuskan dalam UU sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan korupsi non konvensional adalah perilaku-perilaku yang tidak dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU namun memiliki ekses terhadap sifat koruptif misalnya plagiarisme, ketidakjujuran, kesombongan sebagai pejabat, hedonisme dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa korupsi non konvensional adalah bibit bagi tumbuhnya korupsi konvensional dikemudian hari.

Sejurus dengan hal itu, maka segala jenis korupsi baik korupsi konvensional maupun korupsi non konvensional merupakan penyakit bangsa yang harus dicegah dan dibasmi agar tidak semakin menggerogoti kehidupan bangsa dan negara yang masih dalam tahap membangun ini. Korupsi jangan diberikan ruang sedikitpun untuk berkembang mengingat korupsi adalah virus kotor yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembangunan bangsa ini dalam segala aspek dan bidang kehidupan.

Korupsi sebagaimana diungkapkan oleh Syed Husein Alatas dalam bukunya “The Sociology of Corruption”  tahun 1968, pada awalnya masih dalam pola sporadis (relatively testricted), kemudian korupsi mulai merebak dan meluas (rampant and all-pervading), dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri (self-destructed).

Dalam bahasa Satjipto Rahardjo pada bukunya “Penegakan Hukum Progresif” korupsi dalam personifikasi koruptor ibarat sebuah parasit yang menghisap pohon hingga menyebabkan pohon itu mati, dan ketika pohon itu mati maka parasit (koruptor) itupun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang dihisap.

Kedua pengertian tersebut dapat diejawantahkan bahwa korupsi adalah sebuah penyakit yang menggerogoti kehidupan suatu bangsa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari bangsa tersebut (koruptor), yang pada awalnya bersifat sporadis, kemudian meluas hingga akhirnya membunuh bangsa beserta para koruptor itu sendiri.

Di Indonesia, perkembangan korupsi  juga memiliki alur yang mirip dengan apa yang disampaikan Syed Husein Alatas diatas, dahaulu sebelum era reformasi, korupsi masih bersifat sporadis dan sentralistik, namun setelah reformasi yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah, maka korupsi pun menjadi meluas dan sistematis. Korupsi kini terjadi disegala lini kehidupan bernegara baik di pusat maupun didaerah, baik dilakukan oleh eksekutif, legislatif hingga yudikatif.

Saat ini tidak ada lembaga negara trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang benar-benar bersih dari korupsi. Dari kepala daerah, menteri, anggota DPR, anggota DPRD, hingga hakim tidak ada yang benar-benar bersih dari korupsi, jabatan-jabatan tersebut masing-masing menyumbangkan kadernya kedalam hotel prodeo.

Jika mengacu kepada alur korupsi yang diungkapkan oleh Syed Husein Alatas diatas, maka negara kita kini tengah dibayangi ancaman kehancuran karena korupsi. Lahirnya KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi pada 2003 silam cukup memberikan angin segar bagi penegakan hukum korupsi di negeri ini, namun itu saja tidak cukup, untuk membasmi korupsi hingga ke akar-akarnya, kita membutuhkan suatu pendekatan yang bersifat interdisipliner, holistik, dan dilakukan secara integralistik kolektif. Karena korupsi bukan sekadar permasalahan hukum namun problematika sosial yang kompleks dan interdisipliner.

Mikro Sistem

Secara mikro sistem, permasalahan korupsi saya pandang sebagai sebuah permasalahan sistem hukum, maka dari itu, untuk mengatasinya juga dengan pendekatan sistem hukum, menurut Lawrence Friedman sistem hukum sendiri terdiri atas 3 komponen sub-sistem yaitu substansi hukum (aturan), struktur hukum (kelembagaan dan penegakan), dan budaya hukum (cultur)

Menurut Lawrence Friedman, suatu penegakan hukum akan dapat berjalan efektif untuk menekan kejahatan apabila sistem hukum dapat berjalan optimal, sistem hukum sendiri menurut Lawrence Friedman terdiri atas 3 komponen sub-sistem yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Lawrence Friedman ingin mengatakan bahwa suatu penegakan hukum akan efektif apabila substansi hukumnya baik, penegakan hukumnya baik, dan budaya hukumnya juga baik, jika adalah salah satu, salah dua, atau bahkan ketiganya tidak baik, maka penegakan hukum disebuah negara niscaya tidak akan berjalan optimal sebagaimana mestinya.

Maka dari itu, untuk membasmi korupsi dalam pendekatan mikro sistem yakni sistem hukum, ketiga komponen diatas yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum harus berada dalam kondisi yang baik. Lalu bagaimana realitas ketiga komponen sistem hukum tersebut dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi di negeri ini ?

Pertama, dari sudut substansi hukum, sebenarnya tidak ada masalah yang cukup fundamental disini, mengingat produk peraturan perundang-undangan yang ada saat ini saya kira sudah cukup baik guna menunjang pemberantasan korupsi, meskipun masih ada beberapa kekurangan terkait dengan semangat pemberantasan korupsi, contohnya masih diberikannya hak remisi terhadap para koruptor, kemudian masih diberikannya hak kepada para mantan napi koruptor untuk ikut berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan legislatif adalah beberapa contoh masih belum optimalnya substansi hukum guna menunjang pemberantasan korupsi.

(Catatan: putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 memutuskan mantan narapidana kasus korupsi boleh ikut pilkada dengan beberapa syarat)

Sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi seharusnya juga dilakukan secara luar biasa, pencabutan hak remisi dan hak partisipasi politik sebagai kontestan pileg bukanlah pelanggaran HAM (meskipun nanti diuji konstitusionalitasnya oleh MK), namun sebagai bagian dari upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi, dan hal itu mendapat legitimasi yuridis-konstitusionalnya dalam pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 

Namun secara umum, substansi hukum guna mendukung pemberantasan korupsi saya kira sudah cukup baik, masukan saya, kedepan politik hukum pemberantasan korupsi kiranya perlu mengakomodir kedua hal yang saya sampaikan diatas yakni pencabutan hak remisi bagi terpidana korupsi dan pencabutan hak politik mantan napi korupsi guna berpartisipasi dalam kontestasi pileg yang semata-mata bertujuan untuk lebih mendukung ghiroh pemberantasan korupsi.

Bagi saya, problematika pemberantasan korupsi terbesar dalam perspektif sistem hukum adalah pada struktur hukum dan budaya hukum, baik budaya hukum masyarakat maupun budaya hukum para penegak hukum.

Dalam lingkup struktur hukum yakni proses penegakan hukum saya melihat tidak memperlihatkan suatu semangat nyata dalam pemberantasan korupsi, satu indikator sahihnya adalah dari penjatuhan putusan hakim atau vonis pengadilan yang rata-rata terbilang rendah bagi para koruptor. 

Misalnya dalam konteks korupsi kepala daerah, ICW pada 2018 lalu memberikan data bahwa penjatuhan hukuman terhadap para kepala daerah yang korupi rata-rata masih cukup rendah, yakni 6 tahun 4 bulan penjara, menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, angka hukuman tersebut dinilai masih ringan dan tidak memberian efek jera.

Bahkan data penelitian ICW pada tahun 2017 lalu, menunjukkan bahwa vonis hukuman bagi para koruptor ditingkat pengadilan rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan penjara saja. Hal ini sungguh membuat kita miris, terlepas bahwa putusan hakim adalah hak prerogratif hakim yang tidak boleh diintervensi, namun kalau vonisnya rata-rata rendah, tentu hal ini berimplikasi buruk bagi semangat dan upaya pemberantasan korupsi. 

Hal ini tentunya harus menjadi concern kita bersama, kedepan pengawasan baik secara internal maupun eksternal kepada penegak hukum harus diperkuat, baik lembaga pengawas internal, eksternal, akademisi, NGO hingga masyarakat harus bersatu padu guna mendukung akuntabilitas penegakan hukum, independensi harus dilandasi akuntabilitas sehingga kualitas penegakan hukum khususnya terkait pemberantasan korupsi dapat berjalan optimal. 

Dan yang tak kalah penting posisi KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi kedepan harus diperkuat baik dari segi sarana-prasarana, anggaran, dan legalitas, ketiga komponen ini menurut saja menjadi kunci tegaknya KPK sebagai lembaga independen, sehingga dapat maksimal dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi.

Kemudian dari sudut budaya hukum, saya kira masyarakat kita secara umum belum memiliki budaya hukum yang baik, contohnya ketika ada kontestasi politik baik ditingkat pilkades, pilkada hingga pileg, maka praktik politik uang menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat, bahkan masyarakat memiliki pandangan “Sing ngekei duit akeh iku sing tak pilih” hal ini tentunya menjadi budaya buruk ditengah hiruk pikuk pemberantasan korupsi, karena dengan memilih pemimpin yang tidak jujur (melakukan politik uang), maka dapat dipastikan pemimpin itu akan melakukan korupsi ketika berkuasa nanti tidak mungkin tidak.

Solusi untuk mengatasi budaya hukum masyarakat kita diatas tentu tidak bisa dilakukan dengan cara sederhana dan instan, namun dibutuhkan suatu pendekatan secara holistik dan berkesinambungan dalam berbagai bidang, baik pendidikan, ekonomi, hukum, sosial, politik dll, yang semua itu membutuhkan peran kolektif dan sinergitas antara beberapa pihak, baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh sosial, partai politik, elit politik, institusi pendidikan dan lain sebagainya.

Dan jika tarik secara lebih konkret dan sederhana, maka upaya efektif untuk meningkatkan kualitas budaya hukum masyarakat adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat misalnya dengan membuat gerakan anti korupsi, gerakan anti politik uang dll, yang bisa di inisiasi oleh tokoh sosial, lembaga swadaya masyarakat, karang taruna hingga mahasiswa.

Selanjutnya dalam konteks budaya hukum aparat penegak hukum juga belum menunjukkan kondisi yang memuaskan, aparat penegak hukum kita justru seringkali terlibat korupsi, misalnya sekitar bulan agustus tahun lalu, OTT KPK berhasil menjaring sejumlah hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Medan karena kasus suap, dengan kondisi demikian, bagaimana bisa kita harapkan suatu proses hukum dapat memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, jika penegak hukumnya saja kotor. 

Kotornya dunia penegakan hukum kita memang ibarat fenomena gunung es, yang sejujurnya banyak namun yang nampak ke permukaan publik hanya sebagian kecil saja, cobalah anda tanya kepada seorang advokat mengenai kondisi praktik peradilan di negeri ini, saya yakin advokat tersebut akan menjawab hmmm “reget” alias kotor. 

Maka dari itu, kedepan budaya hukum para aparat penegak hukum baik dari hulu hingga hilir, baik kepolisian, KPK, kejaksaan, pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan harus diperbaiki secara holistik baik dari pola rekrutmen anggota, birokratisasi tugas, pengawasan baik internal dan eksternal, sarana-prasarana, hingga kesejahteraannya harus diperhatikan secara simultan agar budaya-budaya hukum yang kotor itu bisa tereduksi secara optimal. 

Sehingga dalam perspektif mikro sistem, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan upaya pembangunan dan penguatan sistem hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum yang harus dilakukan secara interdisipliner, holistik, berkesinambungan, integral dan dilandasi semangat sinergitas kolektif antar beberapa stakeholders.

Makro Sistem

Secara makro sistem, saya memandang korupsi sebagai suatu permasalahan sistem sosial, bukan sekedar permasalahan hukum semata, karena merupakan permasalahan sistem sosial,  maka pendekatan untuk menyelesaikannya harus dengan pendekatan interdisipliner yang mencakup penguatan sub-sub sistem sosial, baik sub-sistem budaya, sub-sistem politik, sub-sistem sosial (meliputi hukum, moral, pendidikan dll), dan sub-sistem ekonomi.

Secara makro, korupsi tidak akan bisa diberantas secara optimal hanya dengan pendekatan hukum saja, mengingat hukum juga memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah berujar “janganlah kamu bergantung pada hukum untuk menyelesaikan segala permasalahan mengingat hukum saja tidak bisa memenuhi otoritasnya sendiri, dibutuhkan pembangunan dibidang-bidang lain seperti ekonomi, budaya, sosial dan politik guna mengatasi permasalahan secara lebih komprehensif".

Dari sini dapat kita pahami bahwa untuk memberantas korupsi secara optimal, maka dibutuhkan pembangunan dan penguatan pada bidang-bidang lainnya baik itu bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya dan bidang politik. Tanpa pembangunan dan penguatan pada bidang-bidang tersebut, niscaya korupsi akan selalu tumbuh dengan subur.

Misalnya selama bidang politik kita masih kotor dan penuh intrik negatif seperti politik uang dan mahar politik dll, maka bibit-bibit korupsi akan selalu tumbuh subur dalam negara ini, misalnya lagi, selama budaya dalam masyarakat masih dikanalisasi oleh nilai-nilai yang negatif seperti budaya suap, budaya nyogok dll, maka tentu korupsi juga akan selalu tumbuh dengan subur.

Dalam bidang politik tentu partai politik yang dipersonifikasi oleh ketua partai beserta elite politik memiliki peranan penting guna menekan praktik korupsi, mengingat dinamika dan keputusan politik ditentukan oleh mereka. Hemat saya, seorang ketua partai politik dan para elite haruslah sosok negarawan, sosok yang mampu mengejawantahkan politik sebagai sarana pengabdian untuk berkontribusi bagi bangsa. Jika partai poltik memiliki sosok ketua atau elite partai seperti demikian, maka sistem internal dan kebijakan yang dikeluarkan oleh partai politik tersebut pasti akan selalu menganut prinsip nihilisme terhadap praktik korupsi seperti tidak melakukan politik uang, tidak melakukan mahar politik, tidak mencalonkan bekas koruptor, dan memperkuat sistem pemberantasan korupsi melalui sarana legislasi.

Dalam bidang sosial dan budaya tentu pemerintah bersama DPR memiliki peran penting guna meningkatkan kualitas kehidupan baik secara moral maupun materil melalui peningkatan mutu pendidikan bagi generasi muda dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat secara merata yang tujuannya agar kesadaran untuk melawan benih-benih korupsi meningkat. Di bidang ekonomi juga demikian, pemerintah dan pemerintah daerah beserta para pelaku ekonomi hendaknya memiliki idealisme untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi, birokratisasi dan perizinan harus dipermudah dan dijauhkan dari praktik-praktik kotor korupsi.

Sejalan dengan hal diatas, maka, dibutuhkan pembangunan dan penguatan sistem sosial secara menyeluruh dan berkesinambungan guna menunjang efektivitas pemberantasan korupsi. Pembangunan dan penguatan bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial memang tidak bisa dilakukan dengan mudah dan instan, dibutuhkan waktu nan panjang dan upaya holistik serta semangat kolektivitas sinergis antara para stakeholders terkait, inilah yang tidak mudah, bagaimana menyatukan visi dan ghiroh pemberantasan korupsi dalam semua bidang kehidupan bernegara, dan hal ini salah satunya dapat terwujud jika ada pemimpin negara yang visioner, progresif, berintegritas, independen dan zero tolerance terhadap korupsi dan segala manifestasinya.

Pada akhirnya, harus kita sadari bahwa korupsi adalah musuh kita bersama, korupsi adalah parasit yang menggerogoti bangsa ini menuju kehancuran. Korupsi adalah problematika sosial interdisipliner yang lahir dan meliputi segala bidang-bidang kehidupan negara, maka dari itu, untuk memberantasnya hingga titik maksimal dibutuhkan pendekatan interdisipliner pula baik secara makro (sistem sosial secara luas) maupun secara mikro (sistem hukum), baik secara represif (penegakan hukum) maupun secara preventif (pencegahan), baik upaya jangka pendek (supremasi hukum) maupun upaya jangka panjang (pendidikan, kesejahteraan, moral) yang kesemuanya itu harus dilakukan secara integral, berkesinambungan dan dilandasi dengan nafas dan semangat sinergitas kolektif oleh semua komponen bangsa.

Hanya dengan upaya seperti itulah, kita memiliki optimisme untuk melihat Indonesia tumbuh menjadi negara maju dan berdaulat penuh kedepan.

Musuh terbesar kita bukanlah bangsa lain, bukan. Musuh terbesar kita adalah korupsi, iya musuh terbesar kita adalah korupsi. Mengapa korupsi ? karena korupsi bisa membunuh dan melumpuhkan semua bidang kehidupan negara. Mari bersinergi !!

SELESAI .....






Tidak ada komentar:

Posting Komentar