Hukum adalah cerminan jiwa bangsa “Volksgeist” yang bersumber dari adat istiadat serta nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu kelompok bangsa, oleh karena itu, tiap-tiap bangsa akan
memiliki jiwanya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda dengan bangsa yang
lain, perbedaan “Volksgeist” inilah
yang idealnya berimplikasi pada perbedaan cara berhukum suatu bangsa dengan
cara berhukum bangsa yang lain, sebuah bangsa A yang memiliki jiwa bangsa B
tidak mungkin cocok manakala harus mengikuti cara berhukum bangsa lain yang
memiliki jiwa bangsa D, begitulah kata Friedrich Karl Von Savigny seorang ahli
sejarah hukum asal Jerman.
Karl Von Savigny menambahkan bahwa hukum itu pada hakikatnya
tidak diciptakan, namun ia lahir dan tumbuh bersama masyarakat, berkembang
bersama masyarakat, dan binasa manakala masyarakat telah kehilangan
kepribadiaannya. Menurut Savigny hukum bukanlah formalitas peraturan
perundang-undangan melainkan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh
masyarakat dalam sebuah bangsa, itulah yang dinamakan jiwa bangsa “Volksgeist” yang memiliki ciri khasnya
tersendiri dan menjadi serat pembeda antara satu bangsa dengan bangsa yang
lain.
Robert B. Seidman dalam penelitiannya pada tahun 1972
berhasil mengajukan sebuah dalil yang berbunyi the law of
non-transferabillity of law yang pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum
suatu bangsa tidak bisa serta merta diambil begitu saja oleh bangsa lain, mengingat
terdapat nilai-nilai sosio-kultural, struktur sosial dan historis-politis yang
berbeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Menurut Bryan Z. Tamanaha, hukum dan masyarakat memiliki
ikatan keterkaitan yang sangat erat, menurutnya, hukum dan masyarakat memiliki
bingkai hubungan yang dinamakan the
law-society framework dimana bingkai hubungan tersebut menghasilkan dua
hubungan konkret. Pertama, the mirror
theory, yang berarti hukum adalah cerminan masyarakat, disini hukum dipandang
sebagai pengejawantahan ekspresi dari nilai-nilai, tradisi, dan keyakinan yang
hidup dalam masyarakat, kemudian yang kedua, instrumentalis function, bahwa hukum itu berfungsi untuk menjaga dan
memelihara nilai-nilai, kebudayaan, ketertiban, dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Sehingga dapat dipahami bahwa idealnya hukum itu tidak bisa
dipisahkan dari basis sosial secara kontekstual yakni masyarakat, memisahkan
hukum dengan basis sosialnya, akan menjadikan hukum tidak memiliki daya keberlakuan
soziologische geltung (sosiologis)
dan filosofische geltung (filosofis). Akibatnya, hukum yang demikian hanya akan memiliki daya keberlakuan
yuridis atau jurisdische geltung
saja, yang kemudian membuat keberlakuan hukum terasa kaku, represif dan
cenderung tidak dapat memberikan keadilan substantif kepada masyarakat.
Mengapa Keadilan Susbtantif
di Indonesia Sulit Mawujud
Hukum hadir sebenarnya untuk siapa sih ? apakah untuk
manusia ? atau hukum hadir untuk dirinya sendiri ?, hukum itu untuk
menciptakan keadilan atau kepastian hukum ?, ontologis berpikir mengenai
hukum tersebut akan memiliki derivasi paradigma berpikir yang kompleks dalam
memahami dan memaknai hukum.
Bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk dirinya sendiri (otonom) dan menjamin kepastian hukum, maka hukum hanya dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic. Sebaliknya
bagi pihak yang memahami hukum hadir untuk manusia dan menciptakan keadilan,
maka hukum tidak sekadar dipandang sebagai peraturan formal yang rules dan logic, namun juga behaviour
yang kuyup dengan ide, rasa, nilai-nilai, dan kearifan lokal basis sosialnya.
Daniel S. Lev seorang professor ilmu politik dan seorang
indonesianis pernah berujar bahwa proses hukum di Indonesia hanya ditujukan
untuk mengejar nilai hukum procedural
yakni terpenuhinya ketentuan-ketentuan prosedural yang termaktub dalam peraturan
formal, bukan untuk mengejar nilai hukum substantif yang berkaitan dengan
asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber
didalam masyarakat khususnya terkait apa yang dianggap adil dan tidak oleh
masyarakat.
Padahal substansi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam setiap eranya, baik dari UU No 14 Tahun 1970, UU No 4 Tahun 2004 hingga yang terbaru UU No 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan bahwa penegak hukum dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hal ini mengindikasikan bahwa goals dari pada aktivitas berhukum kita adalah untuk mendapatkan nilai keadilan substantif bukan sekadar nilai keadilan formal-prosedural, namun dalam prakteknya, khususnya dalam hukum publik (pidana) hal demikian itu hanya nampak sekedar macan kertas.
Padahal substansi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam setiap eranya, baik dari UU No 14 Tahun 1970, UU No 4 Tahun 2004 hingga yang terbaru UU No 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan bahwa penegak hukum dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hal ini mengindikasikan bahwa goals dari pada aktivitas berhukum kita adalah untuk mendapatkan nilai keadilan substantif bukan sekadar nilai keadilan formal-prosedural, namun dalam prakteknya, khususnya dalam hukum publik (pidana) hal demikian itu hanya nampak sekedar macan kertas.
Menurut Prof. Suteki, bangsa Indonesia adalah bangsa
oriental yang memiliki adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme, yang berimplikasi pada
cara berpikir, berperilaku dan memahami sesuatu dengan mengutamakan rasa,
kolektivitas, dan makna yang kesemuanya itu tercakup dalam Pancasila sebagai
jiwa bangsa.
Modal sosial inilah yang seharusnya ditransplantasi ke dalam
cara berhukum di Indonesia, cara berhukum di Indonesia harus diletakkan guna
mencari keadilan substantif bukan keadilan formal-prosedural, keadilan substantif adalah keadilan
yang tidak dihasilkan dari sekadar penerapan ketentuan formal-prosedural namun keadilan yang
digali dari rasa dan hati nurani guna mewujudkan makna.
Namun dalam kenyataannya sebagaimana saya singgung diatas, cara berhukum di Indonesia justru lebih mengutamakan
nilai keadilan formal-prosedural dengan paradigma positivisme yang rules dan logic yang merupakan ciri khas bangsa barat, dalam perspektif
positivisme, hukum hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan dirinya
sendiri yang terpisah dengan basis sosialnya yakni masyarakat, dalam perspektif
positivisme hukum, cara untuk memperoleh keadilan adalah dengan cara menegakkan
hukum formal secara rigid.
Di satu sisi, produk-produk hukum peninggalan Belanda sendiri masih digunakan hingga saat ini dan hal itu berimplikasi kuat dalam mempengaruhi cara berhukum kita yang kaku dan formalistik.
Di satu sisi, produk-produk hukum peninggalan Belanda sendiri masih digunakan hingga saat ini dan hal itu berimplikasi kuat dalam mempengaruhi cara berhukum kita yang kaku dan formalistik.
Cara berhukum yang kaku dan mendewakan rules dan logic demikian akan
membuat hukum tampil sebagai mesin otomat yang kering dengan basis socio-legalnya. Cara berhukum yang
demikian itu cenderung hanya akan melahirkan keadilan formal-prosedural bukan
keadilan substantif, karena keadilan substantif sendiri tidak bisa
dipasung dalam pasal-pasal formal yang statis, melainkan berkembang dinamis dalam
kompleksitas kasuistis.
Masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental yang memiliki
adat budaya ketimuran dan kepribadian neo-mistisme
yang mengutamakan rasa, kolektivitas, dan makna sebagai pengejawantahan dari
Pancasila sebagai jiwa bangsa tidak akan cocok jika menggunakan cara
berhukum ala bangsa barat (positivisme hukum) yang begitu menonjolkan rules dan logic. Oleh karenanya, positivisme hukum yang menjadi paradigma
berhukum kita selama ini dalam prakteknya seringkali mencederai rasa keadilan
masyarakat dan membuat masyarakat Indonesia menggerutu seraya berkata “lho kok ngono gak adil iki”.
Beberapa kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat
misalnya perkara Lanjar Sriyanto, seorang petani miskin asal Karanganyar yang
diputus bersalah oleh Mahkamah Agung karena kelalaian berkendara yang
menyebabkan istrinya meninggal dunia, ia dihukum percobaan 2 bulan 14 hari
karena melanggar pasal 359 KUHP.
Lanjar Sriyanto yang sudah kehilangan istri tercintanya,
masih “terpaksa” mengikuti sejumlah prosedur hukum dari penyidikan, penuntutan,
persidangan di Pengadilan Negeri, persidangan banding di Pengadilan Tinggi,
hingga persidangan kasasi di Mahkamah Agung. Apakah itu adil ? seorang suami
yang telah kehilangan istrinya yang tentunya mengalami kesedihan mendalam,
masih harus menjalani prosedur hukum yang panjang nan menguras energi, apalagi
jika dikaitkan lebih jauh dengan kondisi anak Lanjar Sriyanto yang telah
kehilangan ibunya, lalu siapa yang mendidik dan memberi nafkah anak
Lanjar Sriyanto, jika Lanjar Sriyanto tengah menjalani prosedur hukum nan
panjang dan berbelit, hal ini tentunya menjadi peristiwa yang mencabik-cabik
rasa keadilan masyarakat.
Perkara Lanjar Sriyanto diatas hanya sebagaian kecil dari
banyak contoh kasus ketidakadilan hukum di negeri ini yang disebabkan karena hukum
difungsikan secara kaku, rules, dan logic, tanpa memperhatikan rasa dan
makna, seharusnya menegakkan hukum tidak sekadar menegakkan prosedur dan menerapkan
pasal-pasal formal melainkan juga memperhatikan tujuan filosofis dari aktivitas
penegakan hukum itu sendiri. Menegakkan hukum harusnya dipahami sebagai
aktivitas bringing to justice bukan
sekadar aktivitas formal-prosedural, sehingga ketika dalam penegakan hukum,
hukum yang ada terasa tidak adil, maka penegak hukum harus berani melakukan apa
yang dinamakan “rule breaking” atau penerobosan hukum untuk menghadirkan keadilan
hakiki (substantive justice).
Menurut Satjipto Rahardjo rule breaking digunakan dengan 3 cara. Pertama, mempergunakan kecerdasan
spiritual atau dalam bahasa Satjipto disebut mesu budi. Kedua, pencarian makna lebih dalam, dalam konteks
disiplin hermeneutika disebut sebagai verstahen
method. Ketiga, hukum hendaknya ditegakkan tidak berdasarkan prinsip logika
saja, melainkan dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan (comppasion) pada kaum yang lemah dan
marjinal.
Rule breaking dalam
pandangan saya sendiri memiliki dua segi. Pertama, segi positif, makna rule breaking adalah mencari keadilan
dengan jalan menemukan asumsi-asumsi fundamental didalam masyarakat dan hati
nurani mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil untuk diterapkan dalam
suatu kasus, sedangkan dari segi kedua yakni segi negatif, makna rule breaking adalah dengan jalan tidak
menegakkan hukum yang berlaku demi tegaknya keadilan substantif (the non enforcement of law for a substantive
justice).
Maka dari itu, kedepan paradigma dan cara berhukum di
Indonesia harus disesuaikan dengan basis sosial kontekstualnya yakni masyarakat
Indonesia yang memiliki jiwa bangsa Pancasila, masyarakat Indonesia sebagai bangsa oriental dengan adat budaya
ketimuran (neo-mistical) yang
mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna tidak akan cocok jika diterapkan dengan
cara berhukum ala bangsa barat yang mengedepankan rules, ratio dan logic. Jika itu yang diterapkan (seperti saat ini), maka keadilan substantif yang menjadi tujuan mulia dari
hukum akan sulit mawujud dalam iklim dan dinamika berhukum kita.
Werner Mensky dalam bukunya “The Comparative Law in a Global Context” sebenarnya sudah
mensinyalir bahwa cara berhukum bangsa Asia-Afrika itu berbeda dengan cara
berhukum bangsa barat, bangsa barat dengan tingkat kohesi sosial yang rendah
dan minim nilai-nilai kearifan lokal memang cocok dengan pendekatan positivisme
hukum, namun untuk negara-negara di Asia dan Afrika (termasuk Indonesia) yang masih kuyup dengan nilai-nilai religi, kearifan lokal dan tingkat
kohesi sosial yang relatif tinggi tidak akan cocok jika hanya didekati dengan
pendekatan positivisme hukum semata melainkan harus dilakukan multifact approach yang disebut dengan legal pluralism, yang mempertautkan
antara hukum positif (state law),
aspek kemasyarakatan (socio-legal),
dan natural law (morality, etic, dan religion) dalam melihat
dan mengelaboratif sebuah peristiwa hukum guna mendapatkan perpect justice atau keadilan paripurna/substantif.
Sebagaimana dijelaskan diawal tulisan ini bahwa hukum
sejatinya adalah cerminan jiwa bangsa “volksgeist”, maka Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia sekaligus
leitzern (bintang pemandu) idealnya
harus selalu menjadi ruh, landasan dan tercermin dalam segala aktivitas
pembentukan maupun penegakkan hukum kita. Namun sayangnya, hal demikian itu kurang
mendapatkan porsi prioritas, akibatnya cara-cara berhukum dengan nafas
Pancasila misalnya seperti restorative
justice yang memiliki cita perdamaian, keseimbangan, partisipatif, dan musyawarah mufakat tidak banyak
mawujud dalam substansi hukum kita, kita cenderung mendewakan pendekatan hukum
secara positivis yang kaku dan formalistik, yang pada hakikatnya semakin
menjauhkan nilai keadilan substantif dalam kehidupan berhukum kita yang
memiliki kontur masyarakat pluralistik.
Jalan Keluar: Paradigma
Berpikir
Diatas kita telah menghetahui bahwa penyebab sulitnya
keadilan substantif mawujud dalam kehidupan berhukum kita adalah karena cara
berhukum kita yang cenderung berparadigma positivis, yang lebih mengutamakan
kepastian hukum dari pada keadilan, dan itu adalah cara berhukum bangsa-bangsa
barat yang sejatinya tidak kompatibel dengan jiwa bangsa masyarakat Indonesia yang
lebih mengedepankan rasa, kolektivitas, dan makna dari pada sekedar rules, ratio, dan logic.
Bangsa Indonesia adalah bagian dari bangsa Asia (oriental)
yang masih sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, tradisi, budaya serta kontur
masyarakat yang pluralistik, dengan melihat realitas sosial yang ada, maka cara
berhukum negara ini yang tidak bisa bertumpu pada paradigma positivis semata,
namun harus bertumpu pada multifact
approach: legal pluralism dimana
mempertautkan antara hukum positif, aspek kemasyarakatan, dan natural law yang berisikan etika, moral,
dan religi.
Dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum, penegak hukum harus
memperhatikan ketiga aspek tersebut sebagai kompleksitas legal reasoning serta tolok ukur untuk menyelesaikan perkara dan
memberikan keadilan. Jika itu bisa dilakukan, maka penegak hukum tidak hanya berperan
sekedar sebagai corong Undang-Undang (la
bouche de la loi) namun bermetamorfosa sebagai social engineer, yang berperan bukan sekadar sebagai pemutus
masalah (yang terkadang menambah masalah ) namun berperan sebagai penyelesai
masalah yang berdampak positif bagi struktur sosial.
Maka dari itu, yang harus diperbaiki kedepan adalah dengan
jalan merubah paradigma berpikir para pihak yang berkecimpung dalam hukum baik
penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa fakultas hukum
agar memiliki paradigma berpikir progresif dengan landasan Pancasila guna memfungsikan hukum untuk menggali dam mendapatkan nilai hukum substantif bukan sekadar nilai hukum
formal-prosedural. Dengan memiliki paradigma berpikir demikian, maka logika dan
kompleksitas berpikir dalam menyikapi sebuah peristiwa hukum tentu tidak akan
bersifat parsial sekadar hukum positif tetapi juga memperhatikan aspek sosiologis dan
juga aspek filosofis.
Dan hal inilah yang saya kira menjadi sulit, bagaimana menyatukan
visi kolektif mengenai hukum progresif yang lebih menitikberatkan pada nilai keadilan
substantif dari pada nilai keadilan formal-prosedural tersebut menjadi sebuah
satu kesatuan paradigma yang utuh dalam pembentukan maupun penegakkan hukum
kita.
Paradigma berpikir senafas dari penegak hukum, pembuat hukum, akademisi hukum hingga mahasiswa hukum menjadi aspek penting guna membuat pembentukan substansi hukum, aktivitas penegakan hukum hingga logika dan behaviour dalam memaknai hukum sarat dengan semangat progresifitas yang bertujuan untuk menggali dan mendapatkan nilai keadilan substantif.
Namun Jika kita mau berkontemplasi, menundukkan ego sembari melihat dan
merefleksi wajah dunia hukum kita yang tak kunjung cerah tentu semangat
kolektif itu tidak akan sulit untuk disatukan.
Selesai ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar