Tahap kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden minggu ini
akan memasuki tahap substansial, dimana kedua belah pihak, calon presiden dan
calon wakil presiden akan berpartisipasi dalam debat edisi pertama dari total
lima kali debat yang akan diselenggarakan oleh KPU. Debat pertama kali ini
mengangkat tema hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan terorisme, yang akan
digelar pada 17 Januari nanti di Hotel Bidakara Jakarta.
Meskipun terdapat beberapa pro-kontra terkait penyelenggaran
teknis debat, namun saya yakin debat 17 Januari nanti akan tetap berjalan
menarik, subtansial, dan dapat memberikan perspektif baru kepada publik terkait
sosok dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Jokowi-Ma’ruf Amin
dan Prabowo-Sandiaga Uno.
Debat pilpres 2019 ini sendiri terbagi dalam dua model pertanyaan,
pertama, pertanyaan terbuka, yakni pertanyaan yang telah diserahkan kepada
pasangan calon sebelum penyelenggaraan debat, hal ini tentu menguntungkan dan memudahkan
kedua pasangan calon untuk menyiapkan jawaban secara komprehensif dan spesifik
terkait dengan pertanyaan yang diajukan.
Kedua, pertanyaan tertutup, dimana pertanyaannya baru akan
diketahui saat sesi debat berlangsung, dalam pertanyaan tertutup ini, kedua
pasangan capres dan cawapres akan saling berdebat, melempar pertanyaan,
menjawab pertanyaan, dan mengkritisi jawaban lawan.
Debat pada prinsipnya adalah sarana yang digunakan untuk melihat, menggali,
menguji dan menilai gagasan, visi, misi, maupun penguasaan teknis para pasangan
capres dan cawapres terkait bidang yang menjadi tema debat, dalam debat pertama
ini tentunya terkait bidang hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan terorisme.
Selain hal-hal teknis tersebut, hal-hal non teknis dalam debat
nanti juga tidak boleh dikesampingkan begitu saja, seperti gaya narasi, cara
berkomunikasi dan penguasaan emosi. Ketiga hal non teknis tersebut justru harus
menjadi concern para paslon agar
penyampaian gagasan, visi, misi, dan jawaban pertanyaan yang dilontarkan baik
oleh panelis maupun pihak lawan dapat terkontruksi secara baik dan efektif.
Debat pilpres adalah sarana yang sangat penting guna menunjang
perolehan suara, khususnya untuk menggaet suara para swing voters dan pemilih non loyal. Menurut survei yang dirilis
oleh Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia 8 Januari lalu, jumlah swing voters berada diangka 25%, jauh
lebih besar dari selisih elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan
Prabowo-Sandi yang hanya berjumlah sekitar 20 %, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf
Amin berada diangka 54,9 % sedangkan Prabowo-Sandi berada diangka 34, 8 %.
Dalam hipotesa saya, pilpres 2019 sendiri “Berhasil” membagi
kelompok masyarakat kedalam 4 segmen. Pertama,
segmen pemilih loyal dan fanatis, pemilih loyal dan fanatis adalah pemilih yang
mendasarkan pilihan karena faktor fanatisme dan loyalitas bukan rasionalitas, pemilih
ini adalah pemilih yang hampir 100 % tidak akan berganti pilihan, loyal dan
fanatis kepada salah satu pasangan calon, baik yang loyal dan fanatis terhadap
pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin maupun yang loyal dan fanatis kepada pasangan
Prabowo-Sandi.
Bagi pemilih loyal dan fanatis mau bagaimanapun kondisi dan sikap
dari kedua pasangan calon, baik yang bernada positif maupun bernada negatif
tidak akan mempengaruhi pilihan mereka,
sekali A ya A, sekali tidak B ya tidak B, begitulah prinsip yang mendarah
daging dalam diri pemilih loyal dan fanatis. Sehingga bagi pemilih fanatis dan
loyal, ajang debat pilpres ini tidak akan berpengaruh apa-apa bagi sikap dan
pilihan mereka.
Kedua, pemilih
non loyal, dalam pengertian saya pemilih non loyal adalah pemilih yang sudah
menetapkan pilihan baik kepada Jokowi-Ma’ruf Amin maupun kepada Prabowo-Sandi,
akan tetapi kadar “Keimanannya” belum kuat, artinya masih dapat berubah pilihan
tentunya dengan alasan-alasan tertentu yang logis dan rasional. Terkait hal
ini, debat pilpres nanti tentunya akan menjadi sarana tolok ukur bagi para
pemilih non loyal untuk mengunci pilihannya. Sehingga kedua paslon harus mampu
dalam tanda kutip “Memenangkan” debat pertama ini maupun debat-debat
selanjutnya guna menarik pemilih non loyal dari kubu lawan.
Ketiga, pemilih
yang belum menentukan pilihan atau swing
voters, swing voters ini pada
akhirmya bisa bermuara menjadi 3 pilihan yakni memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf
Amin, memilih Prabowo-Sandi maupun memilih menjadi golput. Swing voters ini pada umumnya adalah pemilih rasional, yang
menentukan pilihannya berdasarkan tolok ukur yang rasional pula, dalam hal ini
debat pilpres nanti tentu akan menjadi sarana tolok ukur bagi para swing voters untuk menentukan
pilihannya, jika ada salah satu pasangan calon yang menurut mereka lebih
berkualitas, maka mereka akan menentukan pilihan kepada pasangan calon
tersebut, namun jika dari keduanya menurut mereka sama-sama tidak atau kurang
berkualitas, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan memilih golput.
Mengingat jumlah swing voters yang
dirilis Lembaga Survey Indikator Politik Indonesia masih cukup tinggi yakni 25
%, maka “Memenangkan” debat pilpres ini menjadi hal yang sangat krusial.
Keempat, pihak
apatis, pihak apatis adalah pihak yang tidak perduli dengan kontestasi pilpres
2019, sedari awal mereka tidak akan memilih alias golput sehingga debat pilpres
mendatang tidak akan berpengaruh apapun bagi sikap dan pilihan mereka.
Dari keempat segmen diatas yakni pemilih loyal dan fanatis,
pemilih non loyal, swing voters, dan
pihak apatis, debat pilpres ini hanya memiliki implikasi elektoral terhadap
beberapa kelompok segmen saja, yakni segmen pemilih non loyal dan swing voters, sedangkan untuk segmen
pemilih loyal dan fanatis serta pihak apatis, debat tidak akan berimplikasi
apa-apa.
Melihat kondisi ini, maka debat pilpres pertama nanti maupun
debat-debat selanjutnya wajib dan harus mampu dimenangkan secara “Telak” oleh
pasangan Prabowo-Sandi guna mengejar ketertinggalan elektabilitas sekitar 20 %
dari kubu Jokowi-Ma’ruf Amin, konkretnya dalam debat-debat nanti Prabowo-Sandi
harus mampu meng-KO Jokowi-Ma’ruf guna menggaet suara swing voters dan pemilih non loyal dari kubu Jokowi.
Karena jika debat nanti hanya berjalan seimbang atau tidak
mencolok mana pihak yang lebih ungggul, tentu akan sulit bagi Prabowo-Sandi
untuk mengejar ketertinggalan perolehan elektabilitas dari Jokowi-Ma’ruf
pada pilpres mendatang. Lantaran, presentase swing voters yang sebesar 25 % dan pemilih non loyal Jokowi-Ma’ruf,
dipastikan tidak akan mengalir deras kepada Prabowo-Sandi, sehingga akan sangat
sulit bagi Prabowo-Sandi untuk mengejar ketertinggalan elektabilitasnya dengan
Jokowi-Ma’ruf yang masih sekitar 20 %.
Maka dari itu, pada debat pilpres pertama nanti maupun pada
debat-debat selanjutnya kubu Prabowo-Sandi wajib harus mampu “Mengkanvaskan”
Jokowi-Ma’ruf secara telak tidak boleh tidak, artinya, gagasan, visi, misi,
penyampaian jawaban, narasi, cara berkomunikasi hingga penguasaan panggung
debat harus mampu dimenangkan Prabowo-Sandiaga Uno secara mencolok dan mutlak, dan
hal itu akan menjadi tugas berat
bagi Prabowo-Sandiaga Uno beserta tim pemenangannya, mengingat Jokowi adalah
kubu petahana yang memiliki kinerja nyata dan pengalaman, yang pastinya tidak akan mudah untuk dikalahkan secara “Kaffah”.
Dengan kondisi ini, maka, menarik untuk kita tunggu bersama jalannya debat
pilpres edisi pertama 17 Januari nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar