Beberapa waktu lalu publik dibuat geger atas peristiwa
penggrebekan dan penangkapan artis yang diduga terlibat jaringan prostitusi
online oleh unit Cyber Crime Ditreskrimsus
Polda Jatim, pada saat penggrebekan polisi berhasil mengamankan 4 orang, yang
terdiri dari dua artis berinisial VA dan AS serta dua pihak yang diduga
bertindak sebagai mucikari berinisial ES dan TN, pada awalnya keempat orang
tersebut ditetapkan sebagai saksi, namun dari informasi terakhir, keempatnya kini
sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Jika kita telaah seksama, sejujurnya “Kegegeran” beberapa waktu lalu
yang denyutnya masih terasa hingga detik ini pada dasarnya tidak terletak pada
substansi masalah yakni prostitusi, melainkan terletak pada subyek yang
terlibat prostitusi yang menyeret pesohor negeri ini yakni artis.
Prostitusi yang menyeret nama artis sendiri sejatinya juga bukan
sebuah fenomena baru, namun tetap saja, peristiwa ini booming lantaran efek komodifikasi informasi yang masif dari media
baik media cetak maupun media online.
Praktek prostitusi sendiri secara empirik telah ada sejak dahulu
sebelum negara ini merdeka, dan bertahan hingga saat ini, baik secara laten
maupun terbuka yang tentunya sudah lazim kita ketahui. Di kota-kota di Indonesia lazim kita temukan tempat-tempat prostitusi misalnya
Sunan Kuning di Semarang, Saritem di Bandung, Doly di Surabaya (tutup), dan
lain sebagainya.
Itu artinya, secara umum pada dasarnya kita telah mahfum bahwa
praktek prostitusi telah menjadi semacam sub-kultur dalam kehidupan negeri ini.
Dalam pengertian umum prostitusi diartikan sebagai komersialisasi
tubuh, yakni memperdagangkan tubuh untuk mendapakan keuntungan ekonomis, bahkan
dalam konteks yang lebih kompleks, prostitusi dapat diartikan sebagai aktivitas
menjual tubuh sebagai mata pencaharian.
Dalam prakteknya, modus operandi postitusi kini telah berkembang
pesat sejalan dengan dinamika perkembangan zaman (iptek), yang kemudian berimplikasi
terhadap perubahan model prostitusi yang kini tidak hanya mencakup prostitusi
konvensional atau transaksi ditempat, namun mawujud juga menjadi prostitusi
online yang melibatkan media daring baik
untuk promosi maupun transaksi.
Sheila Jeffreys dalam bukunya yang berjudul The Industrial Vagina: The Political Economy of The Global Sex Trade (2009) mengatakan bahwa internet telah berperan besar dalam memudahkan
terjadinya pariwisata seks, bisnis “Pengantin pesanan” serta bentuk-bentuk
aktivitas pelacuran lainnya. Secara garis besar Sheila Jeffreys ingin
mengatakan bahwa kemajuan teknologi (internet) telah memberikan sumbangsih
besar bagi suburnya praktek prostitusi.
Jika ditinjau dalam perspektif sosiologi, maka terdapat 4 faktor penyebab yang menyebabkan maraknya praktik prostitusi Pertama, faktor
kemiskinan. Kedua, faktor demoralisasi atau hilangnya moralitas dan budaya
malu. Ketiga, faktor kebutuhan dan gaya hidup. Keempat, faktor lemahnya pengawasan
dari pranata sosial (termasuk hukum).
Sejalan dengan hal tersebut, maka strategi pemberantasan
prostitusi hendaknya harus memperhatikan dan mencakup pendekatan terhadap 4
motif tersebut secara integral, faktor kemiskinan harus direduksi dengan
tindakan ekonomi dan kesejahteraan sosial seperti pembukaan lapangan kerja,
faktor demoralisasi harus ditekan dengan Pendekatan pendidikan dan spiritual,
faktor kebutuhan gaya hidup harus ditekan pendekatan sosial dan ekonomi,
sedangkan faktor lemahnya pengawasan pranata sosial dalam hal ini harus
disikapi dengan peningkatan pengawasan.
Pada prinsipnya prostitusi harus diberantas dengan pendekatan
multidisipliner dan semangat integralistik oleh semua stakeholders (termasuk platform media daring dan masyarakat), yang mengandung arti bahwa semua sub-sub
sistem dalam kehidupan masyarakat seperti budaya, ekonomi, hukum, dan sosial harus
didaya-gunakan secara optimal dan kolektif guna menekan praktek prostitusi.
Aspek
Hukum
Diatas telah kita ketahui bersama bahwa salah satu strategi untuk
memberantas praktek prostitusi adalah dengan meningkatkan pengawasan pranata
sosial dalam hal ini adalah hukum pidana, membahas mengenai hukum dan
prostitusi di Indonesia, maka akan terlihat betapa longgarnya peran hukum
disitu. Dapat dikatakan peran hukum belum hadir secara nyata guna menekan
praktek prostitusi lantaran konstruksi hukum yang ada hanya dapat menjerat
pihak-pihak tertentu saja yakni mucikari dan penyedia tempat prostitusi yang biasanya
dikenakan Pasal 296 KUHP dan UU Perdagangan Orang.
Sedangkan bagi pelaku materiil prostitusi yakni lelaki hidung
belang dan sang perempuan penyedia jasa, secara umum tidak dapat dijerat secara hukum
dengan alasan melakukan praktek prostitusi, memang ada faktor-faktor lain yang
menyebabkan kedua pihak dapat dijerat oleh hukum, misalnya tentang perzinahan, namun
hal ini juga baru bisa terpenuhi dengan terpenuhinya syarat-syarat khusus yakni
salah satu pihak atau kedua-duanya terikat perkawinan serta ada pengaduan dari
istri/suami mereka (mengingat perzinahan adalah delik aduan). Jika syarat ini
tidak terpenuhi, maka mereka tidak akan bisa dijerat secara hukum.
Kemudian ada lagi kondisi-kondisi dimana pihak materil yang
melakukan praktek prostitusi dapat dijerat oleh hukum, misalnya jika pihak
perempuan masih dibawah umur, maka si lelaki hidung belang dapat dijerat dengan
UU Perlindungan Anak, selanjutnya apabila pihak perempuan mempromosikan dirinya
(untuk prostitusi) melalui media daring
dengan menampilkan konten pornografi maka bisa dijerat dengan UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1).
Namun jika ditinjau secara umum, maka pelaku materiil praktek
prostitusi tidak akan bisa dijerat secara hukum mengingat konstruksi hukum untuk
menjeratnya belum ada.
Dalam hukum pidana terdapat postulat dasar yang menjadi landasan
pokok dalam aktivitas penegakan hukum, postulat tersebut bernama asas legalitas
yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana
kecuali diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang sebagai sebuah tindak
pidana” (nullum delictum noella poena
sine praevia lege poenali). asas ini sendiri tercantum secara letterlijk dalam pasal 1 ayat ( 1 )
KUHP.
Berangkat dari asas diatas, maka suatu perbuatan yang tidak diatur
dalam Undang-Undang sebagai tindak pidana, otomatis tidak bisa dikatakan sebagai
tindak pidana dan sekaligus tidak bisa diancam dengan pidana, sejalan dengan hal ini, maka agar
pelaku prostitusi dapat dijerat secara hukum (pidana), maka perbuatan
prostitusi tersebut harus diatur terlebih dahulu dalam UU sebagai sebuah tindak pidana dengan konstruksi hukum yang memadai guna menjerat pelaku materil.
Dengan melihat fakta ini, maka ada dua hal yang dapat dilakukan, pertama, berharap pada
RUU KUHP yang baru agar segera disahkan, dimana terdapat perluasan konstruksi tindak
pidana zina yang sekaligus dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi,
kedua, mendorong pihak legislatif untuk membuat UU khusus terkait prostitusi
agar dapat menjerat pelaku materil prostitusi.
Pada prinsipnya, selama pendekatan hukum terhadap praktek
prostitusi lemah, otomatis akan selalu tercipta ruang-ruang subur bagi tumbuhnya
praktek prostitusi, sejatinya lemahnya aspek hukum ini bisa dicover atau diminimalisir jika pendekatan sub-sub sistem sosial lainnya kuat (ekonomi, sosial, budaya dll) namun apabila pendekatan pada sub-sub sistem sosial lainnya juga
cenderung lemah. Ya suburlah praktek prostitusi dinegara ini. Hmmmm ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar