Selasa, 15 Januari 2019

BIFURKASI MAKNA PEMILU



Pertama kali Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) adalah pada tahun 1955 atau 10 tahun setelah Indonesia merdeka, pemilu 1955 awalnya digagas di era kabinet Ali Sastroamijoyo, namun akhirnya berhasil dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap karena kabinet Ali Satroamijoyo lengser. Pemilu 1955 sendiri dibagi dalam dua tahap, tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 guna memilih anggota Konsituante.
 
Pemilu 1955 pada umumnya dikatakan sebagai pemilu paling demokratis sepanjang berdirinya negara ini, setidaknya ada 3 hal yang menurut saya dapat dijadikan landasan legitimasi untuk mengatakan bahwa pemilu 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis, pertama, kesadaran partisipasi rakyat dalam pemilu yang mencapai angka 91,5 %, ini adalah presentase partisipasi pemilu tertinggi diluar rezim orde baru, atau dapat dikatakan hanya sekitar 8,5 % saja yang golput. Hal ini menandakan kesadaran politik alamiah dari rakyat yang cukup tinggi.

Landasan kedua, pemilu 1955 dapat berjalan aman, tentram dan kondusif baik sebelum, sesaat maupun pasca pemilu, padahal pada masa itu kondusifitas negara kita masih belum aman sepenuhnya mengingat gerakan DI/TII masih mengintai. Ketiga, pemilu 1955 adalah pemilu yang miskin kecurangan, hal ini membuat legitimasi pemilu 1955 begitu kuat dimata rakyat.

Jika di era “Babat alas” saja (1955) bangsa ini bisa menyelenggarakan suatu pemilu yang demokratis, kondusif dan sportif, mengapa di era demokrasi, kedaulatan hukum, dan HAM seperti sekarang ini justru penyelenggaraan pemilu mawujud sebaliknya, pemilu justru lekat dengan riak-riak kotor yang dalam berbagai skala, cukup berbahaya bagi elegi persatuan dan harmonisasi kita dalam kehidupan berbangsa. Hoax, black campaign, politik identitas yang friksioner, hingga saling caci mencaci antar anak bangsa adalah lukisan empirik yang masif kita lihat menjelang hajatan akbar pesta demokrasi pemilu 2019 ini. 10 Tahun kita memasuki era reformasi, namun nampaknya kehidupan demokrasi kita belum mencerminkan high morality dan high quality.

Apa yang tersaji saat ini sejatinya melenceng teramat jauh dari esensi penyelenggaraan pemilu, dalam bahasa saya, penyelenggaraan pemilu telah mengalami bifurkasi makna, bifurkasi makna dari implementasi kedaulatan rakyat dimana rakyat menjadi subyek sekaligus obyek menjadi persaingan perebutan kekuasaan dimana rakyat hanya sekedar menjadi obyek atau alat untuk meraih kekuasaan, sedangkan subyek utamanya adalah para kontestan pemilu yang haus akan kekuasaan.

Esensi pemilu pada hakikatnya adalah sarana implementasi kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil terbaik dari yang ada guna mendorong terwujudnya kemaslahatan kolektif bagi rakyat. Dalam pemahaman Franz Magnis Suseno esensi adanya pemilu adalah untuk mencegah yang terburuk memimpin bukan memilih pemimpin terbaik.

Saya sepakat dengan pemahaman Franz Magnis Suseno dalam mengejawantahkan esensi pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk mencegah yang terburuk memimpin, saya sepakat, mengingat yang maju dalam kontestasi pemilu belum tentu mereka yang terbaik dari suatu kelompok masyarakat, mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas terbaik sebagai pemimpin terkadang tidak bisa ikut berkontestasi dalam pemilu karena beberapa faktor, misalnya tidak memiliki kekuatan dan sarana politik, tidak memiliki modal sosial, tidak memiliki modal ekonomi, dan lain sebagainya.

Sehingga dapat dipahami disini bahwa, esensi penyelenggaraan pemilu adalah untuk memilih pemimpin terbaik dari yang buruk atau dalam bahasa yang lebih reasonable memilih pemimpin yang sisi buruknya paling sedikit diantara yang buruk, kemudian ditangan pemimpin inilah cita-cita dan tujuan rakyat digantungkan guna terwujudnya kemaslahatan kolektif bagi rakyat meliputi kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, ketertiban, kerukunan dll.

Sayangnya, esensi pemilu yang memiliki makna dan tujuan nan luhur diatas yakni guna mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, justru dalam realitas yang ada mengalami bifurkasi atau penyelewengan makna menjadi sarana pseudo-destruction yang dapat membahayakan persatuan, kerukunan, dan keharmonisan kita dalam kehidupan berbangsa.  

Menurut hemat saya, bifurkasi makna pemilu terjadi lantaran masyarakat kita secara umum belum memiliki kesadaran politik yang memadai. Dalam artian belum memiliki pemahaman yang bijak bagaimana memaknai dan menempatkan pemilu dalam sekup kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Masyarakat cenderung memaknai pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan, perkubuan dan pengejawantahan emosi, bukan memaknai pemilu sebagai sarana untuk memilih pemimpin terbaik dari yang ada guna mewujudkan kemaslahatan bersama. Makna pertama cenderung mengarah kepada fanatisme buta dan friksional, sedangkan makna kedua lebih bermakna substansial dan konstruktif.

Belum memadainya kesadaran politik masyarakat dalam hal memaknai penyelenggaraan pemilu secara bijak, menurut saya ditengarai oleh tiga faktor kunci yang saling berkelindan. Pertama, rendahnya kontribusi partai politik dalam melaksanakan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat sebagaimana amanat dari Undang-Undang. Kedua, kurangnya kebijaksanaan dan suri tauladan dari para elite politik dalam hal behaviour dan morality politik. Ketiga, tergerusnya idealisme para tokoh yang memiliki otoritas sosial dalam masyarakat misalnya akademisi dan tokoh agama yang justru tidak mampu berperan sebagai stabilitator sosial, tempat dimana kita menemukan kebijaksanaan, obyektifitas dan kejernihan berpikir.

Kedepan, bifurkasi makna pemilu ini harus dihentikan, ketiga faktor diatas yakni partai politik, elite politik, dan tokoh sosial harus mampu bersinergi dan berperan nyata guna meningkatkan kesadaran politik masyarakat khususnya dalam hal memaknai penyelenggaran pemilu secara utuh dan bijaksana melalui pendidikan politik dan suri tauladan terkait behaviour dan morality politik. Ketiga pihak tersebut harus mampu membangun paradigma kepada publik bahwa pemilu adalah wujud implementasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin menuju kemaslahatan bersama bukan semata-mata ajang perebutan kekuasaan membabi buta dimana perkubuan dan permusuhan lebih ditonjolkan.

Pada prinsipnya, bifurkasi makna pemilu ini harus segera dihentikan, karena jika tidak segera dihentikan, maka dalam setiap penyelenggaraan pemilu baik pra pemilu, saat pemilu, hingga pasca pemilu niscaya akan selalu tercipta suasana nir kondusif dan friksional yang berbahaya bagi keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Jika seperti itu, apa kita tidak malu dengan masyarakat Indonesia di era pemilu 1955 ?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar