Pertama kali Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) adalah pada tahun 1955 atau 10 tahun setelah Indonesia merdeka, pemilu 1955 awalnya digagas di era kabinet Ali Sastroamijoyo, namun akhirnya berhasil dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap karena kabinet Ali Satroamijoyo lengser. Pemilu 1955 sendiri dibagi dalam dua tahap, tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 guna memilih anggota Konsituante.
Pemilu 1955 pada umumnya dikatakan sebagai pemilu paling
demokratis sepanjang berdirinya negara ini, setidaknya ada 3 hal yang menurut
saya dapat dijadikan landasan legitimasi untuk mengatakan bahwa pemilu 1955
sebagai pemilu yang paling demokratis, pertama, kesadaran partisipasi rakyat
dalam pemilu yang mencapai angka 91,5 %, ini adalah presentase partisipasi pemilu
tertinggi diluar rezim orde baru, atau dapat dikatakan hanya
sekitar 8,5 % saja yang golput. Hal ini menandakan kesadaran politik alamiah dari
rakyat yang cukup tinggi.
Landasan kedua, pemilu 1955 dapat berjalan aman, tentram dan
kondusif baik sebelum, sesaat maupun pasca pemilu, padahal pada masa itu
kondusifitas negara kita masih belum aman sepenuhnya mengingat gerakan DI/TII
masih mengintai. Ketiga, pemilu 1955 adalah pemilu yang miskin kecurangan, hal
ini membuat legitimasi pemilu 1955 begitu kuat dimata rakyat.
Jika di era “Babat alas” saja (1955) bangsa ini bisa
menyelenggarakan suatu pemilu yang demokratis, kondusif dan sportif, mengapa di
era demokrasi, kedaulatan hukum, dan HAM seperti sekarang ini justru penyelenggaraan
pemilu mawujud sebaliknya, pemilu justru lekat dengan riak-riak kotor yang
dalam berbagai skala, cukup berbahaya bagi elegi persatuan dan harmonisasi kita
dalam kehidupan berbangsa. Hoax, black
campaign, politik identitas yang friksioner, hingga saling caci mencaci
antar anak bangsa adalah lukisan empirik yang masif kita lihat menjelang
hajatan akbar pesta demokrasi pemilu 2019 ini. 10 Tahun kita memasuki era
reformasi, namun nampaknya kehidupan demokrasi kita belum mencerminkan high morality dan high quality.
Apa yang tersaji saat ini sejatinya melenceng teramat jauh dari
esensi penyelenggaraan pemilu, dalam bahasa saya, penyelenggaraan pemilu telah mengalami bifurkasi makna, bifurkasi makna dari implementasi kedaulatan rakyat dimana
rakyat menjadi subyek sekaligus obyek menjadi persaingan perebutan kekuasaan
dimana rakyat hanya sekedar menjadi obyek atau alat untuk meraih kekuasaan,
sedangkan subyek utamanya adalah para kontestan pemilu yang haus akan
kekuasaan.
Esensi pemilu pada hakikatnya adalah sarana implementasi
kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil terbaik dari yang ada guna
mendorong terwujudnya kemaslahatan kolektif bagi rakyat. Dalam pemahaman Franz
Magnis Suseno esensi adanya pemilu adalah untuk mencegah yang terburuk memimpin
bukan memilih pemimpin terbaik.
Saya sepakat dengan pemahaman Franz Magnis Suseno dalam
mengejawantahkan esensi pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk mencegah yang
terburuk memimpin, saya sepakat, mengingat yang maju dalam kontestasi pemilu
belum tentu mereka yang terbaik dari suatu kelompok masyarakat, mereka yang
memiliki kapasitas dan kapabilitas terbaik sebagai pemimpin terkadang tidak
bisa ikut berkontestasi dalam pemilu karena beberapa faktor, misalnya tidak
memiliki kekuatan dan sarana politik, tidak memiliki modal sosial, tidak
memiliki modal ekonomi, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipahami disini bahwa, esensi penyelenggaraan
pemilu adalah untuk memilih pemimpin terbaik dari yang buruk atau dalam bahasa
yang lebih reasonable memilih
pemimpin yang sisi buruknya paling sedikit diantara yang buruk, kemudian
ditangan pemimpin inilah cita-cita dan tujuan rakyat digantungkan guna
terwujudnya kemaslahatan kolektif bagi rakyat meliputi kesejahteraan, keadilan,
kemakmuran, ketertiban, kerukunan dll.
Sayangnya, esensi pemilu yang memiliki makna dan tujuan nan luhur
diatas yakni guna mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, justru dalam realitas
yang ada mengalami bifurkasi atau penyelewengan makna menjadi sarana pseudo-destruction yang dapat
membahayakan persatuan, kerukunan, dan keharmonisan kita dalam kehidupan
berbangsa.
Menurut hemat saya, bifurkasi makna pemilu terjadi lantaran masyarakat kita secara umum belum memiliki kesadaran politik yang memadai. Dalam artian belum memiliki pemahaman yang bijak bagaimana memaknai dan menempatkan pemilu dalam sekup kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut hemat saya, bifurkasi makna pemilu terjadi lantaran masyarakat kita secara umum belum memiliki kesadaran politik yang memadai. Dalam artian belum memiliki pemahaman yang bijak bagaimana memaknai dan menempatkan pemilu dalam sekup kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat cenderung memaknai pemilu sebagai ajang perebutan
kekuasaan, perkubuan dan pengejawantahan emosi, bukan memaknai pemilu sebagai
sarana untuk memilih pemimpin terbaik dari yang ada guna mewujudkan
kemaslahatan bersama. Makna pertama cenderung mengarah kepada fanatisme buta
dan friksional, sedangkan makna kedua lebih bermakna substansial dan
konstruktif.
Belum memadainya kesadaran politik masyarakat dalam hal memaknai penyelenggaraan pemilu secara bijak, menurut saya
ditengarai oleh tiga faktor kunci yang saling berkelindan. Pertama, rendahnya kontribusi partai politik dalam melaksanakan
fungsi pendidikan politik kepada masyarakat sebagaimana amanat dari
Undang-Undang. Kedua, kurangnya
kebijaksanaan dan suri tauladan dari para elite politik dalam hal behaviour dan morality politik. Ketiga,
tergerusnya idealisme para tokoh yang memiliki otoritas sosial dalam masyarakat
misalnya akademisi dan tokoh agama yang justru tidak mampu berperan sebagai
stabilitator sosial, tempat dimana kita menemukan kebijaksanaan, obyektifitas
dan kejernihan berpikir.
Kedepan, bifurkasi makna pemilu ini harus dihentikan, ketiga
faktor diatas yakni partai politik, elite politik, dan tokoh sosial harus mampu
bersinergi dan berperan nyata guna meningkatkan kesadaran politik masyarakat khususnya
dalam hal memaknai penyelenggaran pemilu secara utuh dan bijaksana melalui pendidikan
politik dan suri tauladan terkait behaviour
dan morality politik. Ketiga
pihak tersebut harus mampu membangun paradigma kepada publik bahwa pemilu
adalah wujud implementasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin menuju
kemaslahatan bersama bukan semata-mata ajang perebutan kekuasaan membabi buta
dimana perkubuan dan permusuhan lebih ditonjolkan.
Pada prinsipnya, bifurkasi makna pemilu ini harus segera
dihentikan, karena jika tidak segera dihentikan, maka dalam setiap
penyelenggaraan pemilu baik pra pemilu, saat pemilu, hingga pasca pemilu
niscaya akan selalu tercipta suasana nir kondusif dan friksional yang berbahaya
bagi keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Jika seperti itu, apa kita tidak malu dengan masyarakat Indonesia
di era pemilu 1955 ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar