Jumat, 07 Februari 2020

DISKURSUS WNI EKS ISIS


Di ruang publik akhir-akhir ini begitu riuh membahas wacana pemulangan WNI eks ISIS eh atau Eks WNI ISIS sih hehehe. Pro dan kontra seketika menyeruak.

Ada yang menolak pun juga ada yang setuju. Sikap pemerintah sendiri sejauh ini masih pada tahap mengkaji, baik mengkaji dari aspek hukum maupun dari aspek teknis lainnya.

Sejujurnya, diskursus terhadap problematika ini memiliki dua tolok ukur. Pertama, jika dikaitkan dengan tujuan negara (ex: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia). Maka arah diskursusnya akan bersifat filosofis. Perbedabatan akan berkisar pada teori-teori, asas-asas, dan filsafat bernegara.

Kedua, jika dikaitkan dengan aturan hukum (Undang-Undang Kewarganegaraan), maka arah diskursusnya akan bersifat legal-formal (kepastian hukum) dan interpretasi Pasal/ayat.

Namun pada kesempatan ini, saya akan merestriksi pembahasan sebatas dan hanya terkait tolok ukur kedua saja yakni aturan hukum. Menurut aturan hukum, apakah WNI yang bergabung menjadi anggota ISIS akankah otomatis kehilangan kewarganegaraannya ?.

Salah satu alasan hilangnya kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah apabila WNI bergabung dalam dinas negara asing (Pasal 23 ayat e). Hmm, tetapi masalahnya ISIS menurut Konvensi Montevideo 1933 tidak memiliki kualifikasi yuridis untuk disebut sebagai negara.

Selanjutnya, menurut Pasal 23 huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sebenarnya ada alasan yang kompatible untuk dijadikan dasar hukum hilangnya kewarganegaraan WNI yang tergabung dalam ISIS yakni masuk tentara asing tanpa izin presiden (ingat ini tentara asing bukan tentara negara asing) dan mengangkat sumpah/menyatakan setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing (ingat disini ada kata "bagian").

Menurut pakar hukum internasional UI Prof Hikmawanto diksi "bagian" ini bisa diinterpretasikan sebagai bagian kelompok pemberontak negara jadi tidak harus berwujud negara.

Jadi, jika menggunakan dasar Pasal 12 huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka WNI yang tergabung dalam ISIS (dimaknai sebagai tentara asing dan bagian dari negara asing) maka dengan sendirinya seorang WNI telah kehilangan kewarganegaraannya sekaligus membuat pemerintah tidak memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memulangkan kembali ke Indonesia.

Namun jangan lupa, sprit Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 juga mengandung asas non-statelessness (larangan tanpa kewarganegaraan). Asas ini hendaknya juga harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Pada akhirnya, pemerintah harus benar-benar matang dalam mengambil keputusan. Nilai substansi yang harus menjadi pertimbangan pemerintah adalah nilai kemaslahatan publik dan nilai hak asasi manusia. Kedua nilai tersebut harus diambil titik temunya (nilai prismatik).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar