Senin, 10 Februari 2020

MEMPERKUAT KEPOLISIAN


Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat kelengkapan negara yang berada dibawah Presiden yang memiliki tugas (eksekutif) dibidang penegakan hukum. Menurut Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, kepolisian memiliki tiga fungsi konstitusional yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat.

Terkait tiga fungsinya diatas, kepolisian dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama, dimensi represif, yakni manakala kepolisian melaksanakan tugas penegakan hukum. Kedua, dimensi preventif-persuasif. Dimensi ini berkaitan dengan fungsi kepolisian dalam rangka melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat serta menjaga keamanan dan ketertiban.

Dalam dimensi represif, kepolisian harus menampilkan citra ketegasan namun tidak kaku. Mengapa tidak kaku ? jangan lupa, dalam rangka penegakan hukum aparat kepolisian juga memiliki hak diskresi. Menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Namun dalam menerapkan diskresi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yakni dalam keadaan darurat, memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta memperhatikan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, hak diskresi yang dimiliki oleh aparat kepolisian pada prinsipnya memiliki basis akuntabilitas formal serta tolok ukur urgensi yang jelas.

Selanjutnya, jika dalam dimensi represif kepolisian harus menampilkan citra ketegasan namun tidak kaku, maka dalam dimensi preventif-persuasif, kepolisian harus menampilkan citra yang hangat, humanis, low profile, dan protektif. Dalam konteks melaksanakan fungsi dimensi preventif-persuasif, kepolisian hendaknya bisa membangun sinergi dengan masyarakat. Dengan adanya sinergi antara kepolisian dan masyarakat diharapkan keamanan, ketertiban, dan kondusifitas lingkungan masyarakat akan dapat terjaga. Lebih dari itu, masyarakat sendiri pada hakikatnya merupakan subyek sekaligus obyek dari pada tugas dan fungsi kepolisian.

Meningkatkan Kualitas Kepolisian

Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia (2002) menjelaskan bahwa tugas dan fungsi polisi selalu bersinggungan dengan pembersihan “Kotoran” masyarakat. Konsekuensinya, kepolisian akan selalu lekat dengan dua hal. Kadar sensitifitas yang tinggi serta titik persinggungan yang luas dengan masyarakat. Oleh karenanya, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kepolisian dituntut tidak hanya berpegang teguh pada peraturan formal, namun juga harus memperhatikan sisi kemanfaatan, rasa kemanusiaan, serta nilai keadilan.

Maka dari itu, dalam rangka meningkatkan kualitas kepolisian agar optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, diperlukan suatu platform penguatan, baik secara kelembagaan maupun secara sumber daya manusia. Hal ini penting sebagai modal memperkuat fungsi kepolisian sekaligus membangun rasa kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian yang saban hari sejujurnya menunjukkan tren positif. Menurut survey Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia, 81,9 % publik puas terhadap kinerja kepolisian sepanjang tahun 2019.

Capaian tersebut tentunya menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi kepolisian yang patut disyukuri dan harus ditingkatkan tentunya. Salah satu upaya peningkatan kinerja kepolisian adalah bagaimana memperkuat kepolisian baik secara kelembagaan maupun secara sumber daya manusia. Terlebih kedua variabel tersebut pada dasarnya memiliki hubungan integral dan respirokal.

Terkait penguatan kelembagaan, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, porsi anggaran yang memadai atau sebanding dengan tugas dan fungsi kepolisian guna menunjang tugas dan fungsi kepolisian berjalan efektif. Hal ini tentunya menjadi ranah politik anggaran DPR dan pemerintah. Kedua, penguatan koordinasi dengan masyarakat, organisasi sosial, lembaga penegak hukum lain, dan lembaga-lembaga terkait guna menunjang efektifitas dan efisiensi tugas dan fungsi kepolisian.

Sedangkan terkait penguatan sumber daya manusia, menurut hemat saya harus ada restorasi yang signifikan di tubuh Polri. Penguatan sumber daya manusia idealnya dibenahi dari hulu. Dari sistem rekrutmen anggota kepolisian yang bersih, transparan, akuntabel, serta mengutamakan sistem meritokrasi. Dengan sistem rekrutmen demikian, maka akan dapat terekrut anggota-anggota kepolisian yang memiliki kompetensi dan integritas.

Setelah hulu, selanjutnya adalah bagaimana merancang sistem kinerja kepolisian yang fungsional dan produktif. Hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan platform sasaran kinerja yang rasional, menetapkan program edukasi aparat secara berkelanjutan, penguatan kode etik kepolisian, pembangunan kultur civil servant dan profesionalitas, serta pemenuhan kesejahteraan yang memadai.

Pada prinsipnya, kepolisian harus diperkuat secara kelembagaan maupun secara sumber daya manusia. Secara internal tentu kepolisian harus mau merestorasi dirinya sendiri agar lebih profesional dan lebih optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di sisi lain, secara eksternal, pihak-pihak terkait hendaknya juga harus mendukung bahkan memfasilitasi kepolisian agar kepolisian dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal.

Pada akhirnya, melihat kepolisian yang profesional, berkompeten, dan humanis baik secara struktural maupun individual adalah mimpi kita bersama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar