Sabtu, 01 Februari 2020

MERAWAT KEBHINEKAAN


Menurut John Sydenhaam Furnival, Indonesia adalah negara majemuk (plural society). Negara majemuk yang dimaksud oleh John Sydenhaam Furnival adalah negara yang memiliki struktur sosial dan sistem nilai yang bersifat heterogen.

Struktur sosial dan sistem nilai yang bersifat heterogen tersebut merupakan manifestasi dari kemajemukan budaya, kebiasaan, ras, etnis, agama dan suku yang pada akhirnya berpotensi melahirkan fanatisme primordial. Sebagai sebuah negara majemuk, konsekuensi logisnya, Indonesia menyimpan dua potensi besar bagi entitas dan harmoni kebangsaan yang bersifat kontradiktif.

Pertama, potensi kemaslahatan. Hal ini dapat terjadi jika modal kemajemukan dan identitas primordial dapat dikelola untuk membangun spirit komunalisme dan kebhinekaan untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dalam konteks ini, Indonesia sejujurnya cukup beruntung karena memiliki Pancasila sebagai dasar negara dan semboyan bhineka tunggal ika yang dapat menjadi katalisator untuk merawat dan mengkanalisasi “anugerah” kemajemukan untuk menyemai harmoni persatuan dan kohesifitas bangsa.

Kedua, potensi friksi dan konflik sosial. Nah, disinilah problematika negara majemuk, jika negara gagal dalam mengelola kemajemukan, maka akan melahirkan ekses negatif bagi harmoni kebangsaan misalnya terjadinya konflik horizontal yang dilandasi oleh fanatisme primordial sempit dengan menafikan spirit komunalisme. Di Indonesia sendiri beberapa kali pernah terjadi konflik horizontal dengan berbagai variasi skala.

Konflik horizontal dengan skala besar yang pernah terjadi (dampak, korban, dan intensitas waktu) misalnya konflik Maluku yang dilandasi frame primordial agama dan konflik Sampit yang dilandasi frame primordial suku/etnis.

Konflik-konflik horizontal yang pernah menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa ini di masa lalu, (sebagaimana diatas) seharusnya dapat menjadi bahan refleksi dan bahan kontemplasi bagi segenap elemen bangsa. Menjadi alarm pengingat bahwa potensi terjadinya konflik sosial-horizontal akan senantiasa membayangi negara Indonesia jika negara nan majemuk ini tidak dapat menjadi rumah yang nyaman bagi anugerah kemajemukan dan kebhinekaan bangsa.

Empat Cara Pandang Kebangsaan

Di tengah kerasnya persaingan global dan dinamika pergaulan internasional, setiap negara dituntut untuk dapat menjaga stabilitas negara, hal ini penting sebagai modal sosial untuk menjaga eksistensi diri ditengah ketatnya arus percaturan internasional. Secara logis, stabilitas negara sendiri tentunya dapat terbangun jika terwujud harmoni dan kohesifitas sosial.

Nah, disinilah menurut hemat saya diperlukan sebuah titik temu yang bersifat integratif-implementatif sebagai kanalisator untuk menjaga kemajemukan dan kebhinekaan bangsa Indonesia agar stabilitas negara dapat terjaga dan kondusif.

Titik temu tersebut mawujud dalam bentuk empat cara pandang kebangsaaan sebagaimana dikenalkan oleh Prof. Jimly Assidiqie yakni pluralisme, universalisme, inklusivisme, dan identitas konstitusi.

Menurut Jimly Assidiqie, pluralisme atau penghargaan terhadap pluralitas  dalam segala dimensinya adalah hal yang sangat penting dalam negara yang majemuk. Pluralisme sendiri adalah modal utama untuk membangun spirit komunalisme dalam sebuah negara majemuk. Dengan kata lain, negara majemuk tidak dapat bertahan tanpa adanya pemahaman untuk menghargai dan menghormati entitas perbedaan.

Kedua, universalisme. Menurut Jimly Assidiqie, universalisme adalah bagaimana sebuah bangsa menemukan nilai-nilai universal yang sama antar umat manusia sebagai basis guna membangun harmoni dan persatuan. Nilai-nilai universal seperti nilai kemanusiaan, nilai keadilan, dan nilai kesejahteraan harus menjadi basis sekaligus tujuan yang hendak dicapai.

Ketiga, inklusivisme. Inklusivisme bermakna bagaimana membangun hubungan yang non-eksklusif (keterbukaan) terhadap sesama manusia tanpa melihat garis primordial. Kunci untuk membangun kemajuan peradaban adalah jika setiap elemen bangsa mampu bersinergi secara inklusif.

Keempat, identitas konstitusi. Disinilah identitas bangsa Indonesia yang khas harus mampu menjadi katalisator untuk mewujudkan stabilitas negara. Setiap elemen bangsa harus tunduk dan patuh terhadap kesepatakan bangsa yang memiliki legitimasi untuk mengatur kehidupan bersama.

Selanjutnya keempat cara pandang kebangsaan diatas harus diimplementasikan dalam 3 tataran agar dapat bekerja efektif. Pertama, tataran high yang mawujud dalam bentuk kebijakan pemerintah atau peraturan perundang-undangan. Kedua, tataran middle yang mawujud dalam bentuk implementasi kebijakan dan bekerjanya orde-orde sosial. Ketiga, tataran low yakni dalam tataran pergaulan sosial masyarakat di tingkat akar rumput.

Pada prinsipnya, ketiga ranah tataran tersebut harus mampu membangun relasi secara integral dalam mengejawantahkan 4 cara pandang kebangsaan diatas. Jika hal itu dapat dipraksiskan, niscaya anugerah kebhinekaan ini akan senantiasa dapat kita jaga sebagai energi kebangsaan untuk menyemai peradaban yang mudun dan maslahat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar