Sabtu, 05 Mei 2018

RASA KEMANUSIAAN JANGAN TERKIKIS PILIHAN POLITIK


" Perbedaan pilihan politik adalah sebuah kewajaran yang seharusnya tidak perlu hingga mematikan empati dan rasa kemanusiaan kita "


Rasa kemanusiaan adalah rasa yang bersumber dari nurani dan empati kita kepada sesama manusia, rasa kemanusiaan akan mendorong kita untuk memperlakukan dan menghormati sesama manusia sebagai mahluk ciptaanNYA, yang harus diperlakukan dan dihormati secara layak dan beradab.


Memiliki rasa kemanusiaan adalah bukti bahwa kita manusia normal, manusia yang memiliki akal dan nurani, manusia yang memiliki belas kasih dan kepedulian kepada sesama manusia.


Mengingat begitu pentingnya rasa kemanusiaan, para founding fathers kita pun memasukkan frasa "kemanusiaan yang adil dan beradab" dalam sila kedua dasar negara kita, Pancasila, para founding fathers kita ingin menanamkan akan pentingnya rasa kemanusiaan sebagai pandangan hidup dan pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara.


Sebagai sila kedua dari Pancasila, artinya sila kemanusiaan yang adil dan beradab berkonsekuensi harus menjiwai ke dalam sila-sila berikutnya yakni persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia haruslah dilandasi dengan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab selain tentunya ketuhanan yang maha esa, hal tersebut merupakan konsekuensi logis Pancasila sebagai sebuah kesatuan organis yang tersusun secara hierarkis, dimana antar sila saling terkait satu sama lain sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan sila yang lebih tinggi menjadi dasar bagi berlakunya sila berikutnya, sila-sila berikutnya merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari sila yang mendahuluinya.


Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa tidak diamalkan, Persatuan Indonesia tidak akan dapat terwujud jika ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab tidak diamalkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia tidak diamalkan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud jika ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak diamalkan.


Hal ini menandakan bahwa pemenuhan sila yang lebih tinggi akan berakibat dan memberi dampak bagi pemenuhan sila berikutnya.


Kembali ke permasalahan rasa kemanusiaan, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah dikenal secara luas sebagai masyarakat yang ramah, memiliki rasa solidaritas dan tentunya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.


Cobalah bertanya kepada para turis atau orang asing yang tinggal di Indonesia tentang apa yang paling berkesan di Indonesia, maka sebagian besar akan menjawab keramahan warga atau masyarakat nya, dan keramahan itu sendiri adalah salah satu ciri pengejawantahan dari rasa kemanusiaan.


Namun sayangnya, akhir-akhir ini dinamika aktivitas menjelang kontestasi politik khususnya Pilpres yang akan diadakan tahun depan justru menyajikan hal-hal yang tidak berkemanusiaan atau dapat dikatakan telah terjadi dekadensi rasa kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang disebabkan karena perbedaan pilihan politik berdasar fanatisme politik.


Baru-baru ini, tepatnya tanggal 29 April 2018 saat acara Car Free Day di depan Hotel Kempinski Jakarta pusat terjadi peristiwa kemanusiaan yang memilukan, persekusi, penghinaan bahkan intimidasi dilakukan oleh segerombolan orang yang memakai kaos dengan tagar #2019GantiPresiden kepada seorang ibu bernama Susi Verawati dan anaknya yang masih kecil, kebetulan saat itu susi memakai kaos yang bertuliskan #DiaSibukKerja.


Menurut penuturan Susi, saat itu dia yang berjalan bersama anaknya melintas di dekat bundaran Hotel Indonesia mulai dihadang dan di olok-olok oleh massa yang mengenakan kaos #2019GantiPresiden, sumpah serapah pun keluar dari mulut para massa kepada Suami dan anaknya seperti cebong lu, nasi bungkus, dasar enggak punya duit, bego lu, sibuk kerja melulu kayak babu dll.


Saat sumpah serapah itu keluar dari mulut para massa Susi masih tenang bahkan ia mengajak anaknya terus berjalan, namun kegeramannya muncul seketika saat teriakan keras dari seorang laki-laki anggota massa tersebut berdengung di telinganya, bahkan anaknya sempat ditarik-tarik dan nyaris terlepas dari pegangannya, seraya menangis si anak berkata pada Susi "takut mama dipukul".


Saat anaknya menangis, Susi mencoba tenang, namun intimidasi dari para massa berkaos #2019GantiPresiden seakan tak mau berhenti saat anaknya menangis, Susi yang memeluk anaknya yang sedang menangis justru kembali mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, wajahnya di pukul dengan uang oleh para massa tersebut.


Sungguh peristiwa yang memilukan, seorang perempuan apalagi ibu dan anak kecil harus mendapatkan perlakuan demikian buruknya, padahal perempuan dan anak adalah pihak yang seharusnya kita lindungi dan kita jaga dari segala tindakan yang merugikan.


Apakah hati nurani para massa tersebut telah mati hingga tega melakukan hal tersebut kepada seorang ibu dan anak kecil, apakah mereka tidak berpikir bagaimana seandainya peristiwa tersebut menimpa anak dan istrinya sendiri ?.


Peristiwa yang dialami oleh Susi dan anaknya tersebut hendaknya dapat memberikan bahan pembelajaran kepada kita semua, bahwasanya jangan kita korbankan rasa kemanusiaan dan lebih jauh rasa persatuan kita hanya karena perbedaan pilihan politik yang berdasar pada fanatisme politik.


Perbedaan pilihan politik adalah hal wajar yang seharusnya tidak perlu disikapi secara berlebihan, menurut Prof Mahfud MD sangat rugi kita korbankan persatuan dan kerukunan hanya karena perbedaan pilihan politik, dalam tweetnya beliau mengatakan " bersaudara sebangsa adalah selama hidup dikandung badan. Memilih Presiden hanya untuk 5 tahun. Alangkah ruginya jika hanya untuk memilih pejabat 5 tahun lalu bermusuhan selamanya.


Hal yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD tersebut seharusnya dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua, apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja kita rela mengorbankan persaudaraan, kerukunan dan persatuan bangsa yang tentu memiliki nilai dan falsafah yang lebih tinggi dan lebih besar.


Apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja, kita rela mematikan rasa kemanusiaan kita dan bertindak tidak manusiawi kepada orang yang memiliki pilihan politik berbeda dengan kita. Apakah iya hanya karena perbedaan pilihan politik saja, kita rela menjadi manusia tidak normal yaitu manusia yang tidak memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan.


Politik dan kehidupan demokrasi yang bersumber dari sila ke 4 yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan hendaknya selalu dilandasi dengan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab.


Jika kita tidak bisa menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab tentu akan mustahil bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang sehat, jika kita tidak bisa menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sudah barang tentu akan mustahil juga dapat tercipta persatuan Indonesia dan juga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Mengingat begitu pentingnya penerapan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka janganlah sampai rasa kemanusiaan kita, kita korbankan dan terkikis hanya karena perbedaan pilihan politik yang mana hal tersebut sejatinya adalah konsekuensi dari kehidupan demokrasi.


Janganlah kita terjebak pada fanatisme politik membabi buta hingga mematikan nalar, nurani dan rasa kemanusiaan kita.

Kontestasi politik adalah bagian dari kehidupan demokrasi, yang pastinya akan menghadirkan pilihan-pilihan politik yang berbeda dalam masyarakat, ada masyarakat yang memilih si b, ada yang suka si a, ada yang fanatik dengan si c itu adalah konsekuensi logis dari kehidupan demokrasi dimana setiap orang berhak untuk bersikap dan menentukan pilihannya sendiri dalam berpolitik.


Kontestasi politik (Pilpres) hanyalah sekedar sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya selama 5 tahun, sarana untuk memilih pemimpin yang bisa membawa masyarakat mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara.


Dan oleh karenanya, setiap perbedaan politik seharusnya janganlah disikapi secara berlebihan, apalagi sampai mengikis rasa kemanusiaan kita, anggaplah perbedaan pilihan politik sebagai sebuah hal yang lumrah dalam kehidupan demokrasi.


Jangan sampai empati dan rasa kemanusiaan kita mati dan terkikis hanya karena perbedaan pilihan politik, janganlah kita korbankan rasa persaudaraan, kerukunan dan persatuan bangsa hanya karena perbedaan pilihan politik, marilah bersikap lebih bijak dan lebih dewasa dalam berdemokrasi, perlu kita pahami bahwa demokrasi akan selalu berafiliasi dengan perbedaan tidak mungkin tidak dan perbedaan itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan yang tak kan pernah bisa kita hindari dalam hidup.


Mengingat perbedaan itu ciptaan tuhan sebagai hakikat kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar